[prl · 09] - babak kesembilan
[ preliminer — BABAK KESEMBILAN ]
[ ekspresi unjuk akhir ]
***
"Have your ever think about, maybe something gone wrong here?
Kadang, pernah suatu hari, jikalau mereka sama-sama kehilangan topik untuk dibahas dan mulai memeriksa ponsel masing-masing, Rian merasakan perasaan serupa. Perasaan hampa dan tak nyaman mengendap singkat dalam dada sebelum akhirnya pergi kembali.
Barangkali bukan cuaca hari itu, atau bukan pula kesunyian taman Fakultas Ilmu Pendidikan yang membuatnya agak menggigil. Namun, memang ada kalanya beberapa langkah dijejak tidak pada tempatnya.
"I have," jawab Rian pelan.
Kedua muda-mudi itu memilih bungkam untuk beberapa waktu. Serempak mendongak, menatap langit di atas kepala mereka yang sebagian besar dihalangi oleh ranting-ranting pohon besar. Namun, sesungguhnya sama sekali tidak ada yang menarik di atas sana, tidak dengan dedaunan yang memilih mencumbui tanah ketika terkena angin atau pun burung-burung yang menganyam sarangnya di ranting yang tampak rapuh.
"Can you tell me one example of?" Putri memulai percakapan kembali, tetapi sama sekali tak menoleh.
Jejak-jejak langkah dan suara orang-orang yang saling berbincang sedikit mendistraksi pikiran Rian. Lelaki itu mendadak terlempar ke belakang. Déjà vu menjemputnya.
"Maybe this relationship. I don't know."
"You think so?"
Meskipun Rian sudah menatap Putri dari samping, gadis itu masih belum juga melepas pandangnya dari apa pun yang ada atas mereka. Tidak sedikit pun. Rasa-rasanya, kemarin mereka masih makan es krim cokelat kesukaan Putri di salah satu kantin Fakultas Ilmu Pendidikan, tetapi kali seolah ada sesuatu yang membuat suasana mendadak jungkir balik.
Pernah suatu hari, Rian iseng bertanya, "Menurut kamu, kita ini cocok, nggak, sih, sebagai pasangan kekasih?"
Putri mengerutkan kening dalam sekali waktu itu. Ia yang awalnya terlalu asik makan mi ayam yang berjualan tak jauh dari pintu masuk kampus mendadak menghentikan acara makannya. Gadis itu memberikan Rian tatapan yang dalam sekaligus penuh kebingungan.
Mahasiswi Antropologi itu berpikir lama sekali, seolah kepalanya memproses terlalu banyak data yang tak berkesudahan. Padahal, kalau dipikir-pikir, sama sekali tidak ada yang sulit dari pertanyaan Rian.
"I think so." Putri barangkali terdengar ragu, tetapi sepertinya gadis itu berusaha agar tidak terdengar seperti itu. "I thought we're almost fit each other." Gadis itu kemudian melanjutkan acara makannya, tetapi dengan cara yang berbeda. Putri berpandangan kosong menatap mangkuknya yang tersisa setengah, seolah pertanyaan Rian dan jawabannya sendiri dipertanyakan lagi di dalam kepalanya.
Almost, hampir. Namun, menurut Rian, 'hampir' selalu tidak pernah terasa cukup. Sebelumnya, lelaki itu bahkan tidak pernah memikirkan apakah mereka memang pantas menjalani hubungan roman yang sama seperti saat kelas sepuluh. Akan tetapi, setelah hari itu, Rian mulai mempertanyakannya. Hampir sama seperti ia meragukan fakta bahwa mendekati Putri hanya sekadar ingin berteman saja.
Di hari-hari selanjutnya, keraguan yang menggerogoti kepala dan hati mereka tampaknya semakin menjadi-jadi. Di suatu saat kala mereka duduk bersisian di bangku halte—menunggu bus yang akan mengantarkan kedua muda-mudi itu pulang—Putri bertanya pada Rian dengan suara pelan karena mereka tidak hanya berdua.
"Menurut kamu, wajar, nggak, kalau orang pacaran tapi nggak pernah berantem?"
Pertanyaan itu muncul tepat setelah sepasang kekasih yang duduk di samping Putri berdebat tentang mana warna yang lebih baik antara biru dan hijau. Rian menerawang lama sekali untuk sebaris kalimat yang itu.
Mereka tidak pernah bertengkar, sama sekali. Beberapa kali berkencan ke berbagai tempat sepulang dari kampus, tetapi sama sekali tidak pernah beradu argumen tentang apa yang bagus atau tidak. Seharusnya hal tersebut adalah hal yang bagus. Namun, Rian tetap saja merasa ada yang janggal, dan sepertinya Putri juga merasakan hal yang sama.
"I think that's okay. That's mean they're maybe perfect fit to each other."
Maybe, mungkin. Kata lainnya yang menyatakan ketidakyakinan terhadap sesuatu. Rian saat itu memang tidak yakin pada jawabannya, Putri juga tampak menerawang memikirkan hal yang sama. Barangkali memang ada banyak sekali yang terlalu janggal, lubang di sana- sini, tetapi bahkan sepasang kekasih itu masih tidak bisa meraba di bagian mana asal mulanya salah dan apa yang harus diperbaiki untuk membuatnya menjadi benar.
"The relationship, the only thing that makes everything gone wrong is us."
Setelah beberapa lama duduk di sana, Putri akhirnya menoleh untuk menatap lelaki di sampingnya. Hampir tidak ada emosi yang terpancar dari wajah mahasiswi Antropologi itu, tetapi matanya mengatakan segalanya. Ia tampak sendu, kecewa, dan bingung di saat bersamaan. Hanya dengan begitu saja, Rian tahu ke mana pembicaraan ini akan berakhir.
"How's about break up ... again?"
Perkataan Putri lirih sekali, mengayun bersama deru angin yang membuat ranting-ranting pohon bergerak agak berisik, ditambah lagi dengan cakap-cakap sekelompok mahasiswa tak jauh dari mereka. Kalau Rian tidak menatap balik dan mendengar dengan saksama, ia tidak akan tahu kalau sebenarnya suara Putri agak bergetar.
"Kamu beneran berpikir kalau that's a good idea?"
Rian bertanya balik. Meskipun ia tahu ke mana dan bagaimana akhir dari pembicaraan ini, ia tetap saja agak terkejut. Namun, bahkan jemarinya membeku di sisi bangku taman yang terbuat dari kayu itu. Seolah menghalanginya untuk menggenggam tangan Putri yang tak henti mengepal sejak pembicaraan mereka bermula.
Putri menerawang lagi, kali ini menatap entah apa di balik bahu Rian. Namun, pada akhirnya gadis itu mengangguk pelan, terlihat agak ragu.
"Are sure? Maybe we can fix everything that—"
"You know the answer, Rian." Hampir tidak ada satu pun kerut di wajah Putri. Gadis itu berpandangan sendu sekali. "There's nothing that we can fix. From the start, this relationship is the problem. How can we fix that?"
Tentu Rian tahu. Barangkali ia bukan orang pertama yang menyadarinya. Namun, ia sudah tahu pasti sejak perbicangan mereka hari itu dimulai.
"Kita cuma stagnam, and you know that," lanjut Putri.
Bagian lainnya yang harus digarisbawahi adalah bahwa sesungguhnya sedari awal mereka hanya stagnam. Rian berpikir bahwa sesungguhnya berpacaran hanyalah status yang dibuat-buat, karena sebenarnya mereka bahkan sama sekali tidak pernah mencapai hubungan manapun, bahkan tidak untuk menjadi teman yang baik sekalipun.
"So, you want us to break up?" Rian memastikan.
Kedua muda-mudi itu saling menatap untuk beberapa saat. Di saat itu, dada Rian mendadak terasa agak nyeri.
Putri mengangguk tak lama kemudian, kali ini lebih yakin dari sebelumnya. "Let's break up."
Perbincangan mereka usai sampai di sana walaupun sang mahasiswa Teknik tidak membalas apa pun, baik dengan ucap atau isyarat. Putri lebih dulu beranjak dan meninggalkan Rian sendirian di salah satu taman Fakultas Ilmu Pendidikan—satu-satunya tempat di mana mereka menjadi sapasang kekasih sekaligus menjadi sepasang mantan kekasih untuk yang kedua kalinya.
Bahkan setelah punggung gadis itu menghilang, Rian masih merasakan dadanya agak nyeri meskipun sama sekali tidak menampik bahwa mereka harusnya memang mengakhiri apa-apa yang tidak terasa benar. Yang salah adalah hubungan mereka, dan rasanya memang benar untuk mengakhirinya.
Tadinya, Rian berpikir bahwa sepuluh hari tidak ada apa-apanya. Namun, ternyata waktu empat puluh hari adalah waktu yang sekiranya lebih sia-sia. Kalaupun mereka memilih memperbaiki dan mengulang untuk yang ketiga kalinya, barangkali tidak ada yang berbeda. Sebab, mungkin ada kalanya sesuatu yang dipakai untuk memulai tidak harus sesuatu yang sama sebagai pembentuk akhir yang sesuai.
***
[ BABAK KESEMBILAN — selesai ]
[ next » BABAK TERAKHIR ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top