Epilog

"Jadi udah fix, ya?" ulangku, mungkin untuk yang ke delapan kali.

"Iya, Mbak, iya."

Dan kayaknya mereka keki. Bodo amat, ya! Namanya juga hari besarku. Jelas aku harus memastikan segala sesuatu yang kuinginkan berjalan sesuai dengan rencana. Setahun ini, aku sudah bolak-balik event organizer yang bakal menangani acara pernikahanku dan Danu. Bahkan sampai kubuatkan power point dan kutanamkan dalam kepala mereka konsep acara yang kumaksud. Supaya jelas. Enggak ambigu. Maksud aku kan baik, mempermudah pekerjaan mereka, namun kayaknya mereka enggak terlalu suka dibantu. Kalau bukan karena budget yang terbatas dan EO ini rekomendasinya Tante Mira, adik Mama, sudah jelas aku bakal nyari yang lebih mumpuni.

"Jangan lupa sebelum acara dipastikan bunganya enggak layu. Saya enggak mau—"

"Tenang, Mbak, kita profesional," potong Mbak Lindra, kedengarannya susah sekali menyembunyikan kekesalan.

"Untuk perawatan dimulai jam tiga, eh jam satu aja, ya. Saya harus mengantisipasi waktu soalnya. Siapa tahu lebih lama dari yang dibutuhkan. Soalnya jam delapan saya ada janji sama yang lain."

"Siap, Mbak."

"Katering bagaimana? Sudah dibilang kalau kemarin itu ukuran dagingnya kekecilan? Saya enggak mau nanti Mama Papa saya dibilang pelit."

"Itu juga sudah disampaikan ke penyedia, Mbak Mona. Tenang saja, dan sekarang lebih baik Mbak Mona pulang, istirahat, supaya kantung mata Mbak Mona enggak tambah parah."

Aku mingkem.

Aku kan hanya ingin memastikan persiapan terakhir dari acaraku. Capek sedikit enggak masalah kan?

"Oke," putusku. "Saya pulang." Sepertinya Mbak Lindra mengembuskan napas lega. "Tapi, ingat... kalau ada sesuatu tolong hubungi nomor ponsel saya secepatnya. Aktif duapuluh empat jam."

Mbak Lindra geleng-geleng. "Mbak Mona... Mbak Mona, biasanya calon pengantin lain sangat susah kami hubungi dan ogah diajak bicara banyak. Semua diserahkan ke EO saking stresnya mereka."

"Itu karena mereka tidak terencana dengan baik," tukasku.

Gantian Mbak Lindra mingkem.

[ Preferensi ]

"Sayang... tenang sedikit, kenapa?" bisik Danu.

Aku manyun. "Aku tuh bukannya gimana ya, Nu. Kamu tahu sendiri kalau aku enggak mau ada kekacauan dalam acara kita."

"Iya, tapi kamu bolak-balik gelisah gini juga enggak membantu. Mending duduk aja, sebentar lagi acara dimulai."

Keringat dingin mulai mengalir di punggungku. Perawatan sialan! Katanya di hari H aku enggak bakal berkeringat atau apalah-apalah. Nyatanya, sampai tanganku rasanya diperas saking basahnya.

"Mobil udah siap di depan. Kita berangkat sekarang, Mbak Mona, Mas Danu." Ucapan salah satu pegawai EO menyentakku untuk langsung keluar dari kamar dan menyongsong kendaraan yang akan mengangkut kami ke gedung tempat acara. Ya, gimana lagi... mauku juga di ballroom hotel besar, menginap di situ, jadi enggak rempong. Namun, sekali lagi dengan budget yang terbatas, aku bisa apa? Syukur-syukur masih dapat gedung bagus di Jakarta.

Ini salah kamu sih, Mon! Pakai acara tiga kali segala. Di Padang, Surabaya terus Jakarta. Ya... gimana, ya. Kan teman-temanku banyak di Jakarta. Terus acara di dua tempat itu mutlak sepenuhnya diatur oleh keluargaku. Aku kan pengin punya acara pernikahan yang sesuai keinginanku. Sesuai rencanaku.

Sepanjang perjalanan menuju gedung, aku terus berdoa agar enggak ada hal ajaib yang bisa menghalangi kami. Si Komo tiba-tiba ngadat, angin puting beliung, jembatan ambruk, gerbang tol macet atau terserahlah!

"Sayang... tenang dikit," tegur Danu lagi. "Semuanya bakal baik-baik aja."

Baik-baik, Mbahmu! Nyatanya kepadatan yang diprediksi terurai justru sebaliknya. Mengular, menyemut ke satu titik. Apa orang-orang ini semua menuju gedung pernikahanku, gitu? Sebaiknya mereka membawa amplop berisi duit yang banyak aja, sih.

Kami tiba di pelataran gedung disambut hujan gerimis. Aku benar-benar panik saat keluar dari mobil meskipun payung sudah terkembang. Enggak banget, ya, ada cipratan comberan di gaun putihku. Aku menoleh beberapa kali untuk memastikan sebelum Mbak Lindra akhirnya bilang bahwa enggak ada sesuatu yang merusak apa pun yang melekat di diriku. Awas aja kalau bohong, Mbak!

Acara sudah berjalan—seharusnya tiga puluh menit, kalau sesuai jadwal yang kuatur—diisi dengan sambutan-sambutan. Setelah ini, aku dan Danu akan melangkah ke dalam gedung melalui prosesi iring-iringan meriah yang sudah kuatur jauh-jauh hari. Dengan hati amburadul dan ketakutan, kami bergandengan memasuki ruangan dan disambut dengan tepukan menggemuruh.

Hujan dan angin terlihat menampar sisi angin-angin. Untung saja gedung ini kedap suara sehingga acara masih bisa berlangsung lancar. Para tamu juga tampak menikmati tahap demi tahap.

"Enggak sia-sia, ya, apa yang udah aku susun," bisikku. Danu hanya membalas dengan remasan di punggung tanganku.

Setelah beberapa lagu pernikahan—yang daftarnya tentu saja sudah aku siapkan—akhirnya aku bertemu dengan mereka. Gerombolan yang entah kenapa baru datang dari luar dengan muka pucat pias. Empat-empatnya basah kuyup. Duh! Bikin jelek foto saja.

"Di luar hujan deras, parkiran penuh," cerocos Saga. "Jadi kita kudu parkir jauh banget dan lari sampai ke sini."

"Astaga!" Tanpa sengaja aku meremas tangan Danu. "Kok bisa penuh?"

"Hujan, Mona," jawab Kemi keki. Banyak motor masuk untuk parkir dan berteduh. Asal lo tahu aja, teras gedung udah penuh sama manusia yang ikut berteduh."

"Kok bisa?" teriakku kesal. Pembawa acara menoleh ke arah kami. Ketiga sahabatku plus si Bos langsung turun dari pelaminan. Tampaknya mereka juga mendapat pelototan dari seksi acara.

"Duh, Nu! Kok gitu sih. Kok enggak ada satpam yang jagain, sih?" dumelku. "Mana coba Mbak Lindra, gimana sih?"

"Sayang... udah. Kita enggak bisa ngapa-ngapain lagi, sekarang kita cukup ikuti acara aja dan—"

"Ya... enggak bisa kayak gitu, Nu. Kalau tamu-tamu enggak bisa parkir masuk nanti pada enggak jadi datang, dong!"

"Terus kamu maunya gimana?" sela Danu. "Udah... mereka pasti bisa memikirkan. Sekarang kita tenang-tenang aja, ya, di sini. Sebentar lagi bakal masuk acara utama."

"Aku enggak bisa tenang dan senyum kalo gini!"

"Usaha, Mona, usaha," tegas Danu akhirnya. "Kamu enggak mau acara ini tambah hancur kan? Sudah diam dan senyum aja."

Aku benar-benar enggak setuju banget kali ini. Cuma aku juga berpikir, enggak mungkin aku lari ke luar gedung dan ngusir para pengendara motor yang berteduh itu kan? Jadi, sepanjang acara aku merasa seperti orang sakit gigi yang dipaksa buat senyum. Menyiksa!

Tahapan demi tahapan bergulir. Sekarang sudah waktunya menikmati hidangan. Dalam hati aku merasakan secuil kebahagiaan. Setidaknya menu yang kupilih akan memuaskan tamu undangan. Mereka akan tersenyum bahagia dan membawa dalam kenangan mereka bahwa ini adalah acara pernikahan terbaik dan dengan makanan terenak yang pernah mereka datangi.

Lalu, musibah itu terjadi!

Lampu di dalam gedung mendadak mati. Suara angin ribut mengguncang sampai ke telinga. Tamu-tamu menjerit serentak. Aku ingin mati rasanya!

"Nu," isakku.

"Sayang...." Danu juga tampaknya enggak tahu harus ngomong apa.

Acara yang sudah kususun berbulan-bulan kacau karena mati lampu!

Sialan!

Dasar penyelenggara sialan!

Dasar gedung murahan!

Dasar hujan yang datang enggak diundang!

Tanpa terasa, buliran air mulai menggenang di sudut mataku.

Bukan... bukan acara seperti ini yang aku impikan!

Aku sudah membenamkan diri di pelukan Danu yang mendesah pasrah. Enggak peduli sama make up atau apalah yang bakal rusak. Toh... acara ini sudah rusak!

"Sayang... coba lihat," panggil Danu setelah keterdiaman yang menyiksa.

"Enggak mau!"

"Coba lihat dulu," bujuknya seraya meraih pundakku untuk menegakkan badan.

Lalu aku mengintip perlahan. Daguku digamit untuk menatap ke atas gedung.

Aku terpana.

Siluet bintang, bulan dan berbagai ornamen lain berkerlap-kerlip di atas sana. Entah mungkin peninggalan acara sebelumnya atau gimana. Yang jelas, kerlipnya membuat semua tamu juga menunjuk dan bergumam senang. Beberapa di antaranya malah mengira ini adalah skenario untuk memperlihatkan bintang. Seolah kami menikah di bawah langit malam. Perasaanku melambung ketika menyadari rasa hangat ikut menyelinap di hati.

"Indah," bisikku.

Kurasakan Danu mengangguk di puncak kepalaku.

"Akan selalu ada hal-hal indah di antara kekacauan," gumam Danu. "Yang kita perlukan, hanya sedikit mengubah sudut pandang dan belajar mensyukuri keadaan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top