[prl · 05] - babak kelima

[ preliminerBABAK KELIMA ]
[ interelasi yang hilang ]

***

Laboratorium Fakultas Teknik hari itu penuh sesak. Puluhan mahasiswa duduk tak beraturan di teras gedung laboratorium sembari memeluk berlembar-lembar kertas laporan. Seluruh mahasiswa tersebut berasal dari jurusan dan program studi yang berbeda, tentu saja, Rian adalah salah satu di antaranya.

"Kami nggak bisa masuk ke ruang lab aja gitu, Kak? Sesak, begini di sini." Begitu kira-kira kata salah seorang teman sekelas Rian yang diangguki beberapa orang di sekitar mereka, bahkan sekiranya juga oleh mahasiswa yang tidak sekelas dengan Rian.

Seorang lelaki berkaca mata dengan tumpukan-tumpukan laporan praktikum para mahasiswa itu mengembuskan napas panjang. Sembari memperbaiki letak tumpukan yang bukan main di pelukannya, ia membalas, "Nggak bisa. Banyak barang sensitif di dalam lab." Kemudian ia lanjut memeriksa lagi.

"Tahu gitu, di kelas aja, kan, bisa, Kak," sahut teman gadis Rian yang lain. "Seenggaknya nggak perlu meriksa sambil berdiri gitu."

Asisten laboratorium itu namanya Devan. Setahun lebih tua dibanding Rian. Ia melirik gadis yang berbicara barusan sebelum akhirnya berucap sambil terus memeriksa. "Minus lima belas, ya, sekelas."

Hampir seluruh mahasiswa yang sekelas dengan Rian termasuk dirinya mengeluh tidak setuju. Tempat yang sempit itu mendadak terlalu heboh karena teman sekelas Rian tidak terima nilai laporan praktikumnya dikurangi segitu banyak hanya karena mengeluh tidak mau berdesakan di teras laboratorium.

"Ya, soalnya Kakak nggak bisa ngurangin akreditasi fakultas atau gaji dosen, kan. Jadinya ngurangin nilai kalian aja," kata Devan masih dengan nada suara yang tenang.

Kehebohan masih terus berlanjut hingga perhatian mahasiswa lain dengan asisten laboratorium berbeda tertuju pada sekelompok mahasiswa yang seolah akan mengadakan unjuk rasa besar-besaran itu.

"Apa, nih, ribut-ribut?" Seorang lelaki dengan kemeja putih bersih dan tumpukan kertas dipelukannya—seperti laporan praktikum mahasiswa—menyeruak dari barisan mahasiswa yang ingin tahu. "Suara kalian kedengeran sampe lab kimia." Padahal semua orang juga tahu kalau bahkan Fakultas Teknik dan Fakultas MIPA memiliki jarak yang cukup jauh. Namun, sepertinya menggambarkan bahwa kehebohan mereka sudah kelewatan.

Tidak seperti teman-temannya yang mengernyit dalam menggambarkan ketidaktahuannya terhadap mahasiswa yang menginterupsi ketidakterimaan mereka, Rian tentu mengenalnya—atau memang masih mengenalnya.

Lelaki itu menatap satu-satu para mahasiswa yang melakukan unjuk rasa di sana, hingga akhirnya jatuh pada Rian. Tidak ada respons apa pun yang diberikannya sampai Devan membuka mulutnya. "Ini, mereka nggak terima desakan di lab, nggak boleh masuk. Nggak terima juga kalau nilainy dikurangin karena protes."

Novan, kakaknya Putri, kakak dari mantan kekasihnya—atau sekarang Rian dapat menyebut lelaki itu sebagai kakak dari temannya—ber-oh panjang. "Kalau gitu kalian pindah fakultas aja. FMIPA labnya lebih luas, apalagi lab kimia. Nggak level, lah, desak-desakan. Masa gerak dikit langsung meluk orang."

"Iya, luas. Luas banget sampai jidatnya anak FMIPA juga ikutan meluas," sahut Devan, lalu menunjuk dahi Novan yang setengahnya tertutup poni, tangannya kemudian bergerak menyingkap poni tersebut. "Ini kalian liat sendiri testimoninya."

"Damn, Van." Novan memukul tangan Devan hingga menimbulkan bunyi yang nyaring.

Kehebohan atas ketidakterimaan tersebut lekas-lekas berganti dengan gelak tawa.

Pertemuan di hari itu disepakati bahwa tidak akan ada pengurangan nilai. Devan mengatakan bahwa dosen pengampu sendiri yang mengatakan akan memantau pengumpulan laporan praktikum mahasiswa secara langsung di hari itu. Itulah sebabnya laboratorium Fakultas Teknik penuh sesak. Padahal biasanya beberapa asistem laboratorium lain lebih suka meminta satu orang saja yang mengumpulkan ke laboratorium langsung.

Saat para mahasiswa membubarkan diri—termasuk para asisten laboratorium—bahu Rian ditepuk sekali oleh Novan. Rian memberikan senyum kecil, tetapi Novan sama sekali tak membalas, hanya memandangi saja kemudian berlalu mendahuluinya bersama Devan.

Hingga saat ini, Rian tidak tahu bagaimana pandangan Novan terhadapnya. Tidak tahu apakah lelaki itu kesal, tertanggu, atau merasa aneh begitu mengetahui bahwa dirinya sempat berpacaran dengan sang adik. Namun, melihat apa yang baru saja terjadi, sepertinya tidak masalah kalau Rian juga berusaha menjalin ikatan teman dengan Novan.

***

"Kalian beneran ke festival bareng?"

Matanya membelalak, ia juga menganga saat menatap Rian di seberangnya dan Putri yang duduk tepat di sampingnya. Nada bahkan tidak berkedip untuk beberapa saat seolah masih tidak bisa percaya atas apa yang didengarnya melalui Putri. Bahkan setelah sahabatnya itu menunjukkan foto-foto selfie mereka selama mendatangi festival, Nada masih terpaku memandangi sepasang muda-mudi itu.

"Kok bisa, mantan-mantanan tapi ke festival bareng," ucap Nada serempak dengan mengakhiri acara menatapnya. Namun, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kelunturan terhadap rasa herannya meskipun tengah menyantap nasi goreng yang dipesannya sebagai makan siang di kantin Fakultas Ilmu Sosial.

"We're friends," kata Rian dengan santai, berusaha menghilangkan air muka heran sepupunya itu. "Ya, kan, Put?" Mahasiswa Teknik Sipil itu menoleh pada Putri yang duduk di depannya seolah meminta tanda setuju juga.

Putri berdeham singkat memberi persetujuan karena sibuk memakan mi ayam. Namun, kerut-kerut di wajah Nada bukannya menghilang, malah semakin banyak. Ia memandangi lagi Rian dan Putri bergantian terus-menerus, lebih lama dibanding yang pertama.

"Kok mantan bisa temenan?!"

Nada agak menyeru, beberapa mahasiswa lain bahkan sampai menoleh, tetapi pelototan dari Nada sepertinya membuat mereka kembali melakukan aktivitas seperti semula. Padahal sebenarnya Nada memberikan pelototan itu pada sahabatnya. Sayang sekali tampaknya Putri tidak mengetahui hal tersebut karena sibuk memakan makan siangnya.

"Ya, bisalah." Rian menyahut agak heran. "Masalahkah buat kamu?"

"Banget!" Nada mendesis sambil memberi pelototan pada Rian, lalu memutar tubuh pada Putri. Ia mengguncang lengan sahabatnya itu seperti anak kecil yang merengek pada ibunya. "Kok kamu mau temenan sama dia? Nanti kalau kamu ikutan jadi jamet, gimana?"

"Aku? Jamet?" Rian menunjuk dirinya sendiri. "Kamu, tuh, yang kudet. Mana zaman lagi musuhan sama mantan."

Kerut-kerut di wajah Nada menunjukkan bahwa ia cukup kesal dengan jawaban sepupunya. Namun, ia mengabaikan Rian dan lanjut menggoyangkan tangan gadis di sampingnya. "Tapi kalau kalian udah temenan, terus balikan lagi gimana?"

Sesungguhnya, balikan tidak pernah sempat terpikir oleh Rian, tidak waktu itu ataupun sekarang sampai Nada menyinggungnya hari ini. Sebelum ini, seluruh usahanya sejak secara tak sengaja duduk berdampingan di bus menuju kampus murni dengan alasan berteman dan tidak ingin memiliki hubungan yang buruk dengan siapapun.

Namun, di hari itu, ketika Nada yang sibuk merengek untuk jangan berteman dengan sepupunya sedangkan Putri sendiri tidak mengacuhkan sama sekali, Rian justru meragukan alasannya sendiri.

Apakah ia sungguhan hanya ingin berteman? Atau apakah ia masih ingin mencari hal-hal yang tidak pernah dicapainya bersama Putri. Rian tidak tahu, tetapi ia mulai takut kalau sudut terdalam dari pikirannya sungguhan benar.

"Ya, kalau misalnya nanti balikan, kenapa? Nggak masalah, kan, buat kamu, Nad?"

Bahkan di cuaca yang cerah hari itu, Rian mendengar sambaran petir yang memekakkan telinganya. Namun, sepertinya Nada yang lebih parah. Sepupunya itu pasti sedang terkena serangan jantung dan stroke di saat bersamaan saat Putri akhirnya memilih angkat bicara setelah tidak mengacuhkan sama sekali.

***

[ BABAK KELIMAselesai ]
[ next » BABAK KEENAM ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top