[prl · 02] - babak kedua
[ preliminer - BABAK KEDUA ]
[ rekanan bernomor ]
***
"Tiga hari nggak keliatan, ke mana aja?"
Seorang gadis, berambut lurus panjang meletakkan segelas cokelat dinginnya di meja yang ditempati Putri dengan sentakan keras. Beruntung saja kantin pada saat itu sedang ramai-ramainya karena jam makan siang. Sehingga, Putri tidak perlu khawatir orang-orang akan menganggap akan ada keributan di mejanya saat itu.
Putri mengalihkan pandangannya dari laptop yang sedang ia pakai untuk mengerjakan tugas pada gadis yang rautnya berkerut-kerut kesal tersebut. Ia menyeruput es jeruknya sebentar.
"Kelas?" katanya dengan tenang sambil mengangkat bahu, seolah tidak bersalah sama sekali.
Putri tidak melepaskan tatapannya hingga gadis di depannya itu menarik kursi dan duduk dengan grasak-grusuk. Nada, mahasiswi tahun kedua program studi Bisnis Digital. Mereka sudah bersahabat sejak kelas empat sekolah dasar karena adalah tetangga dengan rumah berdampingan. Namun, karena orangtua Nada dipindahtugaskan ke kota lain, maka Nada juga ikut pindah ketika kelas delapan sekolah menengah pertama.
Nada mendekatkan tubuhnya pada Putri. "Really?" Gadis itu menyipitkan mata. "Chat-ku juga nggak kamu bales sejak dua hari lalu."
Gadis yang duduk di depan laptop itu mendesah lelah. "Kamu cuma ngirim stiker mukanya Nanon yang belepotan sama bedak. Apa yang harus aku bales?"
Embusan napas panjang menguar. Nada menjauhkan dirinya dan bersandar di kursi kayu milik salah satu stan minuman di kantin Fakultas Ilmu Sosial. Ia bergumam pendek. "You're right tho." Gadis itu mengangguk beberapa kali. "Tapi, kan, kamu bisa bales pake stiker muka Pakin yang hampir nangis itu."
Putri mengembuskan napas lelah. Tidurnya tidak cukup, ia lapar, tetapi tugas-tugas resume-nya belum selesai, dan sekarang ditambah dengan sahabatnya sendiri yang malah mempermasalahkan balasan stiker WhatsApp.
"Aku pening banget, Nada," katanya dengan nada yang lesu. "Bisa, nggak, kamu pesenin aku makanan apa gitu? My stomach hurt and I think of nothing."
Nada berkedip beberapa kali sebelum akhirnya berucap, "Okay," dengan nada rendah. Kemudian beranjak dari tempatnya menuju salah satu stan makanan. Tak lama, ia kembali dengan membawa dua piring-satunya berisi mi goreng, satunya lagi nasi dengan ayam lada hitam.
"Nih, makan." Meski dengan suara yang terdengar masih agak kesal, Nada menggeser piring ayam lada hitam itu lebih dekat pada Putri. "It's on me."
Senyum merangkak naik di wajah letih Putri. Ia menggeser piring itu lebih dekat padanya dan mulai menyantap. "Kenapa harus pake marah-marah dulu, sih? Begini, kan, enak, langsung ditraktir."
Nada tidak membalas. Gadis itu sibuk menyuapi dirinya juga dengan mi goreng. Namun, setelah beberapa suap, ia melontarkan tanya yang membuat Putri hampir tersedak.
"Rian is my cousin, just for your information." Begitu katanya dengan santai, lalu menyeruput es cokelatnya.
Putri menyeruput es jeruknya dengan tergesa. Setelahnya ia menatap sahabatnya dengan kerutan cukup banyak di dahi. "What the hell is that mean?"
Sesungguhnya, memikirkan maksud Nada yang terlalu tiba-tiba itu saja sudah membuat kepalanya pusing lagi. Ditambah lagi, pembahasan mereka sebelumnya tidak ada sangkut pautnya dengan Rian sama sekali. Kemudian, empat tahun bersahabat, dan dia baru tahu kalau Rian dan Nada adalah sepupu? Oh, ya, tentu saja Putri akan tahu kalau Nada tidak pindah rumah.
Mahasiswi Bisnis Digital itu mengangkat bahunya singkat. Menyuapkan mi ke mulutnya lagi baru kemudian menjawab. "Just in case kalau kamu nge-crush-in dia, kamu harus tahu kalau dia itu jelek banget. Pokoknya jelek banget."
Mendadak, selera makan Putri menghilang. Ia menjauhkan piring yang masih tersisa setengah lagi. Mahasiswa Antropologi itu berakhir menyesap es jeruknya saja meskipun tidak benar-benar menelannya.
"Tiga hari lalu aku ngeliat kamu jalan sama Rian. Makanya buat jaga-jangan, pokoknya kamu jangan sampe jadian, ya, sama dia." Nada melanjutkan. Air mukanya tidak lagi tampak kesal, melainkan memelas. "Aku nggak mau kamu pacaran sama jamet."
Putri bersandar lemas di kursinya. Kantin pada saat itu tidak lagi begitu ramai, mungkin beberapa dari mereka memilih membungkus makanannya saja dan kembali ke kelas, atau memang kelas mereka akan berlangsung-Putri tidak tahu. Ia hanya biasa berpikir bahwa, bagaimana kalau Nada tahu apa yang sebenarnya.
"Honestly, Nada. Rian is my ex," kata Putri dengan suara rendah dan mata menerawang. "Kami pacaran waktu kelas sepuluh." Gadis itu mengembuskan napas panjang sebelum melanjutkan. "We broke up after ten days because of-I don't know. Maybe bored?"
"What ... the ... fuck," serapahnya dengan suara rendah dan wajah yang masih tampak terkejut dan bingung. "Both of you, really fucking insane."
"And you!" Nada menaikkan oktaf suaranya. "Baru ngasih tahu sekarang?!" Sepertinya, gadis itu akan marah pada Putri untuk beberapa hari ke depan.
***
Kamis adalah hari kesukaan Putri, karena di hari itu kelasnya hanya sampai sebelum makan siang dan besoknya ia tidak punya kelas apa pun lagi sampai nanti bertemu di hari Senin. Jadi, ia berencana untuk istirahat sejenak dari diktat, binder, jurnal, dan buku-buku.
Gadis itu berusaha menghubungi Nada sejak kejadian di kantin saban hari. Meskipun pesannya tetap dibalas-dengan stiker andalannya wajah Nanon yang penuh dengan bedak-sahabatnya itu masih saja kesal padanya karena merasa tidak penting dengan tidak memberitahu bahwa sudah pernah pacaran dengan Rian. Ya, meskipun pada dasarnya Putri masih agak ragu menyematkan status mantan kekasih pada lelaki itu.
Putri sudah mengirimi Nada pesan, tetapi sahabatnya itu tidak membalas. Mungkin saja sedang ada kelas. Walaupun beberapa kali Putri sudah membujuknya dengan iming-iming traktir makanan atau jalan-jalan, Nada masih belum ingin bertemu dengannya lagi. Mungkin saja jika diiming-imingi menonton lakorn dengan aktor favoritnya, Nada jadi bisa sedikit luluh.
"Eiyo, Putri!"
Gadis itu berbalik dengan cepat, mencari asal suara yang mungkin barangkali memang dimaksudkan memanggil namanya, bukan Putri yang lain.
Seorang lelaki yang lebih tinggi darinya berjalan mendekat. Kemeja yang dikenakannya adalah kemeja tempahan yang sudah diberi label prodi Teknik Sipil dan tahun angkatannya di sana-sini. Barangkali kemeja itu adalah kemeja yang dimaksudkan untuk dipakai sekelas di hari tertentu. Itu Rian. Mendekat padanya dengan langkah lebar dengan senyum yang hampir menyaingi.
Putri membalas senyum semringah itu dengan agak canggung sembari melambaikan tangan. Sesungguhnya, ia tidak menyangka malah bertemu dengan Rian di depan gedung fakultasnya sendiri, mengingat Fakultas Rian sendiri cukup jauh dan harus melewati beberapa fakultas lebih dulu.
"Mau kelas, ya?" Rian berdiri tepat di depannya, masih memangku senyum yang sama.
Gadis itu mengerutkan bibirnya, lalu menggeleng pelan. "Enggak, kok. Udah selesai semua."
"Mau pulang?" Putri mengangguk. "Udah makan siang? Mau makan bareng, nggak? Don't worry, it's on me."
Putri tampak menimbang-nimbang. Saban hari, Rian mengajaknya sarapan bersama juga, tetapi ia menolaknya dengan alasan sedang tergesa-gesa. Kalau sekarang, ia tidak punya alasan buru-buru masuk kelas karena Putri baru saja mengiyakan ketika ditanya ingin pulang.
Pada akhirnya, Putri mengangguk. "Okay." Kemudian, sepasang muda-mudi itu serempak berjalan menuju kantin Fakultas Ilmu Sosial, menyetujui fakta kalau kantin Fakultas Teknik terlampau jauh.
Saat itu, kantin Fakultas tidak terlampau ramai. Namun, beberapa orang memerhatikan Rian yang memakai kemeja identitas fakultasnya, sehingga menghasilkan hiruk-pikuk orang-orang yang kebingungan. Fakultas Teknik yang begitu jauh dan mahasiswanya tertangkap sedang makan siang bersama mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial di kantin fakultas Ilmu Sosial pula. Jangankan mereka, Putri saja juga bingung.
Mereka duduk di salah satu meja yang kosong, dekat dengan stan penjual pisang krispi cokelat keju. Rian yang membelikan seluruh makanannya, mulai dari makanan utama, sampai makanan penutup tanpa bertanya sedikit pun. Untungnya Putri bukan orang yang pemilih soal makanan, sehingga ia tidak perlu khawatir kalau tidak suka sesuatu.
Selagi menghabiskan kudapan, Rian berbagi cerita tentang banyak hal. Misalnya dia yang pindah sekolah saat pertengahan semester di kelas sepuluh, lalu pindah lagi saat lulus SMA karena adiknya yang ingin kembali ke rumah lama. Semuanya menjadi sedikit lebih masuk akal, karena Putri memang tidak pernah melihat Rian di mana pun di sudut sekolah sejak mereka putus.
Rian juga bertanya keseharian Putri, tentang kakaknya, orangtuanya, dan sepasang anak kucing persia yang dulu pernah dipelihara Putri. Katanya, Rian ingin melihat anak kucing itu kalau kelasnya tidak terlalu padat. Sayang sekali, kucing-kucing itu sudah meninggal saat Putri menginjak semester kedua di perkuliahannya.
"Kamu mau pisang krispinya lagi, nggak?" tawar Rian saat melihat Putri asik bercerita sambil terus memakan pisang krispi cokelat itu.
"Beliin aku aja, sini. Lagi pengen pisang krispi juga," sahut seorang gadis dari belakang Putri. Gadis itu dengan agak grasak-grusuk menarik kursi dan duduk di sisi kanan Putri.
"Ganggu aja, sih, Nek Lampir," gerutu Rian dengan wajah memberenggut. Kemudian, lelaki itu beranjak menuju stan pisang krispi.
Nada merotasikan bola matanya, lalu berbisik di telinga Putri. "Jamet banget, kan, dia." Sedangkan mahasiswi Antropologi itu hanya tertawa kecil saja.
Rian kembali tak lama setelahnya, membawa tiga bungkus plastik berisi pisang krispi. Salah satunya, ia berikan pada Nada dengan wajah memberenggut. "Nih, pergi sana, Nek Lampir. Ganggu orang aja." Kemudian, dia menganggurkan dua bungkusan sisanya pada Putri dengan senyum semringah. "Buat kamu, sama Kak Novan."
"Dih, nyogok," cibir Nada begitu Putri baru sama mengucapkan terima kasih dengan agak canggung. Kedua sepupu itu saling menatap dengan pandangan tajam.
"Ayo, balik, Put." Nada menarik Putri agar gadis itu beranjak dari duduknya. "Jangan lama-lama deket jamet, nanti kamu ikutan jadi jamet. Mending kita nonton pacarku aja."
Sahabat Putri itu menyeretnya keluar dari kantin agar Rian tak sempat berucap apa-apa. Namun, Putri masih sempat berucap terima kasih dengan bibirnya sekali lagi lalu melambai sebelum benar-benar tenggelam di bangunan kantin.
***
[ BABAK KEDUA — selesai ]
[ next » BABAK KETIGA ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top