[prl · 04] - babak keempat

[ preliminerBABAK KEEMPAT ]
[ lintasan asing ]

***

Hari yang buruk kalau kata Rian.

Dosennya memberi tugas yang bukan main banyak dan sulitnya, kemudian teman sekelompoknya malah mengacaukan presentasi pagi ini dengan jawaban yang nyeleneh. Alhasil, dosen wanita yang selalu mengenakan kaca mata besar itu mukanya berkerut sana-sini, berdecak, dan geleng-geleng sambil menulis entah apa di buku yang katanya catatan pahala dan dosa itu. Rian yakin sekali, presentasi kali ini sama sekali tidak memuaskan keinginan dari dosen wanita yang katanya sudah mengajar selama sembilan belas tahun itu.

Rambut lelaki itu berantakan, hampir menutupi alisnya begitu kelas dibubarkan. Rian duduk di bangkunya sembari terus menerus mengembuskan napas lelas. Ia tidak yakin, ini masih tahun keduanya dan ia sudah sebegini berantakan. Masih ada tahun ketiga dan keempat yang barangkali lebih membuatnya frustrasi lagi.

"Ada festival di FBS, nggak ikut, Yan?" Seseorang menepuk pelan bahunya, lelaki itu menoleh dan mendapati komisaris kelas yang menunjukkan seluruh giginya, sedangkan di belakangnya ada beberapa teman sekelasnya yang mengantri untuk menunggu jawaban.

Rian memandangi wajah mereka semua. Tidak enak juga kalau ikut ke festival di mana semua orang bergembira menikmati acara kesenian atau makan di bazar, tetapi wajah Rian sebegitu kusutnya padahal masih terhitung pukul duabelas lewat lima siang.

"I'm sorry, maybe next time. Sekarang mau pulang aja," kata Rian sembari menyandangkan tas ke bahu kanannya.

"Yaaahh, nggak bisa foto bareng Rian, dong." Salah seorang gadis di belakang sang komisaris kelas mengerucutkan bibirnya.

"Udah, nanti foto Rian kita tempelin di samping muka kamu," sahut lelaki yang tiba-tiba muncul dari belakang si gadis.

Para mahasiswa yang berbaris itu tergelak, tetapi Rian hanya tersenyum tipis sebagai bentuk formalitas. Teman-teman Rian juga tampak tak memaksa lelaki itu, seolah mengerti bahwa setengah hari ini sudah cukup menghabiskan energinya. Jadi, begitu sebagian teman sekelasnya sudah berbelok ke arah Fakultas Bahasa dan Seni, Rian memilih mengambil arah yang berlawanan-menuju gerbang dan kembali ke rumahnya. Mungkin ia akan menghabiskan sisa hari ini dengan tidur dan melupakan sejenak kalau harinya sedang sangat buruk.

"Rian!"

Baru saja beberapa langkah menjauhkan diri dari kelompok teman-temannya, Rian diteriaki oleh seorang gadis. Jika saja pikiran tubuhnya tidak terlalu lesu, Rian pasti akan langsung tahu siapa yang sedang memanggilnya sembari melangkah dengan tergesa-gesa itu.

"Mau pulang, ya, Yan? Nggak mau mampir bentar dulu ke festival?"

Suara bernada ceria itu membuat energi yang beberapa saat lalu hampir kosong, berubah menjadi terisi. Senyum yang tidak terlalu lebar milik Putri itu, malah membuat Rian mendadak ingin pergi ke festival sekarang sekarang juga-membeli setiap makanan yang ada di sana dan menikmati acara kesenian sampai kampus diutup.

Rian merapikan sekenanya rambut yang ia kira tidak dirapikan sejak kelas dibubarkan. Sebaik mungkin lelaki itu membalas senyum riang Putri-yang munculnya once in a blue moon.

Lelaki itu mengangguk singkat. "Kamu mau ke festival juga? Nggak sama Nada?"

Putri menggeleng. "Katanya dia ada kelas sampai sore."

"Kamu mau ke festival? Kita berdua?"

Padahal, saat bersama temannya beberapa saat yang lalu, Rian langsung menolak dengan alasan sedang lelah. Tidak sampai beberapa menit sebelum kemunculan mantan kekasihnya, Rian juga masih akan berpikir akan langsung pulang dan menghabiskan waktu untuk tidur saja. Kemudian, sekarang ia sendiri yang berinisiatif untuk mengajak Putri pergi ke festival seolah energinya tidak pernah habis, seolah tidak ada cap hari buruk yang menimpanya.

Mahasiswi Antropologi tahun kedua itu menatap sekeliling mereka sebentar sebelum akhirnya mengangguk menyetujui dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Di dalam hati, Rian bersorak kegirangan. Ia juga tak dapat menyembunyikan senyumnya begitu mereka serempak melangkahkan kaki menuju Fakultas Bahasa dan Seni yang tidak terlalu jauh dari Fakultas Teknik.

Fakultas Bahasa dan Seni menjelma lautan manusia. Musik penggiring kesenian menggema ke seluruh penjuru arah, panggung kesenian berdiri tepat di sebelah gedung utama fakultas-sekelompok orang sedang mempersembahkan sebuah tarian daerah lengkap dengan busana mewah, bendera-bendera kecil warna-warni menggantung dari tiang satu ke tiang lainnya-beberapa terikat di batang pohon, dan stan-stan makanan beratap kuning cerah mengular di sepanjang jalan di depan fakultas tersebut.

Lelaki itu berharap saja tidak berpapasan dengan teman-teman sekelasnya. Tidak enak juga sudah menolak, beralasan ingin pulang saja, tetapi malah berakhir berjumpa di salah satu stan makanan dan tertangkap basah tengah mendatangi festival dengan seorang gadis.

Saat masih asik melihat-lihat ke sana-kemari, Rian terkejut karena tiba-tiba saja Putri menarik pergelangan tangannya menuju panggung pentas seni yang penontonnya ramai bukan main. Di antara mungkin berasal dari fakultas lain, sedangkan beberapa kelompok lainnya mungkin berasal dari fakultas atau program studi yang sama-dilihat dari kelompok tersebut yang menyemangati dengan tepukan tangan dan teriakan semangat sehingga para penari yang di atas panggung tersenyum terus-menerus.

Putri mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, mulai merekam sekelilingnya hingga akhirnya merekam aksi panggung yang katanya dari program studi Sastra Indonesia itu. Kemudian, hal mengejutkan lainnya adalah bahwa gadis itu mengajaknya ber-selfie ria dengan latar kerumunan dan panggung pentas seni. Setelahnya, Putri menikmati tarian daerah tersebut seolah tidak melakukan apa pun, sementara Rian termangu sebentar memandangi gadis itu sebelum akhirnya ikut menikmati rangkaian acara juga.

"Aku terkejut pas tahu kalau kamu datengin fakultasku yang jauh itu." Rian membuka pembicaraan begitu mereka baru saja duduk di tepi taman yang tidak terlalu jauh dari panggung, sehingga masih dapat melihat beberapa pertunjukan meskipun tidak terlalu jelas.

Putri bergumam panjang sambil mengunyah takoyaki pertamanya yang mereka beli di bazar festival tersebut setelah selesai menonton dari dekat panggung. "Memangnya nggak boleh, ya?"

"Boleh, sih." Rian menggaruk ujung hidungnya. "Tapi, sendirian? Kenapa nggak dateng ke festival sama temen sekelas?"

Gadis itu memandangi sisa takoyakinya dengan tatapan kosong, tetapi kemudian lanjut memasukkan salah satunya ke mulut. "Enggak pa-pa." Putri beranjak menatap Rian dengan senyum yang tiba-tiba merangkak naik dari wajahnya. "Aku dateng ke festival sama temen, kok. Kamu, kan, juga temenku."

Rian memiringkan kepalanya, merasa kalau Putri tidak sedang baik-baik saja. "I thought we're too fast to reach that place?" Namun, lelaki itu tidak mempertanyakannya. Mungkin memang lebih baik kisah itu hilang saja diredam dentuman musik pengantar tarian, sorakan semangat, atau orang-orang yang mendiskusikan tentang bazar makanan.

"At first." Putri menerawang, memandangi langit di atas kepalanya yang penuh dengan serakan awan, hampir tidak kelihatan birunya. "Then I thought that we're already reach that before we knew."

Kedua muda-mudi itu saling menatap sembari melempar senyum hangat. Rian tidak tahu apa yang membuat Putri dapat membuat keputusan dalam kurun waktu sepekan itu. Entah ikatan aneh yang pernah mereka jalin dulu saat kelas sepuluh sekolah menengah atau suasana hari Putri yang tidak baik kepada teman-temannya hari itu hingga membuatnya mendatangi Rian seorang diri.

Rian tidak punya jawaban apa pun, tetapi ia merasa senang sebab ada babak lain yang dapat ditinjaunya menuju titian yang lebih tinggi.

Sepanjang waktu yang mereka habiskan di festival tersebut, adalah pertama kalinya Rian menikmati wajah Putri yang riang saat menonton pertujukan di panggung yang ternyata adalah perlombaan tarian daerah atau saat mencicipi berbagai kudapan yang dijual di bazar tersebut.

Sesuatu yang tidak pernah mereka jalani semasa hubungan mereka terdahulu. Tidak pernah merasakan hal-hal yang membuat jarak di antara mereka tak terhalang rasa canggung.

Rian dan Putri sepakat untuk pulang setelah menonton satu pertunjukan tarian lagi. Mereka menggunakan bus yang sama karena punya tujuan yang searah. Tidak ada kehehingan di antara mereka seperti pertama kali kedua muda-mudi itu duduk bersebelahan pertama kali setelah sekian lama.

Mereka mengomentari banyak hal mengenai festival tersebut. Tarian yang bagus, pakaian yang indah, pendekorasian panggung, dan tentu saja makanan-makanan yang dijual di bazar festival tersebut. Dilanjut dengan pembicaraan bagaimana nanti jadinya jika fakultas mereka masing-masing mengadakan festival yang sama.

Putri memperkirakan bahwa mungkin mereka akan seperti mengadakan seminar tentang pentingnya ilmu sosial dibanding menunjukkan tarian-tarian daerah seperti Fakultas Bahasa dan Seni. Lebih baik jika Fakultas Teknik yang mengadakan festival. Mahasiswa Teknik dapat mengadakan pameran mengenai konstruksi yang mereka kerjakan.

Pembicaraan panjang dan menyenangkan itu sayang sekali harus berakhir ketika halte tempat pemberhentian Putri sudah muncul. Gadis itu melambaikan tangan dan berucap sambil tersenyum, "Thanks for today, Rian. Nice to know that you are also the one of my friends."

Kemudian, gadis itu menghilang di balik pintu kaca dengan tas sandang cokelatnya dan beberapa bungkus makanan yang ia beli di bazar festival sebelum memutuskan untuk pulang. Sebelum bus benar-benar bergarak menjauhi halte dan Putri, Rian masih sempat balas melambai dan tersenyum. Dadanya terasa hangat, permintaannya terkabulkan.

Rasa-rasanya, jalan yang dilalui kali ini adalah arah yang tidak pernah mereka lalui sebelumnya. Kedua muda-mudi itu saling mengenal dalam kurun waktu yang sangat singkat. Hanya berawal saling tersenyum saat apel pagi, berbincang beberapa hari, lalu setelahnya berpacaran dalam kurun waktu sepuluh hari saja, lalu setelahnya mereka tidak bertemu lagi hingga jenjang tahun kedua di universitas. Tidak ada masa untuk mereka saling mengenal, tidak ada pertemanan, tidak ada hal-hal yang dilakukan untuk membuat satu sama lain merasa nyaman.

Rian yakin, segalanya tidak harus dilakukan secara terburu-buru. Ada tahap-tahap yang harus dilakukan untuk membuat pondasinya tidak goyah.

Lelaki itu sudah menyukai Putri? Ia tidak tahu. Rian merasa hanya cukup baik menjalin pertemanan dulu saja. Masalah rasanya dahulu yang muncul kembali, ia akan mempertimbangkannya lain kali.

***

[ BABAK KEEMPATselesai ]
[ next » BABAK KELIMA ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top