[prl · 07] - babak ketujuh

[ preliminerBABAK KETUJUH ]
[ impresi satu sama lain ]

***

"I think ... I like you, more than just a friend."

Kalimat itu justru masih terngiang setelah empat hari lamanya. Bahkan meskipun kalimat itu terucap di antara keramaian taman perpustakaan, Meskipun tidak mengingat bagaimana kronologi arah pembicaraan mereka bisa sampai sana. Namun, Rian masih sangat mengingat bagaimana nada bicara Putri saat mengatakannya.

Saat itu, Rian tidak memberi respons apa pun—sebab kepala dan mulutnya tidak tahu bagaimana menanggapi pernyataan yang terlalu mendadak itu. Mungkin memang Putri tidak mengharapkan respons apa pun darinya. Namun, melihat kalau sang gadis tidak pernah kelihatan di mana pun sejak saat itu, membuat perasaan Rian menjadi tidak enak.

Maka, selepas kelasnya di hari itu yang usai pukul dua siang, Rian berniat mengunjungi Putri di fakultasnya, memeriksa apakah gadis itu baik-baik saja atau tidak.

Saat melewati Fakultas Ilmu Ekonomi, Rian melihat bahwa sepupunya tengah berbincang ria bersama sekelompok mahasiswa yang terdiri dari empat perempuan dan tiga laki-laki—yang Rian kira adalah teman sekelas Nada. Dengan langkah lebar, Rian menghampirinya.

"Nada," panggil lelaki itu. Sayangnya yang menoleh bukan hanya satu orang, sekelompok mahasiswa yang berbincang dengan Nada juga ikut menoleh dengan kerutan yang sama di dahi mereka. "Can we talk, just a bit?"

Nada mengangguk meskipun yang air muka tidak senang. Setelah berpamitan dengan teman-temannya, sepasang muda-mudi itu memilih mengulur jarak beberapa meter dari sekelompok mahasiswa yang kembali asik berbincang ria itu.

"Now what?" Nada melipat tangannya di dada, memandang sepupunya dengan tidak suka dan merasa terganggu.

"Kamu ada tukeran kabar sama Putri, nggak, akhir-akhir ini?"

Nada memandangi Rian sebentar, menelisik, lalu mengangguk tak lama kemudian. "Why?"

Rian balik mengangguk. "I just ... wanna know ... what is she doing." Kemudian membubuhkan senyum kikuk di akhir kalimatnya.

"You're weird." Mahasiswi tahun kedua bisnis digital itu menyipitkan matanya, seolah ia sudah memikirkan bahwa pertanyaan Rian sangat tidak biasa. "Yesterday, you said that you are the one of her friends."

"Well," Rian menaikkan kedua bahunya, memandangi apa yang ada di balik punggung Nada—sekelompok mahasiswa itu masih asik berbincang entah apa. "I guess, you are the one of them too." Ia tersenyum canggung lagi.

Sepupunya itu memandangi Rian agak lama sebelum akhirnya membalas. "I don't get it. What are you really trying to say?"

Rasa-rasanya, memang percuma saja bertanya kepada Nada. Salah Rian juga bertanya dengan arah yang berputar-putar. Namun, lelaki itu juga tidak bisa mengatakan bahwa beberapa hari ini Putri seperti hilang setelah mengatakan perasaannya. Mungkin, sepupunya itu adalah orang pertama yang berteriak kepadanya dan menemui Putri secara langsung—kalau perlu menunggu di depan pintu rumahnya—untuk meminta klarifikasi.

Meskipun begitu, satu hal positif yang Rian tahu yaitu bahwa Putri baik-baik saja.

Rian pamit pergi setelah mengatakan, "Lupain aja." Air muka Nada tampak bingung sekaligus geram seolah tumpukan buku-buku di pelukannya siap dilempar kapan saja. Namun, Rian tidak memedulikannya dan berjalan dengan langkah lebar menuju fakultas Putri—Fakultas Ilmu Sosial.

Rian menyusuri gedung lima lantai itu sendirian, tanpa bertanya-tanya. Setiap pintu kelas di setiap lantai tertutup jika proses belajar mengajar sedang berlangsung. Sebelumnya ia juga sudah mengunjungi kantin fakultas—berjaga-jaga kalau Putri sedang makan siang bersama teman sekelasnya—tetapi gadis itu tidak di sana.

Rian memutuskan duduk di kursi tunggu yang ada di depan lift fakultas tersebut. Berharap di salah satu kelas yang tertutup itu terdapat Putri dan mereka dapat berbincang, tentang apa saja.

Lelaki itu mengeluarkan gawai dari saku celananya, memeriksa apakah Putri sudah membalas pesannya dari dua hari lalu hingga hari ini. Namun, notifikasi dari ponselnya hanya menunjukkan pesan-pesan yang datang dari grup kelasnya.

Torsonya bersandar di bangku dengan lemas. Mata Rian memandangi tiap mahasiswa yang keluar masuk melalui pintu kaca di gedung fakultas itu, tetapi tidak ada satu pun yang sekiranya mirip dengan Putri.

Entah mengapa, tidak melihat gadis itu selama beberapa hari membuatnya merasa ada sesuatu yang hilang. Mendadak ucapan-ucapan beberapa orang beberapa waktu belakangan memenuhi isi kepalanya.

Bagaimana kalau Rian dan Putri sungguhan balikan?

Dari mantan kekasih menjadi teman, setelah itu apa?

Putri menyukainya lebih dari seorang teman, apakah artinya mereka dapat mencapai posisi itu?

Rian tidak tahu dari mana asal semuanya, dari mana orang dapat berspekulasi tentang hubungannya. Yang Rian tahu, ia sekarang sangat-sangat sudah meragukan alasannya untuk sekadar berteman dengan Putri.

Dulu saat memutuskan merajut hubungan romantis dengan Putri semasa saat kelas sepuluh, Rian sama sekali tidak memusingkan apa pun, tidak perlu mendengarkan isi kepalanya yang penuh dengan keruwetan. Ia sama sekali tidak tahu kalau memulai hubungan yang baik dengan mantan kekasihnya menimbulkan gundah tak berkesudahan dalam dadanya.

Mungkinkah sebenarnya alasan Rian untuk menjalin hubungan kembali dengan Putri adalah untuk hubungan yang lebih dari sekadar teman?

Arloji di pergelangan tangannya dilirik singkat. Sudah hampir pukul empat sore, dan seluruh perkuliahan akan segera usai. Namun, di antara banyaknya mahasiswa yang berlalu lalang di depannya, ia masih tidak melihat Putri sama sekali. Beberapa mahasiswa yang tadinya masih duduk di sis kanan dan kiri Rian bahkan sudah beranjak keluar dari pintu kaca gedung tersebut.

Untuk beberapa saat setelahnya koridor gedung mendadak terlalu sepi, hanya ada dua tiga mahasiswa yang melewatinya. Rian mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk beranjak dan pulang saja. Barangkali Putri memang tidak ingin bertemu dengannya kali ini.

Namun, sebelum Rian melangkah, denting dari lift membuatnya menoleh. Sekelompok mahasiswa keluar dari sana, salah satu di antaranya adalah seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda memaku tatap padanya. Mata yang membulat dan dahi yang berkerut menandakan bahwa mahasiswi itu tampak terkejut dan bingung di saat yang bersamaan.

Sementara Rian memaku di tempatnya dengan degup di dadanya seolah akan menggelinding jatuh.

"What are you doing here?" Putri memulai percakapan begitu sampai di depan Rian.

Mahasiswa Teknik Sipil itu berdeham singkat sebelum menjawab. "Looking for you?" katanya agak tak yakin.

"Me?"

"Just make sure that you're okay."

"I'm okay?" Putri masih tampak bingung, ia beralih melihat rambut lelaki di depannya lekat-lekat. "Malah kamu yang keliatan berantakan."

Rian mengembuskan napas panjang. "Do I?"

Putri mengangguk sekali memberi tatap iba. Rian berkedip pelan sebelum akhirnya memperbaiki sedikit tatanan rambutnya yang memang sedikit berantakan akibat terus diacak-acak selama duduk di bangku tersebut.

Sepasang muda-mudi itu sepakat untuk membeli jus buah dari pedagang kaki lima yang baru berjualan dekat gerbang kampus mereka sebelum pulang. Putri bercerita bahwa ponselnya jatuh ke bak mandi beberapa hari lalu sehingga harus diperbaiki. Putri juga baru hari ini datang ke kampus karena beberapa dosennya meminta perkuliahan dilakukan melalui aplikasi fakultas.

Rian mengangguk saja sebagai respons. Mereka menunggu bus bersama di halte. Sambil memandangi gadis itu yang asik bercerita, Rian menyeruput jus buah naganya hingga tersisa setengah. Gundahnya sedikit hilang begitu tahu kalau Putri baik-baik saja. Gadis itu juga tampak ceria seperti biasanya.

Mahasiswa Teknik Sipil itu tidak tahu apa yang salah. Busnya yang tidak terlalu padat, cuaca yang tidak terlalu panas, atau senyum di wajah Putri yang masih sama cerianya seperti saat mereka kelas sepuluh. Namun, dadanya tidak berhenti berdegup kencang. Di sisi lain Rian merasa senang, kupu-kupu beterbangan di perutnya, tetapi di sisi lain ia masih merasa gundah, kebingungan. Padahal Putri sudah jelas-jelas duduk berdampingan dengannya di bus seperti waktu-waktu yang telah lalu.

"Kamu sebenarnya kenapa, Yan?" Putri bertanya lagi.

Sesungguhnya, Rian tidak tahu gadis itu merujuk pada situasi yang mana. Ia berpikir tentang pertemuan mereka tadi di depan pintu lift. Sembari menerawang ke depan, menatap bus yang menyusuri jalan Rian menjawab, "I don't know either. Kayak aku kehilangan sesuatu, but I don't know what."

Pandangan Putri turun, memandangi jemarinya bergerak memutar di atas permukaan tas. "Sorry, Yan. Maybe everything start from me a few days a go." Gadis itu menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya menatap Rian. "You can just forget about that anyway."

Rian memandangi Putri lama sekali, berusaha mencari-cari jawaban atas apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Satu hal yang membuat Rian yakin adalah sesuatu itu bukanlah hal yang harus diabaikan dengan begitu mudah.

Ia mendapatkan jawabannya. Rian mendapatkan alasannya. Perlahan, senyum merangkak naik ke wajahnya lelaki itu.

"I think, I like you so. Do you wanna try it?"

***

[ BABAK KETUJUHselesai ]
[ next » BABAK KEDELAPAN ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top