[prl · 06] - babak keenam

[ preliminerBABAK KEENAM]
[ menemukan dalih ]

***

Hari Jumat, tepat pukul sepuluh pagi, kelas pertama Rian hari itu selesai. Setelahnya ia tidak memiliki kelas lagi sampai pukul dua siang. Menurutnya, kalau pulang akan sia-sia saja. Toh, dia juga akan kembali lagi nanti. Jadi, begitu diajak teman-temannya untuk sekadar nongkrong di kantin fakultas, Rian menyetujuinya dengan cepat.

Kantin Fakultas Teknik tidak begitu luas—tidak seperti kantin milik FMIPA atau Fakultas Ilmu Ekonomi—mengingat mahasiswanya juga tidak begitu banyak. Sehingga, bahkan hampir di setiap sudut memandang, semua mahasiswa yang terlihat adalah wajah-wajah yang familiar meskipun Rian sama sekali tidak mengenalnya.

Namun, hari itu, Rian mendapati seorang gadis duduk sendirian di salah satu meja dekat stan pisang krispi—menoleh ke sana-kemari, lalu mengetik entah apa di laptopnya.

Putri.

Jikalau Rian melihatnya di kantin Fakultas Ilmu Sosial, maka tidak ada yang aneh. Namun, ini di kantin Fakultas Teknik dan di hari Jumat Putri juga tidak memiliki kelas apa pun. Berteman dengan gadis itu untuk beberapa waktu membuatnya tahu kalau Putri tidak pernah datang ke kampus di hari Jumat dengan alasan tersebut.

"It's a bit strange, isn't?" Itu adalah kalimat yang pertama kali Rian ucapkan begitu duduk di depan Putri, tentunya setelah berpamitan dengan teman-temannya yang duduk di dekat stan penjual nasi goreng.

Putri terlonjak sedikit, lalu mengembuskan napas lelah. "Yeah, kalau nggak karena tugas, aku juga males keluar rumah."

Gadis itu menjelaskan mengapa alasannya ada di kantin Fakultas Teknik hari itu. Dosennya memberikan tugas mengamati dan menyimpulkan kegiatan manusia terhadap keseharian dan tindakannya. Objek utama penelitian adalah seluruh mahasiswa Universitas Sujana Dikara, tetapi mereka dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mendapatkan objek yang lebih sempit. Meskipun begitu, mereka tetap mengerjakan tugas secara individu.

Putri mendapat kelompok Fakultas Teknik, itu sebabnya itu duduk sendirian di sana dengan laptop yang terbuka.

Rian mengangguk beberapa kali, memberi tanda bahwa ia paham. Lelaki itu memilih pindah tempat duduk menjadi di samping Putri lalu mengintip poin-poin yang telah gadis itu ketik di layar laptopnya.

"Objeknya harus sempit, kan?" Putri mengangguk atas pertanyaan Rian. "Dipersempit lagi jadi angkatan aja, misalnya 2022. Atau bisa juga spesifik ke kelas tertentu." Lelaki itu menunjuk teman-temannya yang duduk tak jauh dari mereka, sibuk dengan ponsel masing-masing—sepertinya sedang bermain game online. "Atau aku juga mau jadi objek penelitian kamu." Rian beralih menepuk dadanya sendiri, tersenyum pongah, dan menaik-turunkan kedua alisnya.

Meskipun Rian terkesan hanya bercanda, Putri malah menyetujuinya usulan pendapatnya. Sehingga, lelaki itu mengantarkan Putri ke meja yang ditempati teman-temannya.

Ekspresi pertama yang ditampilkan teman-teman Rian adalah terkejut. Namun, setelah dijelaskan oleh Rian, mereka semuanya tersenyum ramah dan berbincang santai dengan Putri. Namun, beberapa di antaranya juga menyipitkan mata ke arah Rian seolah skeptis kalau Putri hanya disebut sebagai teman.

"Semuanya juga berawal dari temen," celetuk salah satu teman gadis Rian, duduknya berjarak satu kursi dari Putri. "Ya, kan? Mak bapakku dulu katanya temen aja, sekarang anaknya tiga."

Tiga meja yang dijadikan satu itu mendadak ramai sekali, setiap orang tertawa, bahkan Putri juga. Gadis itu tampak mudah bergaul dengan teman-temannya yang punya humor jelek sekali. Sesekali, Putri juga menuliskan hasil penelitiannya di secarik kertas dibanding laptopnya yang sudah tersimpan rapi di dalam tas.

Namun, mendadak ucapan itu berputar-putar tanpa henti di kepada Rian. Ia tidak bisa menyangkal bahwa segala sesuatunya bermula dari teman. Lagi-lagi, ia meragukan alasannya berteman dengan Putri. Apakah mungkin suatu hari nanti ia akan menjalani masa yang sama dengan yang pernah ia rajut dengan Putri sewaktu sekolah menengah dulu?

Pertanyaan tidak dijawab—atau barangkali kepala dan hatinya tidak punya jawaban yang diinginkan. Bahkan tidak sampai keseruan di kantin Fakultas Teknik selesai, berlanjut hingga kelas di pukul dua, lalu Rian dan Putri yang memutuskan untuk pulang bersama setelahnya.

"Put, are we really friends?"

Rian tidak tahu dari mana atau bagaimana pertanyaan itu bisa meluncur begitu saja dari mulutnya. Bus yang mereka tumpangi bahkan belum sampai dua menit membelah jalan raya.

"You mean?" Bahkan dari suaranya saja Putri sudah terdengar bingung. Ia melihat Rian sebentar sebelum akhirnya sibuk memakan es krimnya yang mereka beli tepat sebelum bus berhenti di halte kampus.

"Ya, mungkin aja, kan, kita balikan." Lelaki itu menilik Putri dari ujung matanya. Meskipun tersenyum, ada garis-garis di sudut matanya yang menunjukkan bahwa ia mengkhawatirkan hal tersebut.

"Oh, kamu mau kita balikankah?"

"It's up to you. Kalau kamu mau, kita bisa balikan sekarang." Rian tertawa kecil, seolah kelakar dan seluruh pertanyaan sebelumnya memang hanya bahan bercanda belaka. Sayang sekali, dadanya malah bergemuruh beberapa saat setelahnya.

Putri tidak langsung membalasnya. Ia memandangi cup di tangannya yang isinya tersisa setengah. Sisa perjalanan hari itu diisi dengan keheningan—hampir sama seperti saat pertama kali mereka duduk berdampingan di bus.

"Well, we'll see it. Later." Itu adalah kalimat yang Putri ucapkan sebelum akhirnya turun dari bus dan melambai pada Rian.

Benar, Putri benar. Dia akan tahu suatu saat nanti.

Jalanan dari halte pemberhentian bus menuju rumahnya tidak begitu jauh, barangkali sekitar dua sampai tiga menit berjalan kaki. Komplek tempat tinggalnya adalah perumahan yang sebagian besar ditinggali oleh orang-orang yang bekerja di industri pengolahan minyak sawit tak jauh dari sana, sedangkan sisanya adalah apoteker, guru, karyawan wiraswasta, dan pengusaha seperti ayah dan ibu Rian.

Di sore hari itu, kebanyakan penghuni dari rumah-rumah yang tersusun dengan jarak masing-masing lima meter itu kosong. Mereka baru akan pulang saat matahari sudah hampir terbenam. Kalaupun ada, yang menjaga rumah mereka adalah anak-anak berusia sekolah menengah atau seumuran dengan Rian.

Seperti hari itu, selagi menyusuri paving block segilima menuju rumahnya, Rian mendengar seseorang sedang menyapu halaman rumah. Itu adalah satu-satunya rumah dari barisan Blok F yang memiliki pohon mangga, kelengkeng, dan ketapang di halaman rumah sekaligus. Rumah yang sangat rindang dan tentu saja rawan kemalingan buah kalau sudah musimnya.

"Tumben rajin. Kerasukan hantu pembantu rumah tangga, ya?"

Rian melongok dari balik pagar kayu yang dicat putih itu, tingginya hanya sedada. Lelaki itu tidak mendapati respons apapun. Gadis berpiama putih dengan motif bunga lavender itu tampak tak menghiraukannya, ia terus menyapu dedaunan kekuningan dan bekas sisa bebungaan yang mungkin tidak akan menjadi buah dari atas rumput jepang.

Namun, tampaknya Rian tidak habis akal untuk menjahili tetangga sebelah rumahnya itu. Ia mengambil satu buah dari pohon ketapang yang sudah kekuningan di bawah kakinya lalu melemparnya, tepat mengenai kaki gadis itu.

Namanya Raya. Setahun lebih muda dari Rian. Berkuliah di kampus yang sama dengan Rian pula, tetapi memilih program studi Pendidikan Kimia. Kegiatannya sepulang dari kampus adalah menjaga rumah, seperti hari ini.

Raya berhenti menyapu sembari berdecak dan memutar bola matanya. "Pergi sana, Monyet. Jangan ganggu manusia." Kemudian, setelah mengayunkan tangannya seolah sedang mengusir, gadis itsu lanjut menyapu lagi.

Bukannya kesal, Rian malah tertawa panjang. Ia memunguti buang ketapang lainnya dan melemparinya. Beberapa buah mengenai kaki, sedangkan yang lainnya mengenai bahu gadis malang itu. Setelahnya, Rian melangkah cepat-cepat menjauhi pagar rumah Raya menuju rumahnya.

"Nanti kalau udah selesai nyapu di sana, sapu halaman yang ini juga, ya, Mbok!" pekik lelaki itu sembari tertawa panjang.

Beruntungnya Rian bergerak cukup cepat. Jika tidak sebuah sapu lidi sudah melayang mengenai kepalanya. Sapu lidi tersebut berakhir mengenai pagar pembatas rumah mereka sebelum akhirnya menimbulkan bunyi nyaring yang membuat Rian makin tertawa keras meskipun sudah masuk ke rumah.

"Ngeselin banget, sih, jadi homo sapiens!"

***

[ BABAK KEENAMselesai ]
[ next » BABAK KETUJUH ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top