8. Masa Lalu?

Aku memang enggak suka kejutan!

Kenapa? Karena sesuatu yang terjadi di luar perkiraan itu biasanya susah buat dihadapi. Anggap saja kayak lagi perang, kalau musuh menggunakan taktik yang mengejutkan kita pasti kelabakan. Ya kan? Begitu pula dalam hidup.

Dari dulu, aku selalu menghindari hal-hal seperti ini dengan cara memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam sebuah situasi. Kemudian menyiapkan jalan keluar dari segala kemungkinan itu.

Kalian menyebutnya berlebihan? Bagiku itu namanya persiapan.

Banyak yang bilang, bahwa kejutan itu seru karena adanya efek tak disangka itu. Aku setuju, jika itu kejutan baik, kalau enggak?

Masalahnya, sesuatu yang mengejutkan itu lebih sering menakutkan ketimbang menyenangkan. Iya, kan? Berapa persen sih kemungkinan kalian ditelepon bank dan memenangkan doorprize mobil ketimbang ditelepon karena tunggakan cicilan? Ew!

Jadi melantur.

Tapi, yang terjadi di depanku sekarang adalah sebuah kejutan mahadahsyat yang enggak bakal kusesali kejadiannya. Salah satu kejutan yang bisa dibilang sangat menyenangkan.

Lentera Girindanu berdiri di depan pintu rumah kontrakanku dengan sebuket bunga di tangan dan senyum yang selalu kurindukan. Ah....

"N-Nu?" ucapku terbata. "Kok bisa?"

"Bisa-bisa saja. Ambil penerbangan paling pagi dari Surabaya."

"Iya, tapi kok-kok—"

"Katanya ada yang kangen makan bubur ayam?" jawabnya. Ih... Danu malah membahas makanan favorit kami kala pedekate setiap weekend, sih. Padahal dia tau persis apa yang kumaksudkan. Membuatku semakin geregetan saja.

"Maksud aku, kok bisa? Kenapa bisa di sini?" desakku.

Enggak ada hal yang serius terjadi kan? Misalnya Danu berantem hebat dengan Ibunya gara-gara aku yang mau datang ke sana? Terus Danu enggak diakui sebagai anak lagi, dan diusir pulang dari Surabaya?

Ya Tuhan, kalau itu terjadi, benar-benar keterlaluan.

"Enggak. Kebetulan hari ini Ibu sama Mbak Dinara enggak ada jadwal ke mana-mana, jadi mending aku pulang ke Jakarta. Lagian, kamu kan mau dinas mulai besok sampai minggu. Aku bakal kangen," bisiknya seraya mengelus pipiku.

Uhuh... lututku lemas, hatiku cespleng saking leganya. Jadi bukan karena hal yang enggak-enggak.

"Kangen?" Aku menggigit bibir bawahku. Aku juga, Nu, aku juga.

Peduli setan dengan kedatangan Danu yang enggak pernah kukira. Mungkin inilah satu-satunya hal yang tidak sesuai rencana dalam sejarah hubungan kami tapi sangat bisa membuatku mabuk kepayang. Buktinya, sedetik kemudian lidah kami sudah saling mencari, mereguk sesuatu yang entah berapa abad sudah kami singkirkan hanya karena pekerjaan dan benturan emosi akhir-akhir ini.

Seperti biasa, aku mabuk dalam kawah feromon yang melingkupi kami.

"Astaga! Get a room, please!" Suara Kemi melengking tinggi, membuat kami terlonjak dan mau enggak mau memisahkan diri. Sialan Kemi! Lagi enak-enaknya, juga.

"Sorry," ucap Danu langsung. Mukanya benar-benar tak enak pada Kemi yang berkacak pinggang. Halah... ngapain juga, Kemi sudah biasa nonton yang beginian meski cuma lewat layar ponselnya. Level tontonan Kemi sudah di atas cipokan meliuk-liuk soalnya.

"Enggak," tangkis Kemi. "Gue mah masa bodo, tapi kalau tetangga lihat males juga. Bisa panjang urusannya," ujarnya santai. "Emang, kalau pasangan abis berantem terus baikan cipokannya dahsyat ya, bok," godanya. Gadis bercelana pendek itu malah duduk di teras, dengan ponsel di tangannya.

"Masuk dulu, Nu," ajakku merangkul lengan Danu. "Lo ngapain, Kem, di teras?"

"Nungguin Mamang Paket," jawabnya. "Tadi sms udah on the way ke sini, gue takut dia salah rumah."

"Kiriman apa emangnya?"

"Baju, Mon. Gila, baru kali ini gue beli online, ya, terus pembelinya tuh pada antusias semua. Semua produknya sold out cuma dalam waktu tiga menit, padahal yang di-upload ratusan."

"Bagus banget, emang?"

"Gue liat review-nya sih bagus. Makanya gue penasaran abis."

Enggak lama, petugas paket yang Kemi tunggu datang. Mengacungkan sebentuk kiriman berbentuk tas kertas yang memang terlihat elegan. Di bagian depannya ada brand yang belum pernah kulihat. Kemi nyaris melonjak menghampiri pengantar barang. Aku menggeleng-geleng menahan tawa melihat dia menari-nari memasuki kamar dengan memeluk benda itu di dada.

"Bentar ya, Nu, aku ganti baju," pamitku pada Danu yang duduk di sofa ruang tamu.

Enggak lama, pekikan heboh terdengar dari kamar Kemi. Aku yang awalnya mau menuju kamarku jadi berbelok arah.

"Ada apaan, sih?"

"Mon, coba lihat, Mon," ucap Kemi membentangkan dress selutut di badannya, lalu berputa-putar ke kiri dan kanan.

"Bagus banget, astaga, bahan dan motifnya juga," puji Lanti.

"Gue baru ngerti, kenapa produknya digilai dan selalu sold out." Aku mendekat dan menyentuh bahan dress Kemi. Selain memang model dan motifnya yang bukan cuma unik tapi juga elegan, sepertinya bahannya juga berkualitas.

"Bagus," ungkapku. "Berapa duit?"

"Tebak?" sambar Kemi dengan mata berbinar. Belum sempat kami mengucapkan sebuah nominal, Kemi sudah melolong dengan histeris, "Cuma tiga ratus duapuluh lima ribu."

Pantas saja, Kemi bersorak seperti mendapat harta karun. Kuakui, dengan harga segitu, siapa yang enggak mau dapat baju unik, cantik tapi juga berkelas. Dress di pelukannya itu terlihat seharga jutaan rupiah. Apalagi sih yang enggak digilai perempuan? Harga murah tapi terlihat mahal di mata. Perempuan sesederhana itu. Kata siapa cewek itu ribet?

"I am so happy for you, Kem," ucapku. "Gue ganti baju dulu, ya. Mau jalan sama Danu," pamitku.

"Cie... cie, yang baru baikan. Udah ngasih live show aja di teras barusan. Untung dede Kemi cukup umur," godanya.

Aku memilih berlalu dan mengabaikan.

[ Preferensi ]

"Kita sampai," ujarnya.

Untuk sedetik aku benar-benar melongo. Kejutan apa lagi ini?

"Nu?"

"Ya, ini... rumahku," ucapnya pelan. "Kamu mau masuk?"

Aku mengangguk-angguk semangat. Jelas aja, ya, ini pertama kalinya aku diajak ke rumah Danu. Tapi, apa ya? Pernah enggak sih kalian merasakan melihat sebuah rumah kemudian hati kalian berdebar kayak ada ikatan tertentu? Nah... ibaratnya manusia bisa jatuh cinta pada benda mati, rumah Danu ini adalah salah satu yang memiliki kekuatan seperti itu.

Elegan.

Sesuatu yang kuagung-agungkan.

Minimalis.

Menunjukkan kelelakiannya yang tak terbantahkan. Aw!

Danu membuka pintu depan yang terbuat dari kayu berserat, ada kaca tersisip di sisi kirinya. Aku mematut diri sebentar sebelum ikut masuk dan menemukan lagi-lagi kejutan. Rumah yang sangat... nyaman. Setidaknya enggak ada bau-bau aneh, segar saja begitu.

Oh, lupakan saja beberapa kain yang tergeletak sembarangan. Namanya juga cowok. Berantakan sedikit itu masih bisa dimaafkan.

"Maaf, belum sempat beres-beres," ujar Danu seraya meraih setumpuk kain di sofa, kemudian menghilang dengan cepat ke belakang. Enggak banyak perkakas di sini, cuma sofa kecil dan bangku bulat. Di sudut ada nakas yang diisi lampu duduk.

Rak buku dijadikan partisi permanen dengan ruang berikutnya. Gila... ini benar-benar rumah yang kuinginkan. Mungil, tapi semuanya fungsional. Benar-benar seperti direncanakan dengan baik.

"Yang? Sini," ajaknya. "Kamu kenapa, dari tadi diam aja?"

Aku berjinjit untuk mengecup pipinya. "Rumah kamu bagus banget."

Ah... pikiranku sudah melayang ke mana-mana. Aku yakin setelah ini Danu akan bilang kalau ini akan menjadi 'rumah kita'. Astaga... aku bisa merasakan pipiku merona.

Danu menyalakan televisi besar sementara dia menghilang lagi di belakang. Dinding di ruang keluarga masih didominasi warna lelaki. Putih, abu-abu dan hitam. Nanti... nanti akan kupoles ruangan ini agar lebih berwarna, lebih hidup lagi. Kyah!

Girls, kalau umurmu sudah duatujuh, adalah nilai plus kalau kalian bisa mencari pasangan yang sudah memiliki tempat tinggal sendiri. Meski masih kredit, tapi setidaknya itu sudah menunjukkan sebentuk tanggung jawab, dan tentu saja sebuah perencanaan yang baik. Kalau pacarmu umur tigapuluh tapi masih membeli barang-barang enggak penting, mending tinggalin saja. Buat mikir investasi untuk dirinya saja belum beres, apalagi buat berumah tangga.

Nanti kutanya Danu, siapa tahu sudah lunas, kan, ya? Bonus banget kalau gitu.

Ouch! Jangan menatapku kejam. Aku realistis bukan materialistis. Munafik kalau ada cewek yang bilang lebih suka rumah kreditan daripada yang udah lunas di tangan. Kan? Duitnya bisa dipakai buat yang lain daripada bayar cicilan.

"Minum, Yang. Maaf cuma ada ini," ujarnya saat kembali dengan nampan di tangan. Oh... manisnya. Aku enggak berharap apa-apa, diajak ke sini saja sudah senang.

Kami duduk berangkulan sambil menonton tayangan favorit Lanti. Spongebob Squarepants. Enggak kusangka, Danu bisa tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan tingkah bintang laut dan kotak kuning yang aku enggak paham di mana lucunya. Ah... sudahlah, mau minta apa lagi, Mona? Quality time seperti ini sudah berasa surga. Apalagi sesekali tangan Danu singgah grepe-grepe. Kepalaku udah berdenyut-denyut di segala sisi.

"Masih minimalis banget ya, Yang," ucap Danu saat tayangan konyol itu berakhir.

"Tapi, rapi banget. Aku suka," ucapku.

"Nanti kamu bantu dekor ya, Yang, tambah-tambahin apa gitu."

Nah! Ini tanda-tanda, nih. Sebentar lagi aku akan mendengar Danu bilang 'terserah aja mau diapain, kamu kan Nyonya Rumahnya'.

"Tenang aja, aku bakal bikin rumah ini nyaman senyaman-nyamannya," jawabku seraya menarik buku agenda. "Kalau kamu pulang ke sini berasa males keluar rumah lagi, gitu." Mulai memikirkan benda apa saja yang harus kutambahkan agar bisa ditinggali dengan nyaman oleh kami berdua. Kucatat prioritas yang harus pertama kali Danu beli adalah papan tulis untuk mencatat to do list pekerjaan.

"Peralatan dapur terutama, Yang," lanjutnya."Masih banyak yang kurang."

Oh my, peralatan dapur itu nomor sekian, Danu Sayang. Yang dibutuhkan adalah sentuhan-sentuhan interior yang lebih feminim. Wallpaper motif berwarna cokelat mungkin, ya?

"Iya, mungkin nanti dindingnya kita kasi wallpaper aja ya, Nu?" ungkapku. Di benakku sudah terpeta berapa kira-kira anggaran yang harus dikeluarkan untuk hal ini.

"Apa kata kamu aja. Aku percaya." Oh my, manisnya pacarku. "Aku percaya selera kamu, soalnya."

"Iya, dong. Nanti aku susun dulu apa aja yang kita butuhkan kemudian kapan harus dilakukan pembeliannya. Sama penggantian beberapa desain," sahutku.

"Iya. Semoga Ibu dan Divanda betah nantinya tinggal di sini," lanjutnya.

What?

Aku tadi dengar apa?

"Maksudnya, Nu?" Balon kebahagiaanku mulai berlubang kecil di sebuah sisi.

"Iya, kamu atur-aturin aja, biar Ibu sama Divanda bisa betah. Kamu kan perempuan, lebih mengerti maunya perempuan seperti apa."

Duar! Balon kebahagiaanku meledak berkeping-keping. Memuntahkan tepung putih ke muka!

Memalukan!

Imajinasimu memalukan, Mon!

"Yang?"

Aku tergeragap panik. "Hm?"

"Kamu enggak papa? Kok kayaknya kaget?"

"Eh-eh... enggak," kilahku. Beruntungnya, saat itu ponselku berbunyi. Notifikasi masuknya sebuah surel menyelamatkan mukaku yang nyaris seperti kepiting rebus diberi pewarna pakaian. Merah menyeramkan. "I-ini ada email masuk dari kantor," lanjutku gugup.

"Oh, hari libur begini kantor masih kirim kerjaan?" ujar Danu. Dia bangkit kemudian menuju ke belakang.

Kubuka surel dengan cepat. Kemudian mengembuskan napas lega. Cukup satu kejadian saja, ya, yang membuatku bete. Ternyata cuma permintaan pengisian data personal untuk keperluan training besok.

"Nu?" panggilku. "Aku boleh pinjam laptop, enggak? Mau kirim sesuatu."

"Oh, pakai aja. Laptopnya ada di kamar depan. Masuk aja," jawabnya. "Nanti aku nyusul."

"Kamu lagi ngapain?" tanyaku, kemudian memutuskan berjalan mendekat ke arah sumber suara. Kamar Danu yang terbuka. "Nu?"

Ya Tuhan, pemandangan Danu saat topless benar-benar mencederai mata. Kenapa badan Danu yang tengah ganti baju ini benar-benar minta dipeluk dan dijilatin senti demi senti, sih. Otakku emang enggak sekotor Kemi, ya. Tapi, ngeliat pemandangan begini, cewek mana yang enggak khilaf?

"Eh?" Danu menyadari kehadiranku.

"Sorry, tadi kupikir—"

"Nyantai aja," tukas Danu. Kemudian mengedipkan mata. "Aku mau ganti keran kamar mandi bentar, makanya ganti baju. Kamu ke kamar depan aja, Yang, nanti aku nyusul."

Demi kesehatan dan kewarasan, aku segera menyingkir dan masuk ke kamar yang satunya. Segera kubuka laptop Danu yang tergeletak di atas meja kerja. Menyambungkan koneksi internet dari ponselku dan mengirim data yang dibutuhkan. Ayolah... cepat!

Aku menyumpah-nyumpahi koneksi internet yang tiba-tiba melambat. Padahal sudah tahap mengunggah foto untuk id card peserta. Sebentar lagi selesai dan aku bisa menyaksikan tingkah laku tukang ledeng paling ganteng sedunia! Yippie!

Saat itulah mataku menemukan sebuah folder di sudut dekstop. Danu's. Begitu saja tulisannya. Buka enggak, ya?

Entah kenapa, perempuan memang selalu dibekali perasaan kepo dan enggak kuasa menahan diri untuk diam manis saja. Kuklik foldernya dua kali.

Apa yang kulihat kemudian benar-benar membuatku perlu menelan ludah dan mengerjapkan mata. Getaran halus yang familier menjalar dari pundak menuju telapak tangan. Aku menggigil tiba-tiba. Serangan dingin akut melanda.

"Yang?" Suara Danu menarikku dari lamunan dan tanpa kusadari tanganku terkepal erat. Gigiku bergemeletuk menimbulkan bunyi bising. Yang paling parah, mataku panas menahan sesuatu yang nyaris bergulir. "Belum kelar? Ternyata enggak bocor, cuma kerannya agak longgar."

Danu memasuki ruangan dan memosisikan dirinya di belakangku. Sama-sama menatap sesuatu yang terpampang jelas di layar laptop.

"Siapa? Siapa dia?" desisku menunjuk sebuah foto yang berisi Danu dan seorang perempuan tengah berpelukan. Menatap matahari terbit di kejauhan. Intim. Dan... terlihat hangat. Garis senyum yang lebar tertarik di bibir keduanya. Foto-foto berikutnya menampakkan muka si gadis. Cantik tak terbantahkan.

Aku... gemetar menunggu jawaban.

Danu menghela napas. "Itu foto dua tahun yang lalu. Namanya Ceria," jawabnya pelan.

Aku benar-benar benci kejutan!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top