[prl · 01] - babak pertama
[ preliminer — BABAK PERTAMA ]
[ perpanjangan masa lalu ]
***
Deru mesin kendaraan beradu dengan klakson yang tak henti menderu sepanjang jalan. Padat, tetapi ramai lancar. Gadis yang tengah berdiri di tepi halte itu berulang kali melirik arlojinya, bergantian sembari mengintip di balik atap-atap mobil atau helm-helm para pengguna jalan yang berseliweran hulu-hilir. Dahinya berpeluh, rambutnya yang dikucir kuda menyisakan poni yang menutupi dahi—hampir basah.
Putri, mahasiswi tahun kedua program studi Antropologi di Universitas Sujana Dikara, mengejar salah satu kursi kosong di bus kota yang akan melewati kampusnya. Seharusnya, bukan salah Putri jikalau ia terlihat habis berlari jauh sekali. Teman sekelasnya berjanji akan menjemput, katanya. Mereka akan presentasi hari ini dan akan mencetak makalah bersama-sama. Namun, sayang sekali temannya itu malah membatalkan rencana di detik terakhir dengan alasan tidak diperbolehkan oleh orangtuanya untuk membawa kendaraan. Alhasil, Putri harus berlarian dengan panik dari tempat tinggalnya menuju halte, takut-takut kalau ia akan ketinggalan bus dan berakhir memesan ojek online yang biayanya bisa hampir tiga kali lipat.
Gadis berkemeja putih itu tersenyum lega begitu melihat atap bus kota yang kehijauan itu menjulang di antara atap-atap mobil dan helm-helm pengguna sepeda motor. Masalah keduanya adalah, ia harus bertanding mendapatkan bangku kosong dengan penumpang lain yang jumlahnya sekitar sepuluhan orang.
Jadi, begitu bus sudah menepi dan pintunya juga sudah terbuka dengan sempurnya, Putri langsung saja menerobos orang-orang yang ikut tak sabaran juga. Ia menang, berhasil masuk lebih dulu di antara sepuluhan orang yang masih berjuang di pintu kaca bus.
Putri bernapas lega begitu melihat salah satu bangku kosong tak jauh dari pintu masuk bus. Seorang lelaki berkemeja biru muda menempati kursi kosong di sebelahnya dan tampak memandangi luar jendela. Tanpa pikir panjang, Putri menduduki bangku kosong tersebut dengan senyum lega. Ia hanya bisa berharap kalau busnya sampai tepat waktu dan ia masih sempat mencetak makalahnya sebelum kelas Antropologi Ekologi—yang sialnya malah dilakukan tepat pukul delapan pagi.
"Ey, what's up?"
Senyum lega Putri luntur sesaat setelah ia baru saja menyamankan diri di bangkunya. Gadis itu terhenyak singkat, suara lelaki yang menyapanya cukup familiar meskipun sudah lama sekali sejak terakhir kali ia mendengarnya.
Maka, untuk memastikan indera pendengarannya, gadis itu menoleh pada lelaki yang duduk di sebelahnya. Putri disambut dengan senyum yang tampak agak kaku begitu saling berjumpa tatap. Gadis itu mengatakan "Dang," pada dirinya sendiri dengan suara rendah begitu mengetahui fakta bahwa pendengarannya sama sekali tidak salah. Lucu sekali bahwa kepala dan telinganya malah masih mengingat suara lelaki ini.
"Did you say 'what's up' ... to me?"
Namun, alih-alih membalas sapaan itu, Putri malah masih tidak mempercayai pendengarannya. Ia mencoba memastikan bahwa lelaki yang dikenalnya ini memang benar-benar berniat berbicara padanya.
Sang lelaki menaikkan sebelah alis tebalnya singkat, yang dengan cepat berganti dengan tawa geli pelan, barangkali agar penumpang lain tidak merasa terganggu. "Then ... who's else? Maksud kamu aku baru aja nyapa jendelanya?"
Sesungguhnya, Putri ingin sekali tertawa jika saja lelaki di sebelahnya ini adalah orang lain. Gadis itu sudah hampir kehilangan tenaganya; baik sehabis berlari, menerobos kerumunan, dan sekarang malah harus berbicara tatap muka dengan mantan kekasihnya dengan jarak yang bahkan—oh, ya tidak ada. Mereka duduk berdempetan. Putri rasanya ingin melebur saja jadi kerak lilin.
Benar sekali, mantan kekasihnya, Rian. Berpacaran sewaktu masih kelas sepuluh, tetapi sebentar saja. Mereka juga putus dengan cara yang baik-baik, tidak dengan bertengkar ataupun masalah perselingkuhan. Hanya saja, tetap saja rasanya aneh berbincang dengan seseorang yang pernah saling menjalin kasih.
Putri berdeham singkat. "Sorry, I'm just—"
"Shocked?" Rian tersenyum tipis lagi, tipe senyum yang sama seperti dulu yang sering lelaki itu berikan. "Yeah, honestly, me too." Ia tertawa pelan sebelum melanjutkan. Soalnya kita nggak pernah ngomong atau ketemu satu sama lain since—"
"We're broke up," sela Putri dengan cepat tanpa balas menatap lelaki di sebelahnya. Gadis itu memandangi ke depan, berharap bus ini segera sampai di halte kampusnya. Karena sungguh, berbincang dan duduk berdampingan dengan mantan kekasih rasanya sangat tidak nyaman.
"I'm sorry," kata Rian dengan suara lemah, "Putri."
Gadis itu melirik dan menemukan bahwa raut lelaki di sebelahnya berubah agak suram. Meskipun setipis senyum merangkak naik di wajahnya, Rian tampak kelihatan menyesal telah memperjelas fakta bahwa mereka orang asing yang tiba-tiba saja menjadi mantan kekasih.
Putri yang merasa tidaknya enak, akhirnya memberikan senyum yang lebih cerah. Ia bergumam singkat lalu berucap, "It's okay. Just let's forget about it."
Setelahnya, tidak ada percakapan lain di antara mereka. Deru mesin berbagai kendaraan, orang-orang yang bercakap-cakap macam-macam hal, dan langkah kaki yang dijejak keluar masuk bus yang terdengar. Sesekali, keduanya saling menangkap basah melirik satu sama lain. Setelahnya, mereka saling melempar senyum geli. Barangkali masih sama-sama tidak menduga kejadian seperti ini akan terjadi.
Namun, hal itu adalah yang diharapkan oleh Putri. Ia tidak mau masuk kembali dalam percakapan canggung yang membuatnya harus menatap kesana- ke mari. Sehingga, begitu bus menepi di halte kampus tak seberapa lama kemudian, ia bergegas meninggalkan bangkunya dan keluar dari bus tanpa menoleh pada Rian.
"Putri, tunggu!"
Sayangnya, begitulah kehidupan. Ekspektasi adalah hal yang hampir mungkin terjadi di dalam realita. Rian berteriak padanya sesaat setelah ia menjejakkan kakinya melewati gerbang utama Universita Sujana Dikara. Ditambah lagi dengan lengannya yang ditahan oleh mantan kekasihnya, sehingga Putri tidak bisa lari kemana-mana.
"Aku nggak tau kalau kamu juga kuliah di sini." Itu adalah kata pertamanya setelah Putri menatapnya dengan senyum canggung.
Kemudian, ia juga berpikiran hal yang sama. Mereka berada di sekolah yang sama, di kampus yang sama, di tingkat yang sama pula, tetapi masih juga tidak pernah bertemu. Bukankah sedikit aneh?
Sepasang insani itu berderap masuk semakin dalam ke pelataran kampus. Berjalan berdampingan layaknya sepasang orang tak dikenal yang dipaksa berjalan bersama. Ah, tetapi itu lebih cocok untuk Putri sepertinya. Ia tidak henti melirik kesana-ke mari seolah meminta pertolongan dari para mahasiswa yang berpapasan dengannya.
"Kamu prodi apa? Aneh banget kita nggak pernah ketemu." Rian melirik Putri sebentar, lalu menatap lagi ke depan.
Putri mengulum bibirnya. "Antropologi." Gadis itu melirik Rian sebelum melanjutkan. "Kamu sendiri?"
Lelaki itu tertawa kecil. "Teknik sipil." Kemudian, Rian beralih menatap Putri lagi. "Pantes nggak pernah ketemu, soalnya kita beda fakultas, terus jauhan juga."
Putri mengangguk saja, tidak mengerti harus membalas apa lagi.
"Oh, iya. Kamu udah sarapan belum? Mau sarapan bareng di Fakultas Teknik, nggak?" Lelaki itu mendadak menghentikan langkahnya di depan sebuah pohon besar dan rindang yang dikelilingi bunga kembang sepatu. Ia membuatnya Putri berhadapan dengannya.
Mahasiswi Antropologi itu meringis sebentar. Ia melirik arloji di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7:40. Ia memang belum sarapan, tetapi makalahnya juga belum dicetak, dan dia tidak tahu akan seberapa lama antriannya nanti. Ditambah lagi, ia tidak tahu kalau temannya sudah mengambil infokus atau belum.
Putri mengembuskan napas panjang, menampilkan raut agak menyesal. "I'm sorry, Rian. Tapi aku buru-buru." Melihat air muka Rian yang agak kecewa, gadis itu buru-buru melanjutkan. "Maybe next time?"
Rian tersenyum getir. "Next time, okay. No problem," jawabnya terlampau cepat.
"Kalau gitu ... aku duluan, ya?" Putri berusaha menampilkan senyumnya sebaik mungkin, akan tetapi ia malah semakin terlihat canggung.
Lelaki itu mengangguk sekali. "Okay, see you." Kemudian, ia mengakhiri kalimatnya dengan senyum yang agak menenangkan Putri dari rasa tak enak.
Gadis itu balas mengangguk. "See yaa." Kemudian, ia beranjak dari tempatnya berdiri dengan langkah tergesa. Namun, baru beberapa langkah saja, panggilan dari Rian membuatnya berbalik lagi.
"Putri, can we just ..." Rian menghela napas panjang. Rautnya seolah sedang berharap pada apa yang akan diucapkannya, "can we be friends?"
***
[ BABAK PERTAMA — selesai ]
[ next » BABAK KEDUA ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top