7. Despacito? Enggak bisa!

Danu masih belum mau mengangkat telepon dariku.

Oke, ternyata laki-laki bisa merajuk sampai segininya?

Dari ujung kubikel, kupandangi sorot mata Saga yang tajam. Bocah serba tahu itu menggelengkan kepala beberapa kali. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan. Aku bisa apa? Satu-satunya lelaki yang cukup dekat dan bisa dimintai saran untuk saat ini hanyalah Saga.

Dan Saga bilang, beri waktu.

Sependek itu? Iya. Apa yang kalian harapkan dari mulut seorang lelaki yang sudah sering menampung sampah curhatan? Solusi yang singkat tapi juga biasanya efektif dan efisien.

Girls, buatku pribadi, menumpahkan curhatan itu tergantung kebutuhan. Kala aku perlu mendengar pembelaan bertubi-tubi sekaligus pembenaran akan sikapku, maka aku lebih baik lari ke Lanti atau Kemi. Mereka akan berada di garis depan untuk urusan menyalahkan lelaki. Mereka juga paling kencang meneriakkan kata-kata yang ingin kudengar sepenuh hati. Namun, enggak bakal menyelesaikan masalah yang kuhadapi. Sayangnya.

Begitulah bersahabat dengan cewek. Di satu sisi, membuat perasaan jauh lebih baik karena antarcewek itu sudah ada ikatan saling memahami yang tak terbantahkan. Mereka bisa mengerti apa yang ingin kita dengar sebagai jawaban tanpa harus repot-repot kita utarakan. Tapi enggak menyelesaikan persoalan karena cewek hanya bisa mneduga, menebak dan menganalisa kemudian berasumsi gila. Iya, cewek memang seribet itu.

Berbeda dengan Saga. Kaum mereka enggak banyak kata, berpikir praktis. Sekali aku bilang berantem level tiga dengan Danu, Saga tanpa repot bertanya penyebab ataupun kronologinya, hanya menyarankan untuk memberi sedikit waktu.

Waktu?

Iya, waktu yang menurut Saga cukup untuk menurunkan ego dan amarah seorang lelaki. Kemudian bisa diajak bicara dari hati ke hati. Yah, kalian enggak salah dengar, Saga memang secanggih itu. Meskipun dia murahan soal makanan dan agak kekanak—

"Mbak Mona?" Sebuah panggilan menarikku dari lamunan panjang.

"Ya, Ket?" Bukan, namanya bukan burket, tapi Katerina, sekretaris Pak Arven.

"Ditunggu Bapak di ruangan."

"Oke."

Beranjak dengan bahu yang melunglai, aku sudah tahu bahwa panggilan Pak Arven hanya berarti satu hal; tugas tambahan.

"Bapak manggil saya?" tanyaku basa-basi—yang memang sudah basi—saat memasuki ruangan Pak Arven. Beliau cuma mengangguk dan mempersilakanku duduk di kursi yang kosong. Kursi yang satunya sudah diisi—siapa namanya kemarin? Anak Pak Arven? Aku lupa—makhluk berjakun yang penampilannya laki banget.

"Mon, saya punya berita buat kamu. Ada perusahaan kecil yang akan jadi klien kita. Mereka meminta audit dalam rangka pemenuhan persyaratan untuk pengajuan kredit di bank."

Kan? Apa kubilang?

"Perusahaan apa dan di mana lokasinya, Pak?"

Pak Arven mangasongkan berkas di depannya. Aku meneliti sekilas profil perusahaan. Bidang usaha: pengiriman barang ke luar negeri. Lokasi: Jakarta.

"Kapan rencananya, Pak?"

"Setelah kamu selesai training saja."

"Baik, Pak." Meminjam kalimat Danu, memangnya aku punya pilihan lain.

"Satu lagi, saya ingin kamu melibatkan Arga dalam tim kamu."

Eh?

"Arga siapa?" tanyaku tolol. Sedetik kemudian menyadari bahwa lelaki di depanku inilah yang dulu mengenalkan dirinya sebagai Arga. "Sorry," bisikku pelan.

"Arga sudah punya pengalaman di luar negeri, tapi tetap saja saya ingin dia belajar standar prosedur di kantor kita. Bisa?" lanjut Pak Arven tanpa menghiraukan kekakuan di antara kami.

"Baik, Pak."

Aku berpamitan kepada Pak Arven dan anaknya yang hanya menahan tawa. Sialan!

"Kenapa, Mon?" tanya Lanti saat aku kembali ke kubikel.

"Kita dapat pekerjaan baru," ujarku mengumumkan. Saga memutar bola mata. Mendapatkan pekerjaan di bulan-bulan low season memang bukan favorit siapa pun di kantor ini. "Dan kabar tambahannya, kita ketambahan satu orang lagi di tim ini."

"Heh?" ujar Saga. Ia berdiri dari balik kubikelnya, menunggu aku melanjutkan berita.

"Siapa?" tanya Lanti.

"Anaknya Pak Arven," jawabku. "Yang baru kembali dari luar negeri itu."

"Aku tau!" celetuk Lanti langsung. "Kalian liat enggak, tadi pagi Pak Arven datang sama siapa?"

"Cowok demenan lo yang gayanya meyakinkan kayak cowok-cowok yang keluar dari novel itu?" ledek Kemi. Enggak sulit menentukan standar jawaban Lanti yang berbinar-binar. Gadis itu mengangguk kuat, seperti mainan kucing di toko Cina.

"Halah! Gue tau. Gue ketemu di parkiran," imbuh Saga.

"Cakep, ya, Ga?" Lebih seperti meminta pembenaran ketimbang bertanya.

"Lo nanya soal tampang cowok ke gue?" dengus Saga sambil mengangkat alisnya. "Ckckck."

"Alah... bilang aja lo takut kesaing," ledek Kemi.

"Oi... oi, di antara cewek-cewek auditor di sini, enggak ada yang layak gue ajak bermasa depan," debat Saga. "Ngapain gue takut saingan sama dia?"

"Ah... sotoy lo, Ga."

"Oh, ya?" Saga memutar kepalanya. "Iya, cakep banget, sumpah, kamu pasti terpelatuk liat dia," ucap Saga dengan nada dibuat-buat. Menyerupai cewek horny.

Ujung-ujungnya, meledaklah tawa di kubikel Kemi. "Terpelatuk banget, Ga?"

"Iya, kayak lo, Mon. Terpelatuk sama si Danu."

"Err...."

"Eh... iya, kita tadi ke sini kan mau bahas soal lo, Mon. Jadi gimana? Si Danu masih enggak mau ngangkat telepon lo? Cowok apaan kayak gitu."

Tuh! Dasar lelaki karbitan. Curhat ke dia, tetap aja sampai ke dua telinga yang lain.

"Mungkin masih sibuk," kilahku. "Dan butuh waktu juga," lanjutku lengkap dengan nada menyindir yang kental ke arah Saga.

"Emang masalahnya apa, Mon?" tanya Lanti.

"Gue...," aku bingung mengutarakannya, "cuma protes soal dia yang pulang tiap weekend," ucapku pelan. Saga terkesiap di sampingku. "Danu enggak terima, karena itu dia lakuin demi keluarganya. Gitu deh," putusku bingung.

"Yakin lo hanya protes?" kejar Kemi. "Atau—" Kemi enggak meneruskan kalimatnya.

"Ya... mungkin gue yang keterlaluan," ungkapku. "Gue bilang kakaknya kudu mandiri atau apalah sehingga Danu enggak perlu bolak-balik sesering itu," tambahku lesu.

"Danu jawab apa, Mon?" Lanti meremas bahuku, memberi penguatan.

"Dia bilang ini soal keluarga dia, dan dalam keluarga dia enggak ada istilah merepotkan dan direpotkan."

Saga menghela napas panjang. "Untuk satu hal ini, gue akui Danu benar," timpal Saga. Aku mendelik. "Ya... Danu sama kayak gue, satu-satunya cowok. Gue juga bakal ngelakuin apa pun buat keluarga gue."

"Begitu, ya, Ga?" lirihku.

"Sama seperti yang bakal gue lakuin buat kalian. Karena bagi gue, selain Kak Anya, kalian juga sodara gue," lanjutnya, yang membuat mata Lanti berkaca-kaca dan Kemi tersenyum lebar. Suasana jadi berubah agak-agak gimana gitu.

"Jadi, gue harus gimana?"

"Minta maaf, Mon," tegas Saga. Lengkap dengan nada tak bisa ditawar.

Haruskah? Kalau memang cewek salah memangnya harus minta maaf? Apa cowok enggak bisa melupakan salah dan bersikap biasa-biasa saja kayak biasanya? Aku enggak membela diri, tapi yang kemarin murni kulakukan karena peduli sama Danu. Mungkin caranya salah, atau kata-kataku salah, tapi yang jelas—

"Meskipun di otak ceklis lo itu sedang bergentayangan pembelaan-pembelaan, mencoba mencocokkan satu demi satu antara fakta kejadian dan maksud hati lo, tapi gue setuju sama Saga, lo salah. Dan enggak ada salahnya minta maaf," serobot Kemi. Gadis itu bersedekap di depanku.

Aku memutar bola mata sebagai reaksi. Minta maaf? Emph—

"Eh, aku udah tau dong nama Si Cakep," celetuk Lanti tiba-tiba. Aku yakin, sejak tadi benaknya cuma berisi bayangan tentang anaknya Pak Arven saja, sementara Saga dan Kemi memberi saran untuk masalahku.

"Siapa?" tanya Kemi malas-malasan.

"King Arganta Arven. Panggilannya Arga. Namanya aja udah bagus ya?"

"King? Seriously?" pekik Kemi heboh. "Cowok apaan yang nama depannya King segala?" Kemudian Kemi mengumandangkan tawa setannya.

Masalahnya... perlu setengah menit bagi Kemi untuk menyadari bahwa kami tidak ikut tertawa, hanya menyengir seraya mengangkat alis saja.

"Kenapa?" tanya Kemi setelah tawanya benar-benar reda. Mata beningnya membulat, rambut ombrenya perlahan kembali ke tempatnya setelah terguncang akibat tawa hebohnya.

"Kemilau?" Suara Arga di belakang Kemi membuat gadis itu berbalik badan. Mata Arga terpaku pada papan nama di atas kubikel Kemi. "Seriously? Gadis seperti apa yang perlu nama berkilau segala sementara perilakunya tidak menunjukkan itu sama sekali?"

Damn! Muka Kemi merah padam.

Saat Arga berbalik menjauh, untuk pertama kalinya aku melupakan masalah dengan Danu dan menertawakan Kemi habis-habisan.

[ Preferensi ]

Aku enggak pernah ambil pusing mengenai dua pernyataan yang sering kubaca di internet. Kubu yang menganjurkan untuk segera menikah versus golongan yang menghimbau untuk santai menikmati hidup. Enggak ada yang salah menurutku, semua orang punya prioritasnya masing-masing. Semua orang punya alasan.

Termasuk aku.

Bukan apa-apa, ya, aku demikian gigih merencanakan step by step hubunganku dengan Danu. Catat ya, gigih, bukan kekeuh apalagi memaksakan kehendak. Kalau dibilang aku egois, itu tergantung perspektif masing-masing. Namun, aku beberkan beberapa alasan. Sama sekali tidak ingin menangguk opini pembenaran dari kalian.

Pertama, aku sudah duatujuh. Semakin lama aku menikah, maka semakin lama aku punya anak. Sedangkan perempuan itu rahimnya kayak susu kemasan, ada tanggal expired-nya. Bisa dibilang, ini adalah masa-masa keemasan dalam menghasilkan keturunan. Enggak terlalu tua, enggak juga beranak muda. Siapa yang enggak mau punya anak di saat yang paling tepat dalam hidup?

Kedua, ini demi anak-anakku juga. Aku enggak mau pas nanti mereka kuliah atau bekerja, aku sudah ringkih dan enggak bisa memberikan sesuatu buat mereka, sebuah nasihat sebagai bekal mereka mengarungi hidup misalnya. Kemampuan otakku menyusut saat menua, dan aku enggak bisa mengikuti perkembangan mereka. Oh... no, nightmare banget.

Ketiga, salah satu alasan yang paling kuat adalah demi membahagiakan orang tua. Memang, Mama dan Papaku enggak pernah sama sekali menyinggung perkara memiliki pasangan. Tapi, menatap binar mata mereka saat menggendong anak sepupuku, aku cukup paham lah, ya. Apalagi kalau kalian memiliki kakak berengsek yang sibuk mengejar singa ke mana-mana demi mendapatkan foto yang bagus. Cuma aku harapan satu-satunya, sementara Makaio Anarghya—kakakku yang berprofesi sebagai fotografer—itu sibuk dengan dunianya.

Nah, dengan sederet alasan itu, apa bisa aku dibilang egois?

Think again!

"Bukan yang itu, Mon, kita nyari yang asli," gerutuan Lanti membuat lamunanku terputus.

"Ini kan lebih efisien, Lan?" tanyaku. Ini sudah pertanyaan kesekian kali yang Lanti jawab dengan gelengan.

Zaman praktis dan serba instan begini, bukan salah produsen kan untuk menyediakan berbagai bumbu dapur dalam kemasan? Bentuknya seragam. Bubuk. Lalu, kenapa gadis berkacamata di depanku ini rempong meminta pala dan lada kepada Tante Penjual Bumbu?

"Mona, apa kamu pikir keluarga Danu menggunakan bumbu praktis kayak gitu?" tanya retoris, tapi efektif buat membungkam mulutku.

Aku enggak tahu, ya, kenapa pagi cerah di weekend yang biasa kugunakan untuk berguling di kasur dan memeluk guling ini, aku justru sudah di berada di pasar tradisional. Entah kesurupan apa hingga tercetus keinginan untuk belajar memasak pada Lanti. Sesuatu yang aku sesali tiga detik berikutnya. Jelmaan Ibu Kartini ini dengan semangat menerorku untuk ke pasar subuh untuk mendapatkan bahan-bahan yang segar dan entahlah apa istilahnya. Menolak menggunakan hal-hal praktis hanya sedikit cobaan dari Rilanti Nansarunai. Menenteng ikan amis adalah salah lainnya.

"Gue kan mau belajar yang praktis dulu, Lan, kenapa bahan-bahannya sebanyak ini?" keluhku. Aku datang ke pasar juga enggak dengan otak hampa. Video-video masak dengan label untuk pemula sudah aku khatamkan beberapa hari ini. Kelihatannya cuma memerlukan sedikit bahan, dan cemplung-cemplung saja. Namun, kenapa dengan Lanti semua ini naik tingkat menjadi masakan koki andalan keluarga?

Sudahlah, menurut saja. Lagi pula, hanya Lanti yang bisa dipercaya untuk hal ini. Enggak mungkin meminta Kemi atau Saga untuk urusan perdapuran yang ilmunya sama jongkoknya denganku. Phew!

"Pindang ikan itu praktis, Mona Sayang, tapi masih berkelas kalau di mata calon mertua," tuturnya sambil memilih buah jeruk kecil yang entahlah jenisnya apa.

"Emangnya lo punya calon mertua?" sikutku. "Kok tau berkelas?"

Lanti mesem-mesem. "Emangnya kamu mau masak telur mata sapi di depan Ibunya Danu?" jawabnya membalik tanya.

Oke, jadi pelajaran buat kalian, kalau calon mertua kalian suka memasak, jangan pernah menyodorkan telur mata sapi sebagai sajian!

[ Preferensi ]

'Kalau kamu udah tiba di rumah dan enggak marah lagi, aku telepon ya.'

Pesan itu sudah terkirim hampir enambelas jam yang lalu, namun enggak sedikit pun mendapat respon dari pemiliknya. Entah apa yang Danu lakukan sekarang, tapi mendiamkanku lebih dari tiga hari jelas membuatku pusing bukan kepalang. Kurang cukup apa waktu yang aku berikan seperti yang Saga sarankan? Dasar lelaki ego—

Panjang umur, ponselku berbunyi. Apa cuma aku yang merasa aneh, setiap kali habis bertengkar dengan Danu maka aku selalu deg-degan mengangkat telepon darinya.

"Hallo?"

"Mona?"

What? Mona? Bukan 'Yang' kayak biasa?

"Iya, Nu. Kamu ke mana aja? Enggak ngabarin," ucapku lesu. Turunkan... turunkan emosimu, Mona. Jangan sampai bikin kacau lagi gara-gara sifatmu.

"Iya, maaf, Yang, aku kelupaan balas sms kamu. Seharian sibuk nemenin Mbak dan Ibu keliling cari bahan."

Oh! Dan 'Yang'. It's ok. Enough for this time.

"Iya," jawabku pelan. Lidahku mendadak kelu. "Em... Nu?" panggilku.

"Ya?"

"Aku... aku minta maaf," ucapku terbata, "soal kemarin. Aku hanya—"

"Iya, aku ngerti, Yang," potongnya. "Aku cuma mau kamu mengerti, kalau keluarga ini hanya punya aku sebagai satu-satunya cowok tempat mereka bergantung. Setidaknya sampai Mbak Dinar menikah nanti," jelasnya dengan nada tenang. "Aku bukannya mengesampingkan kamu, tapi untuk sekarang ini prioritasku, Yang."

"Iya, Nu, aku ngerti. Aku... yang keterlaluan kemarin. Aku hanya ngerasa kesepian kamu enggak ada di sini. Biasanya tiap weekend kita selalu sama-sama. Setaun ini kan begitu, Nu," ujarku membeberkan alasan.

"Iya, aku tahu. Tapi, untuk saat ini kita enggak punya pilihan lain, kecuali sama-sama sabar. Kamu kira, aku juga enggak kesulitan jauh dari kamu?" gumamnya. "Aku kangen, Mon. Kangen diteror pagi-pagi buat joging sama kamu," ledeknya.

"Lalu sarapan bubur ayam setelahnya, ya," sambungku. "Kembali lagi deh kalori yang dibakar."

Danu tertawa. "Sebentar lagi, setelah semua ini selesai, kita bisa begitu lagi," tegasnya.

Hatiku tiba-tiba menghangat. Segala beban yang menghimpit terasa dibilas bersih seketika. Enggak tersisa noda.

"Nu?"

"Hm?"

"Aku belajar masak, lho. Pindang ikan," lanjutku seraya meringis, mengingat rasa pindang yang Kemi beri nilai tiga. Dasar perempuan kejam.

"Bener, Yang?" sahutnya di antara tawa. Aku bisa membayangkan wajahnya yang mesem-mesem minta dicium itu. "Aku juga sudah bilang sama Ibu kalau kamu mau main ke sini pekan depan."

What? Danu sudah bilang?

Ya Tuhan... apa saja yang sudah aku persiapkan untuk pertemuan ini? Segera kusambar buku agenda biru lautku, memindai seberapa banyak hal lagi yang harus kupelajari agar terlihat seperti calon menantu idaman. Sial! Masih banyak! Ke mana aku harus kursus tata kalimat anggun dan sopan, mengingat Kemi yang orang Solo saja gagal mempraktikkannya dalam kehidupan?

"Yang? Kamu ketiduran?"

"Eh... enggak, aku cuma lagi mengecek persiapan buat ketemu Ibu kamu," jelasku terburu-buru. "Enggak mungkin aku hanya nyodorin keahlian masak pindang kan? Apa lagi yang harus aku siapin? Rencanain?" berondongku. "Aku enggak mau ya, kayak kucing kecebur selokan pas ke rumah kamu. Baiknya aku datang jam berapa? Bawa apa? Aku pakai baju apa?"

"Sayang... bisa ngomong pelan-pelan?"

Sayup-sayup terdengar lagu mengalun di belakang. 'Despacito. Quiero respirar to cuello despacito'.

Enggak bisa despacito-despacito,aku harus segera disusun strategi lengkap menghadapi calon mertua!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top