9. Sudah Move On?
"Lo juga bakal ngelakuin hal yang sama, Kem."
Saga? Ngapain anak itu ke sini malam-malam? Tumben banget.
"Enggak, ya. Gini-gini gue telaten soal nyebokin balita." Cemoohan Kemi terdengar makin jelas sejak aku melangkahkan kaki ke ruang tamu. "Ponakan gue kan banyak, tiap pulkam gue kebagian momong," lanjut Kemi.
"Gue masih susah ngatur kepala, Kem." Suara Saga terdengar agak lemah. "Kepala gue suka otomatis liat kloset dan hiii—"
"Itu gegara lo suka penasaran sih, jadi kepala lo refleks nengok lubangnya ketimbang mencet flush."
Kapan sih anak-anak ini bisa membicarakan hal yang normal? Ckckck.
"Bisa enggak, sih, jangan ngomongin yang jorok-jorok pas lagi makan gini," dumel Lanti. "Hai, Mon, baru bangun?" sapanya.
Aku mengangguk saja. Mataku masih setengah mengantuk, kepala juga masih melayang. Efek nyawa belum terkumpul dan hati yang pecah berkeping-keping, kayaknya.
"Emang diapain sama Danu, Mon, sampai tepar gitu?" goda Kemi. "Ouch! Kupret lo, Ga," makinya. Tangan Kemi yang saat itu terjulur hendak mengambil potongan piza terakhir ditepis Saga dengan kencang.
"Buat Mona," tegur Saga. "Dia butuh energi setelah kerja keras seharian," ucap Saga ikut meledek. Tangannya sudah membentuk tanda kutip. "Berapa ronde sih, tadi? Kalau cuma missionaris doang harusnya lo enggak sekuyu itu. Atau perlu jamu kuat wanita, Mon?"
"Saga, ya, mulutnya." Lanti mendelik.
Aku duduk di samping Lanti yang saat itu juga menyodorkan sisa satu slice piza. Aku menggeleng, untuk saat ini aku benar-benar enggak lapar. Aku jarang punya beban pikiran, soalnya semua hal udah kurencanakan dan kuantisipasi dengan baik. Sekalinya kebebanan begini jadi malas makan. Entahlah, apakah cewek-cewek memang seperti itu atau ada yang bisa cuek saja seperti Kemi. Kena masalah sama enggak, sama aja selera makannya.
"Lo kenapa, Mon?" tanya Saga.
"Enggak," jawabku sambil menguap. "Capek aja, Ga. Lo ngapain di sini?" tanyaku balik.
"Capek banget gegara lo ikut aktif bergoyang atau dihajar Danu berapa ron—aduh!" Saga terpekik akibat tendangan Lanti di kaki Saga. "Ampun, Lan. Ampun!"
"Makanya," timpal Kemi. "Kalo ngomong gituan jangan di depan Lanti."
"Tunggu lo, ngerasain nikmatnya dunia, Lan," dengus Saga sambil menjitak kepala Lanti. "Omongan begini ntar lo demen."
"Aduh!" Ruang tamu jadi rusuh karena Lanti mulai menyarangkan cubitan maut ke pinggang Saga yang meliuk-liuk kegelian.
"Otak lo, Ga!" tangkisku. "Jadi, tumben lo ke sini? Biasanya males banget keluar rumah?"
"Memangnya gue enggak boleh main?" Hidungnya mengernyit. "Kak Anya lagi pulkam ke rumah mertuanya. Rumah sepi," jelasnya.
Oh... pantas saja Saga tiba-tiba muncul di sini. Bagi lelaki kekanakkan pemuja kakak perempuannya ini, kepergian Kak Anya bisa membuat dia stres dan kesepian. Makanya, kabur ke sini.
"Dion dibawa?" tanyaku. Dion adalah keponakan Saga yang songongnya bukan main. Sering cuek terhadap kami, dan baru mau menyahut jika kami membawa sesuatu sebagai sogokan. Entah siapa yang mengajari, mungkin sifat Saga yang sering curiga itu diwariskan kepada Dion. Sehingga, setiap orang yang enggak bawa hadiah bagi Dion adalah orang asing yang wajib diwaspadai.
"Iyalah, gue mana bisa ngurusin Dion," ucapnya jujur. "Kalau lagi asyik sih gue mau aja, tapi kalo dia boker kan gue kudu teriakin emaknya."
"Enggak heran, sih," timpal Kemi. "Saga kan enggak ada bakat jadi ayah-ayah siaga."
"Weits! Siapa bilang? Lihat nanti," jawabnya jemawa. "Kalau anak gue mah beda ceritanya. Dia muntah juga gue sanggup bersihin pake tangan!" Kan? Bisa saja bakat songongnya Dion menular dari Saga.
"Lah, lo besok bukannya berangkat ke Surabaya, Mon?" tanya Kemi. "Sudah packing?"
"Belum. Nanti jam sepuluh gue packing," sahutku lesu. "Lagi males."
"Males-malesan Mona aja ada jadwalnya," sindir Saga. "Jadi, lo ngapain tadi seharian sama Danu? Lo orgasme enggak?"
Boro-boro orgasme, yang ada aku melempem. Bukannya turn on, yang ada malah aku turn off!
"Tadi gue nonton film," ucapku tiba-tiba. Entah terlintas ide dari mana akhirnya aku bicara seperti ini.
"Bokep?"
"Bukan!" kibasku. "Film roman, sih. Soal pasangan yang baru jadian."
"Terus?"
"Si cewek ini nemuin sesuatu soal masa lalu si cowok. Mantannya gitu."
"Hm?"
"Ya... gue, sih, juga bingung kenapa si cowok itu masih nyimpen-nyimpen kenangan soal mantannya. Gedek sih gue liatnya," ucapku. "Kalau kalian gimana? Pendapat soal cowok yang begitu? Masih ada foto mantannya, padahal udah punya pacar."
Kemi dan Lanti lihat-lihatan. Hanya Saga yang menatap lurus ke arahku. "Lo yakin itu film?" ucap Saga akhirnya, setelah beberapa saat enggak ada yang berbicara.
"Maksudnya?" ujarku gugup.
"Itu film atau Danu?" lanjut Kemi.
"Errr...."
"Kamu kenapa, Dear?" Giliran Lanti yang bertanya. Dia sudah memasang sikap prihatin. Aku sebenarnya enggak suka dibeginikan, cuma—
"Bilang aja itu Danu, kalau film, gue jawab matiin tivinya," ancam Saga secara tersirat.
Sial!
"Gue... nemuin folder foto di laptop Danu. Isinya... Danu dan seorang cewek yang... yah macem-macemlah. Foto dua tahun yang lalu."
"Kenapa? Kenapa masih disimpan?" tanyaku gusar.
Danu cuma mengangkat bahunya, kemudian bicara seolah tengah ngobrolin cuaca. "Ya... enggak aja, udah lupa juga ada."
Apa? Jawaban apa itu? Memangnya ada cowok-cowok yang masih menyimpan foto-foto mantan kalau enggak masih ada rasa?
"Nu!" bentakku. "Yang aku tanya, kenapa masih disimpan? Kamu masih sayang atau gimana?"
"Aku lupa ada foto itu," sahutnya mulai mengucek kepalanya. "Lagian, udah lama aku enggak make laptop itu. Jadinya lupa, bukan sengaja."
"Lupa?" Mataku menyipit. "Apa bukan karena kamu masih punya rasa sama dia?"
"Mona, mau bagaimanapun, itu masa lalu. Dan tempatnya masa lalu adalah di belakang. Apa penting buat dibahas?"
"Penting!" sengitku. "Karena aku enggak mau terjebak sama orang yang masih merindukan masa lalu!"
"Astaga, Mona! Aku cuma lupa menghapus folder itu, dan kamu menuduh yang enggak-enggak. Sudah, hapus saja!"
"Bukan semudah itu!" makiku lagi. "Menghapus soal gampang! Justru dengan aku enggak sengaja ketemu gini tandanya kamu masih sayang!" teriakku frustrasi. "Makanya masih disimpan!"
Danu menghela napas. "Lalu aku harus gimana, Mona?"
"Aku enggak mau kamu sayang sama orang lain, sementara kita sedang dalam hubungan, Nu. Aku enggak—"
"Yang bilang, aku masih sayang sama dia, siapa?"
"Buktinya, kamu belum menghapus fotonya!"
"Aku lupa!"
Aku berdecak meremehkan. Bisa banget lelaki mencari alasan. Lupa? Bullshit!
"Ya sudah, pilih aku atau kamu yang hapus?" tantangnya.
"Siapa?" desisku. "Siapa dia?"
"Sudah kubilang namanya Ceria."
"Mantan?"
"Iya."
"Kenapa putus?"
"Karena dia enggak tahan LDR sama aku."
Apa? Alasan putus macam apa itu? Memangnya Danu dan si Ceria-ceria ini anak sekolahan. Hanya soal jarak kemudian bubar hubungan? Alasan tuh yang lebih pinter sedikit kenapa, Nu?
"Berapa lama?"
"Apanya?"
"Kamu pacaran sama dia.
Danu menghela napas lelah. "Empat tahun. Putus dua tahun yang lalu."
What? "Kamu jangan ngibul! Mana ada orang pacaran empat tahun, putus cuma gara-gara LDR!"
Danu meremas pundakku, merangkul pingganggu dari belakang. "Mona, Sayang, dengerin aku. Kita sudah terlalu tua untuk berdebat soal ini," keluhnya. "Aku dan Ceria itu masa lalu. Kenapa belum dihapus fotonya? Karena aku sudah lupa foto itu ada. Sesederhana itu."
"Tapi—"
"Sejak kepindahanku ke Jakarta, banyak hal yang membuat hubungan kami runyam. Banyak perselisihan, dan akhirnya kami memutuskan untuk berpisah daripada terus-menerus saling menyakiti," ungkapnya pelan. "Kesimpulanku dulu, mungkin jarak lebih kuasa dari kami. Kesimpulanku sekarang, mungkin karena aku dan kamu ditakdirkan bertemu. Bisa kita sudahi?" ucapnya seraya menyingkirkan satu folder foto itu bahkan tanpa menengok isinya. "Puas?"
"Buat aku, enggak penting soal kamu hapus foto itu," lirihku.
"Terus?"
"Yang penting, dia udah enggak ada di hati kamu. Itu!"
"Mon!" Aku terkesiap. "Ditanya malah bengong?" Suara Kemi membuat aku tersentak lagi. "Lo kenapa deh?"
"Kamu cemburu ya, Mon?" tebak Lanti.
Cemburu? Sejak kapan aku cemburu? Bukannya aku menjalin hubungan sama Danu cuma karena dia potensial untuk dijadikan suami? Sejak kapan aku merasakan perasaan enggak enak dan bikin frustrasi begini? Apalagi yang disebut Lanti dengan cemburu?
"Enggak, gue cuma—"
"Jealous," tegas Saga. "Nama lain dari cembokur menguras bak mandi."
"Yah... gue cuma kesel, Ga. Danu bilang lupa keberadaan foto itu, makanya enggak dihapus-hapus. Dia pikir gue sebego itu, alasan begituan bisa ngadalin gue?"
"Haaah... masih sayang mungkin," cetus Kemi.
"Kem!" tegur Lanti. "Ya, bisa aja emang Danu lupa. Kan udah lama."
"Ya... masa sih, habis putus, terus lupa. Apalagi Danu pacaran sama cewek itu empat tahun. Dan lo tau? Putusnya gara-gara apa? Cuma gegara LDR! Alasan macam apa itu?"
"Mungkin aja setelah putus Danu masih sayang, makanya enggak dihapus," jawab Lanti. "Dengerin dulu, Mon, jangan marah. Dan seiring waktu berlalu... Danu lupa. Yang penting sekarang dia sama kamu."
"Enggak mungkin!" sahutku kesal.
"Lalu jawaban seperti apa yang lo harapkan?" tanya Saga tajam. "Berharap Danu atau kami bilang kalau Danu masih sayang dan sejenisnya?" Kali ini dahinya berkerut-kerut. "Kemudian lo punya alasan buat ngamuk-ngamuk?" sinisnya.
"Enggak!"
"Kalaupun Danu masih sayang sama cewek itu, lo enggak punya alasan ngamuk, Mon! Soal perasaan Danu dan cewek itu, itu urusan mereka. Urusan lo sekarang adalah gimana perasaan kalian berdua satu sama lain. Lanjutkan atau bertahan," ungkap Saga berbusa-busa.
Dipikirnya ini kayak pacaran anak SMA? Sekali dapat masalah langsung putus, cari yang lain begitu? Iya kalau dapat yang seperti Danu. Kalau di bawah itu? Rugi aku!
"Bukan! Tapi... tau ah, pokoknya gue kesal!"
"Ga, kamu deh, kan cowok. Apa alasan Danu masuk akal?" tanya Lanti. Sementara Kemi yang ingin bicara dibekap Lanti dengan erat. Hanya suara-suara teredam dan delikan mata gadis mungil itu berkoar-koar tanda protes.
"Masuk akal. Lupa," jawab Saga. "Sudah sibuk sama kerjaan, jadi lupa."
"Masa sih?" berondong Kemi yang lepas dari cengkeraman Lanti. "Alasan dia aja, Mon!"
"Kemi! Saga yang cowok aja bilang itu masuk akal. Kamu diam, deh!" tegur Lanti. Nadanya sedikit meninggi, membuat Kemi memonyong-monyongkan bibirnya kesal.
"Ya sudah, terus apa masalahnya? Fotonya sudah dihapus kan?"
Aku mengangguk. "Cuma gue masih—"
"Kesal kan, Mon? Tabok aja kal—"
"Kem, lo kalo sekali lagi ngomong gue lelepin di bak mandi," ancam Saga. "Dan lo, Mon, itu yang kudu lo terima. Cowok dan masa lalunya. Kalau lo enggak bisa berdamai dengan itu, pilihannya ada di tangan lo. Pendek urusan."
Dasar cowok enggak suka ribet! Enggak punya perasaan!
"Bukan gitu, Ga. Gue tuh—"
"Mon, mencemburui masa lalu itu kekanak-kanakkan, lho," timpal Lanti pelan. "Kamu enggak bakal bisa mengubah sejarah masa lalu dia dengan siapa, hubungannya gimana. Yang kamu bisa sekarang adalah menjadi sejarah masa depan dia."
Dasar cewek pembaca novel romansa. Otak keracunan tokoh cowok baik!
"Apa pun yang kami katakan sekarang, cuma lo yang bisa ambil keputusan. Lanjutkan dan tutup mata sama masa lalu. Atau bereskan sekalian."
"Haaaaaaah...!"
"Lagian, Danu enggak macam-macam lagi kan? Enggak ada tanda-tanda bakal balikan?"
"Mana gue tahu," semburku. "Namanya mantan—"
"Mantan selalu punya tempat tersendiri di hati. Biasanya—"
"Kemilau Hetami!" Suara Saga menggelegar. "Lo benar-benar mau diseret ke kamar mandi?" lanjutnya gusar. "Mon, enggak usah dengerin nenek-nenek yang pikirannya negatif melulu ini. Sekarang gini, dengerin gue, kalau lo ngerasa terganggu soal mantannya Danu, itu artinya lo enggak cukup pede dan pantas buat gantiin cewek itu jadi kekasih Danu. Ngerti lo?"
"Ga?"
"Yang lo butuhin sekarang, tunjukkin kalau Danu enggak sia-sia ngelepas cewek itu dan bersama lo. Cowok cuma butuh itu. Enggak butuh dikasih drama enggak penting!"
"Tul!" timpal Lanti.
"Dari mana gue bisa percaya kalau Danu udah enggak ada rasa sama cewek itu?" tanyaku ngotot.
Saga menggeleng-gelengkan kepalanya. "Cowok yang belum move on itu bakal menyimpan kenangan rapat-rapat. Paling enggak di folder rahasia dan terkunci password."
"Kenapa?" kejarku.
"Karena cowok enggak mau terlihat lemah dan ketahuan gagal move on, Mon," tambahnya pelan.
"Bau-baunya curhat, nih," ucap Kemi yang dibalas Saga dengan delikan tajam. "Aw!" Cubitan lagi-lagi bersarang di pipi Kemi.
"Jadi gue harus gimana?"
"Lupakan, dan go ahead!" jawab Lanti. "Buktiin kalau lo lebih pantas sama Danu."
"Hm...."
"Hubungan lo sama Danu itu hubungan yang dewasa, Mon. Masalah kayak begini harusnya enggak mempengaruhi lo sampai segininya kalau lo percaya dia. Pertanyaan gue, lo percaya sama Danu?"
Aku mengangguk.
"Kalau begitu, kamu harus terima masa lalunya. Karena tugas kamu itu gandengan tangan di masa sekarang dan akan datang, bukan ngeliat masa lalu, Dear Mona."
"Lagian, di bagian mana anehnya, Mon? Danu pelukan sama cewek yang dulu adalah pacarnya. Enggak ada yang aneh. Lo juga gitu kan sama mantan lo."
"Tapi, abis putus gue enggak nyimpen-nyimpen begituan lagi," rutukku sebal.
"Danu lupa. Dan dia enggak berkelit banyak alasan. Itu artinya dia jujur," tutur Saga. Entah kenapa ucapan Saga membuat hatiku sedikit ringan dan menyesali segala tudingan, bentakan dan makianku pada Danu tadi sore.
"Gue—"
"Dan itu pelajaran buat lo, Mon, bahwa dalam hidup banyak hal yang terjadi mendadak dan enggak pernah bisa lo siapin gimana ngeresponsnya," lanjut Saga yang kemudian beranjak ke kamar mandi.
[ Preferensi ]
Bukan masalah yang jadi masalah, tapi cara yang salah dalam menyikapi suatu masalah, kadang lebih menjadi masalah ketimbang masalah itu sendiri.
Bingung? Kebanyakan kata masalah?
Anggap aja masalah itu pasti ada. Cuma cara bersikap saja yang perlu dikondisikan. Begini lebih sederhana? Yep!
Bukan karena aku punya masalah sama Danu soal foto-foto berengsek—huh, kalau ingat rasa kesal itu timbul lagi. Mau lupain, tapi enggak salah kalau wanita dijuluki ahli sejarah. Hal begini pasti susah lupanya—lalu aku melupakan rencana ke depannya, ya. Setiap yang kususun harus terlaksana. Enggak bakal kubiarkan kerikil kecil seperti tadi menganggu.
Let's see...
Satu. Pemberitahuan soal kedatanganku ke keluarga Danu? Cek!
Dua. Alamat rumah Danu? Cek!
Tiga. Resep pindang ikan paling praktis sudah di luar kepala? Cek!
Empat. Bersikap layaknya menantu idaman? Hm... hm....
Aku menatap cermin besar yang tergantung di samping papan to do list di kamarku, mematut diri sebentar. Aku menyunggingkan senyum pada kembaranku yang ikut menyengir dari dalam sana. Menimbang-nimbang agar terlihat anggun tapi juga ramah. Sambil menggerak-gerakkan kepala dan mengangguk-angguk—yang sebenarnya kelihatan seperti bego ketimbang penurut—antusias saat berpura-pura mendengarkan Ibu Danu nanti bicara.
"Hai, Bu," ucapku seraya melambaikan tangan ke arah cermin. "Kata 'hai' untuk orang tua masih terdengar sopan enggak, ya?" Ahelah... begini aja ribet. "Apa kabar?" lanjutku. "Nama saya Mona, adalah...," aku berdehem, "pacarnya Danu."
Entah kenapa bayangan di cermin lebih menunjukkan kalau aku meringis menahan sakit gigi ketimbang tersenyum tulus dan sopan. Jauh dari kata anggun dan calon menantu idaman. Sialan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top