5. Demi Target atau...

"Di balik setiap cewek ngambek, ada cowok yang bingung dan gak tau sebenarnya salah dia apa. Di balik cewek ngambek, mau dibolak-balik, bagi cewek ngambek ya ngambek."


Menurut artikel yang pernah kubaca beberapa tahun silam, pertengkaran di antara pasangan adalah hal yang lumrah. Bahkan bisa termasuk tanda-tanda hubungan yang sehat. Eits, jangan mengerutkan dahi dulu, girls. Jadi begini, pertengkaran itu terjadi karena ada dua hal yang diperdebatkan. Itu artinya, kedua belah pihak masih mau mengungkapkan pendapat dan uneg-uneg masing-masing. Masih sama-sama mau berjuang mencari kesepakatan. Masih mau bertahan untuk bersama. Begitu.

Bayangkan kalau salah satu pihak iya-iya saja, tapi sebenarnya menentang? Pertengkaran memang tak terjadi, tapi bom atom bernama putus hubungan tinggal menunggu waktu. Iya kan?

Bah!

Oke, aku jujur. Sebenarnya yang tadi itu kupaparkan agar perasaanku menjadi sedikit lebih enak.

Faktanya, berantem dengan Danu membuat aku uring-uringan. Kalian juga pasti begitu kalau lagi marahan sama pacar kan? Enggak usah sok bijak.

Kenapa aku jadi nyinyir begini?

Itu karena empat hari ini hubunganku dan Danu masih 'panas', cuma lagi gencatan senjata aja karena Danu sering menunjukkan gestur sakit kepala kalau aku tiba-tiba menyinggung topik ini. Bukan Mona, ya, kalau nyerah gitu aja. Sambil berantem begini, aku tetap harus memasukkan doktrin-doktrin untuk rencana kami ke depannya. Termasuk berkenalan sebelum acara resepsi Mbak Dinara.

Ibunya boleh menolak saat ini, tapi besok... beliau yang menyesal karena menunda perkenalan ini.

Tawaku membahana. Bayangan Ibu Danu terbungkuk-bungkuk bangga mengenalkanku pada setiap orang yang hadir di resepsi Mbak Dinara menjadi topik khayalanku sepuluh menit berikutnya. Cukup sepuluh menit aja, ya, seterusnya aku harus menyusun rencana untuk melumpuhkan musuh aka calon mertua. Lamunan tanpa kerja nyata itu bullshit semata.

"Cara terbaik berkenalan dengan keluarga pasangan," gumamku. "Enter."

Wah... mungkin enggak berlebihan kalau kubilang mesin pencarian canggih ini sebagai kitab petunjuk—oh, jangan putar bola mata kalian dan mengatai aku kafir, ya, seperti kebanyakan orang yang demen banget mengkafir-kafirkan itu, kalian pasti tahulah maksudku dengan kitab petunjuk itu—soalnya setiap hal yang aku butuhkan dan tanyakan selalu dijawab dalam waktu kurang dari sedetik.

Deretan teratas diisi dengan tajuk 'Strategi Menghadapi Pertemuan Pertama dengan Orang Tua Pacar'.

Yes! Ini yang kubutuhkan, dari judulnya saja sudah menjual, ya. Strategi. Kalau dipikir-pikir strategi itu tingkatannya sudah di atas tips, ya. Sudah mendalam, begitu. Oke, mari kita lihat, Mona.

Satu. Sempatkanlah waktu untuk mewawancarai pacar mengenai kesukaan dan tidak disukai oleh keluarganya.

Yassalam... tanpa perlu wawancara mendalam, ya, di bagian ini saja sudah membuat kepalaku cekot-cekot. Keluarga Danu gemar memasak. Sementara aku—next... next.

Dua. Pilihlah waktu yang tepat untuk berkunjung.

Hm... Empat bulan lagi itu bukan cuma tepat, malah terlambat. Ih!

Tiga. Buatlah kesan pertama yang sopan, bersahabat dan berkesan.

Err... aku malah lebih berdoa agar Ibunya yang bersahabat! Kata salah seorang temanku, makin oke anaknya, makin susah menaklukkan Ibunya. Duh!

Empat. Persiapkan hatimu secara matang.

Dahiku berkerut membaca kalimat itu, maksudnya apa nih?

Kamu perlu persiapan mental khusus ketika bertamu ke rumah pacarmu untuk pertama kalinya. Ini tidak seperti bertamu biasa karena kamu memang datang dengan agenda khusus. Orang tuanya juga pasti sudah mempersiapkan segudang pertanyaan untuk memastikan apakah kamu sesuai dan pantas untuk anaknya. Jadi selalu bersiaplah untuk terintimidasi. Siapkan juga mentalmu jika ternyata orang tuanya tidak begitu antusias atau bahkan tidak menyukaimu. Kamu harus selalu ingat untuk terus menjaga kesopanan dan berusaha sekuat mungkin untuk mengubah pikiran mereka tentangmu.

What? Bersiap untuk terintimidasi? Hell no, ya. Kalau sampai keluarga Danu tidak antusias ketemu aku, itu berarti mereka yang enggak bisa berkaca dengan keadaan. Bagian mana yang enggak bisa mereka syukuri, coba? Aku, Mona, usia menikah sudah cukup, datang dari keluarga baik-baik, pekerjaan oke bahkan tergolong cemerlang, yang jelas bisa menghasilkan duit sendiri. Meskipun enggak bisa masak, tapi aku enggak bakal membiarkan Danu kelaparan juga. Jika ada ungkapan perempuan harus terampil soal dapur, sumur dan kasur, aku sodorin kemampuan sumur, kasur dan hidup teratur untuk Danu. Kalau sampai mereka enggak suka, akan kusarankan mengunjungi psikiater saja.

"Lagi apa lo?" Kemi membaringkan diri di sebelahku, membuat seprai tertarik dan keluar dari sudutnya. Dasar, barbar! "Strategi menghadapi pertemuan pertama—" suaranya tenggelam dalam ejaan. Kemudian tawa nistanya meledak memenuhi ruangan.

"Kem! Apa sih?"

"Ya, lo, Mon," jawabnya di antara deraian tawa. "Sampai Google soal begini? Kayak perawan belum ada pengalaman aja," sindirnya. "Jangan-jangan, bacotan lo soal punya mantan pacar selusin itu boong, ya?" tuduhnya dengan mata menyipit.

Aku menjentik dahinya, Kemi mengaduh dan balas menarik rambutku dari samping. "Seiyanya gue perawan juga, gue enggak buta-buta banget soal begituan," jawabku. "Ini persiapan aja sih."

"Persiapan?"

"Ya... lo tahu enggak, pas Danu pulang dari Surabaya, gue..." Aku menceritakan garis besar pertengkaranku dan Danu empat hari yang lalu.

"Terus?"

"Ya, gue browsing-browsing aja, update strategi. Siapa tahu, ilmu gue yang kemarin-kemarin udah expired. Gue kudu susun rencana bin strategi ngadepin nyokapnya Danu, kan?"

"Sumpah... di telinga gue kedengerannya lo mau perang," celetuknya langsung. "Bukan pendekatan."

Yah... kalau ini berubah jadi medan perang, setidaknya aku harus siap amunisi, kan?

[ Preferensi ]

"Yakin cuma Surabaya, Mon?" Pak Arven berulangkali bertanya.

Aku paham, ya, maksudnya. Kenapa aku minta training di Surabaya aja, enggak ke Bali, Lombok atau luar negeri sekalian seperti biasanya. Tanpa bisa dicegah, cuping hidung mengembang, karena itu artinya Pak Arven sekalipun siap mendanai pelatihanku ke mana saja. Itu artinya, hasil kerjaku benar-benar gemilang. Aku bukan cuma karyawan biasa, tapi juga aset perusahaan.

"Kali ini ke Surabaya aja, Pak," jawabku singkat.

Pak Arven tidak menjawab, beliau malah sibuk menekuri sesuatu di laptopnya. Entah apa, yang jelas aku benar-benar enggak betah di ruangan ini. Cuma demi misi tertentu saja aku bela-belain ke sini. Jelas, ya, aku enggak munafik. Di Surabaya, berarti aku bisa mencuri waktu untuk berkenalan dengan keluarga Danu. Bisalah nanti menambah sehari dua hari dengan cuti. Ha!

"Ya sudah, kalau memang mau kamu begitu. Lagi pula di Surabaya memang akan diadakan training untuk level partner. Kamu bisa ikut."

"Level partner, Pak?"

Hua... level partner itu adalah salah satu level tertinggi. Di atas jabatanku yang sekarang. Kalau Pak Arven menyuruhku mengikuti level itu, berarti secara tak langsung beliau mengakui kapabilitasku, ya.

"Iya. Kamu keberatan?"

"Enggak, Pak. Saya pikir, saya akan bisa menyesuaikan. Lagi pula, itu bisa jadi simpanan ilmu jika saya menduduki jabatan itu kelak."

"Bagus. Saya suka pemikiran kamu. Terus berusaha, mungkin tahun depan kamu sudah menduduki jabatan tersebut."

Oh... my, bolehkah aku tertawa kencang sampai ke Surabaya? Agar Ibu Danu bisa mendengar prestasi apa yang dimiliki oleh seorang Monarza Arkananta? Calon mertua mana yang enggak bakal bangga?

"Berangkat minggu depan, Mon," tegas beliau seraya menyodorkan selembar kertas yang sudah dibubuhkan coretan sakti. Segala biaya ditanggung oleh perusahaan. Langsung kucatat di buku planner-ku.

Training di Surabaya, 17 April.

Nanti sampai meja akan kustabilo biar tidak lupa. Kemudian menyusun itinerary selama di Surabaya, termasuk menemukan rumah Danu. Gampanglah sekarang ada Google Maps dan fasilitas transportasi online yang cuma butuh memasukkan alamat tujuan. Yiha!

"Kalau begitu, saya permisi, Pak," pamitku.

Bergegas aku menyentak kursi dan berdiri. Namun, sebelum aku menggapai handel, pintu telah terlebih dahulu terbuka dan masuklah sesosok lelaki yang... emph... cakep, alisnya tebal, matanya tajam dan jakunnya laki banget. Stop, Mona!

"Arga, kamu sudah datang?" Suara Pak Arven terdengar di belakangku. Lelaki otu hanya mengangkat alisnya. "Mona, kenalkan putra saya, King Arganta Arven. Ga, ini Mona, karyawan terbaik di sini. Ke depannya kalian akan sering berkomunikasi."

What? Anak Pak Arven cakep begini?

Lelaki itu menyodorkan tangan, aku menyambutnya dengan senyum mengembang.

"Arga."

"Mona."

[ Preferensi ]

Aku benar-benar mendewakan yang namanya perencanaan. Bukan bermaksud meniadakan Tangan Tuhan, tapi buatku, segala sesuatu yang sudah diatur dengan saksama terlebih dahulu itu menghasilkan sesuatu yang baik. Mungkin kalian pernah dengar, bahwa hasil takkan pernah mengkhianati usaha? Nah... kira-kira prinsip itulah yang kupegang sejak aku mengenali bahwa hidup ini hanyalah serangkaian tahapan untuk mencapai suatu tujuan, right?

Tujuan itu terdengar terlalu menyeramkan buatku pribadi, makanya aku selalu memecah tujuan ini menjadi hal-hal yang lebih kecil lagi. Aku menyebutnya checkpoint, atau hal-hal yang dikumandangkan dengan berisik oleh sobat-sobatku dengan sebutan target. Checkpoint-ku sebenarnya sederhana, lulus kuliah, mendapat pekerjaan bagus, menabung sekian persen dari gaji dan sejenisnya. Selama ini, checkpoints tersebut bisa aku peroleh, beberapa di antanya malah diraih sebelum waktunya. Nah, kenapa bisa? Jawabannya tentu saja dengan rencana-rencana yang matang.

Maka, aku enggak mengerti kenapa teman-temanku meributkan hidupku yang menurut mereka terlalu tertata, sementara yang aku yang menikmati hasilnya.

Seiring usia, checkpoint-ku bergeser ke arah yang lebih kompleks, melibatkan orang lain tentu saja. Pedekate, jadian, pacaran, menikah, membuat bayi dan—

"Aku bakal pulang tiap weekend, Yang."

Ucapan Danu sontak menarikku dari lamunan panjang. Apa dia bilang?

"Ke Surabaya?

"Iya, nemenin Ibu dan Mbak Dinara."

Ya Tuhan, weekend yang aku damba-damba setelah kelar peak season jadi enggak ada artinya. Jangan salahkan aku kalau sekarang ini lebih sering mengenang masa-masa pendekatan, ketika Danu selalu ada di setiap weekend dan siap memenuhi permintaan apa saja.

"Tiap weekend?" tanyaku pelan.

"Maunya Ibu kayak gitu. Ya... kamu kan tau, Yang, Ibu sama Mbak Dinara enggak ada yang bisa nyetir. Calon suaminya juga jauh. Kalau bukan aku yang bantu, siapa lagi?"

Girls, sekali lagi aku ingatkan buat kalian-kalian yang berpikir bahwa cowok yang baik itu bisa dilihat dari cara dia memperlakukan keluarganya. Tapi, yang kalian kudu ingat, ada hati yang perih—antara rela dan enggak—di baliknya.

"Oh."

"Sabar ya, Yang," ucap Danu. "Cuma empat bulan ini, kok."

Cuma? Pfft.

"Iya."

"Makasih udah mengerti," ungkapnya. Eh? Mengerti? "Karena itulah aku betah sama kamu." Aku melongo.

Aku bisa apa? Meski tahu negara menjamin kebebasan rakyatnya untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing, tapi kalau orang tua pacarmu merenggut kebebasan waktu kencan, kamu bisa apa?

"Nu, aku mau ngomong, kamu dengerin dulu, ya," pintaku.

"Hm?"

"Ini soal kemarin, kamu jangan tensi tinggi dulu," selaku langsung. "Oke, aku paham penjelasan kamu kemarin. Mungkin iya, Ibu lagi capek saat itu. Jadi ngomong begitu. Tapi, aku juga lagi capek, jadi sensitif."

"Terus?"

"Kalau misalnya kamu pulang tiap weekend ini, paling enggak ada tigabelas weekend, ya, sebelum nikahan Mbak Dinara, bisa enggak kamu usaha lagi buat ngenalin aku sama Ibu?"

"Yang, kan sudah—"

"Iya, aku tahu Ibu mau pindah ke sini, Nu, paham banget. Tapi, kalo ada kemungkinan seperti itu kenapa enggak kita coba? Kan nanti di sini juga bisa jadi makin akrab," jelasku berargumen.

Danu mengetuk-ngetuk setir sebagai jawaban. Dia mengerti kan maksudku?

"Lagian, aku training di Surabaya minggu depan. Bisa sekalian kenalan kan?"

"Memangnya kamu training pas weekend?"

"Weekdays," jawabku sambil menggigit bibir.

"Aku enggak di Surabaya kalau begitu," jawabnya singkat.

Astaga... hanya karena jadwal dia enggak di Surabaya, terus rencana ini mental begitu aja. Usaha kek, cuti kek, apa kek!

"Ya, kan kamu bisa ambil cuti, Nu. Kamis dan Jumat. Aku pelatihannya sampai Rabu."

"Kerjaan lagi banyak-banyaknya, Yang."

"Kerjaan aku juga banyak, Nu, tapi aku usaha dan inisiatif buat kenalan sama Ibu," rutukku kesal. "Kamu pikirin dong, gimana aku mau-maunya training di Surab—"

"Kenapa memangnya kamu kekeuh banget pengin kenalan sama Ibu?" potongnya pelan.

Hah?

Aku enggak salah dengar, dia nanya begitu?

"Maksud kamu, Nu? Ya... jelaslah, ini demi kita, demi masa depan kita," ucapku cepat, tanpa menarik napas.

"Demi rencana-rencana kamu, maksudnya?" lirihnya.

"Nu?"

"Monarza, bagiku masa depanku adalah yang ada kamunya. Termasuk urusan perkenalan, menikah dan yang lain. Ada kamu, itu cukup," aku menghela napas, sadar kalau Danu menggantung kata-kata, "tapi, buat kamu, apa ini cuma bagian dari target-target yang ingin kamu capai aja?"

Aku merasa ditonjok di muka.


Note:

Yeah... saya tahu, bagi sebagian orang kelakuan Mona itu nyebelin. Dan saya pernah ketemu Mona asli, dan saya pengin banget nenggelamin dia di Selat Karimata. *abaikan

Terima kasih atas dukungannya melalui bintang-bintang kecil, sumpah enggak sampai sedetik itu :p tapi, itu salah satu cara menghargai manusia dan memanusiakan manusia, right?

Udah gitu, aja. Saya mau balik menggalau lagi karena besok Senin tiba. Duuuuh... udah Senin lagi T.T

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top