[prl · 10] - babak terakhir
[ preliminer — BABAK TERAKHIR ]
[ ragas bersesal ]
***
Biasanya, pagi hari adalah waktu yang paling tenang di antara seluruh waktu yang Putri habiskan di rumah. Kalau hari biasanya, Novan biasanya tidak banyak bicara karena masih mengantuk, ia hanya duduk di meja makan sembari memakan sarapannya dalam diam lalu berangkat ke kampus setelahnya.
Putri hampir tidak pernah pergi ke kampus pada hari Jumat dan kakaknya sudah pergi ke kampus satu jam yang lalu. Orang tuanya juga berangkat pagi-pagi sekali ke kantor karena katanya akan ada rapat. Namun, baru beberapa menit menyapu halamannya, ia dikejutkan dengan gebrakan di pagar rumahnya sekaligus teriakan kesal dari seorang gadis.
"How dare you, Putri?!" pekik Nada. Kesal dan marah bercampur dalam sekalimat yang meluncur dari kerongkongannya.
Untuk sepersekian detik pertama, Putri tidak tahu apa yang akan dihadapinya. Namun, detik saat Nada akhirnya melangkah dengan air muka memerah dan dada naik turun, mahasiswi Antropologi itu yakin sekali kalau permasalahannya tidak akan jauh-jauh dari Rian.
"Kamu, tuh ... argh!" Nada menaikkan kedua tangannya tepat di depan muka Putri dengan gestur seolah ingin menggaruk, tetapi gadis itu berakhir mengurungkan niat dan beralih mengepalkan tangan dan meninju udara. "Kamu sebenarnya masih nganggap aku temen, nggak, sih?"
Kedua gadis itu duduk di teras rumah Putri. Sapu lidi yang tadinya masih digunakan untuk membersihkan halaman tergeletak begitu saja di atas rerumputan. Halamannya masih bisa menunggu, tetapi sekiranya Nada tidak akan pernah bisa menunggu.
"Sorry, Nada," kata Putri pelan.
"Udah dibilangin juga, jangan sampai jadian sama Rian. Ini jadi manusia, kok degil."
Omelan-omelan Nada rasa-rasanya tidak berkesudahan. Namun, Putri sama sekali tidak membalas ucap-ucap yang keluar dari mulut sahabatnya itu. Mahasiswi Antropologi itu merasa memang pantas mendapatkan omelan serupa.
Ia memang tidak pernah mengatakan bahwa dirinya menyesal pernah mengenal Rian atau bahkan sampai mengulangi hal yang sama untuk kedua kalinya, sebab ia hanya mencoba memperbaiki apa-apa yang sudah ada. Sayangnya, alih-alih memperbaiki, memang ada kalanya yang rusak akan tetap rusak, dan yang hilang tidak bisa kembali.
Nada bercerita bahwa sebenarnya ia sudah agak curiga karena beberapa waktu terakhir Rian dan Putri tampak cukup dekat. Namun, di hari ia akhirnya memutuskan untuk mengikuti kedua muda-mudi itu, ia malah dihadapkan fakta bahwa sepasang kekasih sudah akan putus.
Mungkin, mungkin kalau Nada tidak memutuskan untuk mengikutinya hari itu, kemungkinan besar Putri tidak akan mengakui bahwa dirinya yang lebih dulu menyukai Rian dan menyetuji ajakannya untuk menjadi hubungan romansa lagi.
"Pokoknya kamu, tuh, jangan sampai balikan sama Rian untuk yang kedua kalinya." Nada menodongkan dengan jemari telunjuk. "Kalau kamu ketemu pohon yang persis sama dua kali di hutan, itu artinya kamu tersesat. Makanya banyak orang yang bilang jangan sampai balikan sama mantan."
"Justin-Selena aja bolak-balik putus nyambung hasilnya nol," tutup mahasiswi Bisnis Digital itu setelah memberikan kotak makanan berisi nasi goreng yang katanya ia buat sendiri. "Hope this will help you. Don't forget that you are always have me."
Gadis itu beranjak tak lama kemudian dengan alasan ada kelas yang sedang menunggunya. Putri menatap kotak makanan di genggamannya dengan tatapan sendu. Di saat seperti ini pun Nada masih mau membuatnya tidak merasa sendirian.
Untuk menebus rasa bersalahnya, Putri tidak lagi pernah menemui Rian atau sekurang-kurangnya menghubungi lelaki itu. Tidak pernah lagi mencari-cari tahu apa yang sedang dilakukan atau sedang di mana mantan kekasihnya berada. Bahkan, tidak sama sekali untuk sekadar kebetulan.
Mereka kembali menghadapi fase yang sama saat memutuskan untuk menyudahi hubungan dulu, menjadi sepasang manusia yang tidak saling mengenal.
Namun, sepertinya masih ada satu hal lagi yang harus Putri bereskan. Sesuatu yang membuat dadanya masih dilanda gundah setiap menatap sepasang mata milik kakaknya.
"Mantan kamu itu, siapa kemarin namanya?"
Pintu kamar Putri saat itu memang tidak tertutup. Jadi saat mendengar kakaknya mulai bersuara tanpa terdengar derit dari pintu, mmembuat Putri sedikit terlonjak. Ditambah lagi pertanyaan Novan terdengar agak janggal.
"Kenapa tiba-tiba bahas mantan?" Putri mau tak mau berbalik dari kursi belajar, menatap sang kakak yang duduk di ranjangnya sembari melipat kaki.
"Nggak pa-pa." Novan mengangkat bahunya tak acuh. "Cuma mukanya ngeselin aja. Untung bukan anak Kimia." Lelaki itu menyentuh dagunya, lalu menerawang langit-langit kamar adiknya.
"Memangnya kenapa?" Putri masih tidak mengerti mengapa kakaknya tiba-tiba membawa topik Rian lagi di antara mereka. Menurutnya percakapan mereka hari itu terdengar sangat janggal.
"Kalau dia anak Kimia, kakak mau tonjok mukanya."
"Kak, what's your problem?" Kerutan di sekitaran dahi Putri semakin dalam.
"Nggak punya masalah sebenarnya. Pengen nonjok dia aja." Lagi, Novan mengangkat bahunya.
Yang membuat Putri semakin bingung adalah fakta bahwa kakaknya memilih untuk beranjak dari ranjang Putri lalu membereskan kerutan di permukaannya. Sebelum benar-benar menghilang dari pintu kamar yang terbuka, Novan sempat berucap semangat, "Kakak baru pesan pizza. Kalau tugas kamu udah siap, makan bareng, gih, di dapur."
Novan menghilang setelahnya dan Putri baru sadar bahwa sesungguhnya Novan bukan tanpa sebab membawa topik tentang mantan kekasihnya begitu saja.
Alih-alih menunggu tugasnya yang sedang dikerjakan, Putri keluar dari kamarnya dan menemui Novan di dapur. Di atas meja sudah ada dua kotak berbentuk lingkaran, salah satunya terbuka dengan satu potong bagiannya berada di tangan sang kakak. Lelaki itu memakan bagiannya sambil menonton sesuatu dari gawainya.
Mendengar kursi berderit, Novan beralih menatap asal suara. "Loh, udah selesai nugasnya?"
Namun, Putri tidak mengacuhkan pertanyaan dan kebingungan kakaknya itu. Ia memilih duduk di samping Novan dan memberikan tatapan bersalah. "Kak Novan, I wanna tell you a truth, or maybe we can call it some truths."
Novan memakan sisa terakhir dari bagian pertamanya. Tisu diraih untuk membersihkan jemarinya. Lelaki itu mendekatkan dirinya pada sang adik lalu berbisik, "Did you hurt your friends, with Arsenic trichloride maybe?"
"No, can you just listen to me?" Putri hampir frustrasi, tetapi kakaknya masih sempat untukk bercanda.
Mahasiswa Kimia itu mengangkat kedua tangannya begitu melihat sang adik yang terlihat seakan ingin menangis. "Okay, go on."
"I'm just broke up ... with Rian." Gadis itu berucap lirih sekali sembari menundukkan kepalanya, tidak berani menatap ke mana-mana selain kaki-kakinya yang menggantung di kursi.
Novan menyeritkan dahinya dalam.. "Bukannya kalian emang udah lama putus?"
"No, I mean ...."
"Jangan bilang ...."
"I'm sorry, but yeah."
Novan tidak memberikan respons apa pun hingga Putri akhirnya harus mendongak dan memastikan bahwa kakaknya tidak sedang menahan amarahnya. Namun, yang ia dapati adalah wajah senyum menenangkan dari Novan. Tangan lelaki itu beralih menyorongkan satu kotak pizza yang masih tertutup dan membukanya di hadapan sang adik.
"Nih, makan. Kakak udah beliin, kok nggak dimakan. Kalau besok makannya nggak enak lagi," kata Novan kemudian seolah pembicaraan mereka sebelumnya sama sekali tidak ada.
"Kak ...?" Putri merengek, matanya sudah berkaca-kaca.
"I know about that literally long a go before." Novan tidak menatap adiknya melainnya memilih mengambilkan sang adik pizza bertabur potongan sosis dan keju di sana-sini, lalu menarik tangan Putri untuk menerimanya. "Now, just eat it. Forget about everything that you've been through."
"Kak Novan, I'm sorry." Putri sungguhan menumpahkan air matanya yang tak bisa terbendung lagi. Gadis itu menunduk dalam sekali di hadapan kakaknya dan mengabaikan sepotong pizza yang diberikan kakaknya baru saja.
Yang membuat air mata Putri semakin menjadi-jadi adalah Novan yang memilih memeluknya erat sekali. Memberikan elusan lembut dari puncak kepala sampai punggungnya. Bentuk penenang yang selalu diberikan ayah dan ibunya dulu saat Putri sering pulang sekolah sambil menangis karena terjatuh dari ayunan.
"Everything will be okay, my little sister. I'll always be there if you need anything." Novan melepaskan pelukan mereka setelahnya. Ia menghapus air mata sang adik dengan beberapa tisu. "Makan pizzanya. Hati-hati awas tadi ingus kamu ada yang jatuh di situ." Lelaki itu tertawa setelahnya yang membuat Putri berhenti sesenggukan dan ikut tersenyum meski dengan mata yang sembab.
Kemudian, pada akhirnya Putri memutuskan kalau begini, sudah cukup. Ia punya sahabat yang peduli, ia juga punya kakak yang akan selalu ada untuknya. Jadi, untuk apa Putri mencari lagi. Sudah cukup, dan begini memang seharusnya lebih dari cukup.
***
[ BABAK TERAKHIR — selesai ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top