4. Cewek itu Lebay?
"Jangan pernah membuat cewek lo nangis, karena air mata cewek mahal harganya. Lo bakal menyesal kalau tau di balik tangisannya, ada bedak seharga duaratus ribu, maskara seharga seratus ribu, eyeshadow seharga seratus limapuluh ribu dan eyeliner seharga seratus limapuluh ribu juga. Total harga tangisan cewek: enamratus ribu!"
"Kalo gue jadi lo, ya gue tanya langsung," jawab Saga tadi sore.
Ada alasan tersendiri kenapa aku lebih nyaman bertanya pada Saga ketimbang duo cewek yang lain. Paling enggak Saga lebih rasional di saat Kemi berpikiran buruk dan Lanti menutupi kemungkinan pahit. Mungkin memang begitu cara kerja pikiran cewek, selalu berlebihan. Terlalu buruk, atau terlalu bermimpi baik, entahlah.
Dan akhirnya, menunggu waktu pulang kerja—karena menurut Saga lagi, menanyai cowok di waktu kerja hanya akan mendapatkan jawaban hampa, kaum mereka cenderung mengiyakan agar tidak diteror terus saja—yang entah kenapa terasa sangat lama sekali dibanding hari-hari biasanya, pesan singkat dari Danu masuk ke ponselku.
Aku udah di parkiran.
Singkat, padat dan jelas.
Bergegas aku menuju parkiran seraya mencangking tas tanganku. Melewati kubikel Kemi yang tengah sibuk memasukkan sesuatu ke ranselnya. "Gue duluan, Danu udah di parkiran," gumamku. Rambut ombre gadis itu berkibar, dan kuanggap sebagai jawaban.
Mobil hitam Danu, dengan posisi sudah menyala terparkir di tempat biasa. Jangan bayangkan mobil-mobil mewah seperti di sinetron prime-time padahal pengemudinya masih menadah pada orang tua, ya, mobil Danu jauh dari itu. Cuma mobil merek pasaran yang aku tahu dia beli dengan segenap hasil kerja kerasnya.
"Hai," sapaku.
Danu mengerutkan dahinya, tapi tak urung membalas juga. "Hei, gimana hari ini?"
"Nyantai, udah lewat masa-masa paceklik. Cuma Pak Arven enggak masuk. Jadi kantor udah kayak pasar saking riuhnya. Katanya lagi bujukin anaknya yang jadi auditor di luar negeri itu biar balik dan ngantor di sini aja."
"Oh."
Danu cuma ber-oh?
What the hell?
Kemudian dia menjalankan mobil seakan enggak ada apa-apa. Danu justru ribut memaparkan target pekerjaannya untuk sebulan ke depan dan sibuk mencemburui jadwalku yang lagi longgar. Heh!
Memangnya cowok itu selalu menderita short term memory loss atau memang merasa enggak pernah punya masalah? Kalau begini ceritanya, aku bingung memulai dari mana. Soalnya di benakku, paling enggak Danu minta maaf begitu.
"Nu?" Aku sudah enggak tahan, ya. Soalnya enggak ada tanda-tanda pembicaraan tentang hal ini bakal dimulai.
"Hm? Apa, Yang?"
"Kamu enggak ada sesuatu yang mau dibahas gitu?"
"Perasaan dari tadi aku bahas sesuatu," jawabnya konyol. Oh... please, wahai kaum lelaki, jika kalian suatu saat mendapat pertanyaan seperti yang kulemparkan, sebaiknya kalian langsung pasang muka serius dan bertanya, 'Ada apa?' dan sejenisnya. Biar kami bisa mengutarakan uneg-uneg yang sudah menghimpit dada.
"Bukan soal kerjaan, Nu," jawabku dengan nada lelah. "Tapi, soal Ibu?"
"Ibu? Ibuku?"
Aku memutar bola mata. Kalau saja rongga ini ciptaan Cina, pasti bola mataku udah keluar dari sarangnya dan menancap di dahi Danu saking kesalnya.
Calm... calm, Mona. Marah-marah enggak bakal menyelesaikan masalah.
"Iya, Ibumu, Nu."
"Kenapa dengan Ibu?" tanyanya lagi. Mobil berhenti, terjebak iring-iringan lampu merah di perempatan Sudirman.
"Kemarin malam, beliau enggak mau ngomong sama aku?"
Duar! Bom sudah aku jatuhkan.
Danu mengabaikanku, mungkin berkonsentrasi menyetir pada kemacetan yang perlahan terurai. Salahku juga sih, enggak menunggu kami sampai di suatu tempat atau gimana, malah bertanya di tengah jalan raya. Tapi, kalau kalian jadi aku, pasti bisa memahami betapa ketidakpastian ini membuatku gelisah setengah mati. Sudah cukup, ya, aku bersabar sampai sore ini.
"Memangnya kamu dengar apa?" jawab Danu akhirnya.
"Nu," rutukku kesal. "Kamu dengar sendiri kan, beliau bilang ini bukan waktu yang tepatlah, enggak sekaranglah, itu maksudnya apa?" semprotku.
Danu mengangkat bahu.
Kutunggu beberapa menit, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Sumpah, ya, Danu ini maksudnya apa? Aku ngomong sepanjang tol Cipali, cuma dijawab dengan bahu? Sejak kapan bahu yang terangkat bisa jadi jawaban?
"Nu!"
"Sayang, Mona, dengar, aku juga enggak tau kenapa Ibu bicara gitu—"
"Kamu enggak nanya?" serobotku naik pitam.
Danu menghela napasnya. "Mona, dengar dulu. Mungkin Ibu capek, itu aja."
"Nu... argh," decakku kesal. "Itu bukan jawaban. Itu cuma perkiraan kamu aja."
"Terus aku harus gimana?" ujarnya membalik tanya.
"Ya... kamu tanya lah, kenapa Ibu ngomong begitu. Apa alasannya? Kenapa beliau enggak mau terima telepon aku atau apalah," lanjutku.
"Mona, napas dulu," tegurnya. "Aku enggak nanya sejauh itu, karena ya, aku pikir mungkin Ibu lagi capek, dan kalian kan bisa kenalan nanti-nanti."
"Nanti-nanti? Nanti-nanti maksudmu apa, Nu? Aku enggak suka, ya, hal-hal yang enggak jelas kayak gitu," dengusku. Sumpah, kalau saja ini udah deket sama rumah kontrakan, aku pasti jalanin skenario paling terkenal sedunia; turun dari mobil, banting pintu, langsung pulang jalan kaki. Merajuk!
Masalahnya, sepanjang analisisku terhadap sifat Danu, dia juga bukan orang yang mau menanggapi drama semacam itu. Bisa-bisa besok dia menjemput di depan kontrakan dan berlagak seolah enggak ada apa-apa. Malah menawarkan bubur ayam sebagai sarapan. Dan masalah enggak dibahas lagi. Enggak nemu titik penyelesaian. Rugi!
"Bagian mananya yang enggak jelas, Mon?" tanya Danu. Ada nada tinggi dari suaranya. "Ibu cuma bilang enggak sekarang. Bukan berarti beliau enggak mau. Kamu mikirnya apa sih?"
Mikirnya apa? Hello... Monarza Arkananta kepada Lentera Girindanu. Ibumu itu ogah ngomong sama aku, masih bisa bertanya mikir apa?
"Ya... tapi kan enggak begitu caranya. Beliau bisa say hi sebentar lalu pamit, kan enak," tudingku. Seperti yang Kemi bilang, ngomong basa-basi enggak bakal ngabisin energi banyak.
"Setiap orang kan beda-beda, Mon. Kamu jangan mikir kejauhan dulu, Yang."
"Ish! Tetap aja, aku ngerasa ditolak, Nu. Paham enggak sih kamu. Ditolak. Di-To-Lak!" Akhirnya aku keceplosan juga, kan. Ini bukan cuma soal penerimaan, tapi juga urusan harga diri, ya.
"Bukan ditolak, Mona. Cuma ditunda, apa salahnya?"
Kalau ada artikel yang berkata bahwa memahami cewek itu susah, kenapa yang terjadi sebaliknya? Bakar! Bakar aja majalah yang bilang begitu! Kenyataannya, membuat cowok mengerti itu lebih rempong ketimbang cewek yang minta bikinin candi.
Danu menggeleng-gelengkan kepala saat kami memasuki stasiun pengisian bahan bakar. Biasanya, Danu cukup membuka jendela untuk transaksi pembayaran, tapi kali ini dia turun dan berpura-pura mengobrol tak penting dengan petugas. Cih! Cari-cari waktu untuk mengarang alasan!
"Masih ngambeknya?" tanyanya setelah kami melewati sepuluh menit tanpa bicara. Tinggal satu belokan lagi menuju rumah kontrakanku.
"Aku enggak ngambek," jawabku. "Tapi, aku kecewa," lirihku pelan.
Tak terasa, air mata yang kutahan-tahan sejak pagi merembes juga. Cepat-cepat kuseka. Kubersit hidung pakai tisu yang tersedia di bagian atas mobilnya. Sumpah, sebenarnya enggak banget menangis di depan Danu. Asal tahu saja, pantang buatku menangis di depan cowok meskipun statusnya pacar. Kayak kurang strong aja gitu kesannya. Tapi, entah kenapa kalimat tegas Ibunya Danu terus terngiang, dan jujur saja itu membuat aku sangat tertekan. Penolakan, kegagalan, meleset dari rencana. Tiga kata yang benar-benar membuat perasaanku amburadul tak keruan. Emosi jiwa jadinya.
"Sayang, jangan nangis dong," bujuk Danu.
Astaga! Jadi, nangisku kelihatan?
"Kamu enggak paham!" jeritku. "Aku enggak nangis ya, cuma capek!"
"Ya sudah, kamu istirahat dulu aja. Kalau kamu capek," lanjutnya.
"Argh... kok kamu makin enggak paham sih, Nu," jeritku kesal. Susah payah air mata yang kusembunyikan tadi malah turun dari pipi. Ini mata kok enggak bisa diajak kerjasama di depan Danu sih?
Danu terpana.
"Lho, sekarang aku mau bicara baik-baik, kamu nangis. Aku suruh tenangin diri dulu baru bicara, kamu jerit-jerit. Mon, kamu umur berapa sih?" geramnya.
Ck! Dasar enggak peka.
"Aku enggak mau disuruh tenangin diri, yang ada aku enggak tenang-tenang. Kepikiran," semburku.
"Yang kamu pikirkan itu apa?" tanyanya dengan nada lelah.
Hell ya, bukan cuma kamu yang lelah, aku juga nyaris semaput gara-gara gegana.
"Itu tadi. Soal Ibu kamu yang menolak itu!"
"Ibu enggak nolak, Mon, mungkin beliau punya alasan sendiri kenapa kemarin malam enggak langsung terima telepon kamu," jawab Danu dengan nada membujuk.
"Yang aku kesal, kenapa kamu enggak nyari tahu! Setidaknya nanya gitu, kenapa Ibu enggak mau? Kamu nyadar enggak sih, Nu, ini berpengaruh sama rencana-rencana kita ke depannya."
"Rencana apa?"
Demi Tuhan, lemparkan sekarung pasir ke muka lelaki ini, kumohon.
"Perkenalan, adaptasi, habituasi, pernikahan dan lainnya. Kamu enggak berpikir hubungan yang kita jalani ini cuma mengalir doang? Begitu buntu, pisah jalan?" berondongku.
Danu memijat pelipisnya. Entah apa yang dia pikirin. Awas aja kalo Danu termasuk cowok yang berjengit mendengar kata penikahan. Awas aja, pokoknya!
"Nu?" tuntutku.
"Kalau aku enggak serius, ngapain aku bertahan deketin kamu selama setahun ini, Mona?"
Inhale... exhale. Sabar Mona!
"Tapi, bukti keseriusan kamu itu enggak berlanjut, Danu. Mana? Mana buktinya kamu serius? Ngenalin aku sama Ibu aja enggak beres," makiku.
"Yang, dengar dulu. Divanda keterima kuliah di Jakarta. Ibu bakal nyusul ke Jakarta juga setelah selesai resepsi Mbak Dinara. Kamu bisa ketemu langsung dan kenalan sama Ibu."
"Nyusul Divanda?" Divanda itu adik bungsu Danu.
"Nyusul dan pindah sekalian ke sini."
"Terus? Kapan itu?"
"Empat bulan lagi."
"Appaaaah? Jadi selama empat bulan ini enggak bakal ada perkenalan di antara aku dan Ibu?" berondongku. "Nanti gimana pas resepsi Mbak Dinara? Bisa-bisa aku—"
Ouch... siapa? Siapa yang mengundang kamu memangnya, Mon?
Jangan kegeeran, Mon. Kamu bukan siapa-siapa!
Aku menggigit lidahku kelu. Banyak rencana-rencana yang sudah kususun rusak total kalau begini caranya. Bayangan kami menikah tahun depan bisa-bisa mundur berapa lama lagi? Aku baru akan membuka mulut lagi ketika tatapan mataku bersirobok dengan Danu yang menelungkupkan kepalanya di setir.
Ugh!
Status quo. Enggak ada penyelesaian.
[Preferensi]
"Lo kan baru jadian, enggak usah buru-burulah."
Aku mendelik gara-gara tanggapan Kemi yang buatku terlalu santai dalam kondisi ini.
"Menurut lo, Lan? Kan gara-gara lo gue punya pikiran buat ngakrabin diri."
"Ya, aku kan menyarankan kenalan, soalnya kamu kan punya planning nikah cepet sama Danu," kilah Lanti, kentara banget enggak mau disalahkan. "Kalau memang menurut Danu tunggu Ibunya di Jakarta, ya enggak ada salahnya. Cuma empat bulan, enggak sampai empat belas tahun kayak Rangga sama Cinta juga kan?"
"Kalau sampai empat belas tahun itu namanya bego," rutukku.
"Oi... oi, jangan berani-berani ngehina Cinta di depan gue, ya." Suara Saga yang baru kembali dari ruang Pak Arven menyela. Pemuja si Mahmud Abda—Mamah Muda Anak Baru Dua yang jadi pemeran utama—di film fenomenal itu unjuk suara. Lelaki ini emang punya mimpi ketinggian, mendampingi DiSas di film AADC 3 yang mungkin rilis duapuluh delapan tahun lagi. "Selama empatbelas tahun, Cinta enggak stuck nunggu Rangga. Doi juga punya pacar."
"Belaaa... aja," celetuk Kemi. "Tapi, balik lagi ke situ juga kan. Ketemu bentar, jalan seharian, baper juga kan?"
"Tapi, jodoh emang enggak ke mana, kok," ujar Lanti unjuk suara.
Dari masalah aku dan Danu kenapa topik bergeser menjadi bittersweet relationship-nya si Cinta, sih?
"Ya... film begitu cocok buat orang kayak lo, Lan, sampai sekarang enggak move on-move on," sindir Kemi kejam.
"Sudah... sudah!" Saga menengahi karena Lanti sudah meringis. Tak ada yang nyaman membahas soal ini, terutama bagi aku dan Lanti. Lanti jatuh cinta setengah mati pada abangku yang enggak tahu diri. Semua tahu, tapi tetap tutup mata agar Lanti enggak bertingkah drama.
"Lo cuma belum ngerasain jatuh cinta, Kem," bisikku lelah.
"Gue akan, tapi cinta gue pakai mata, pakai logika. Bukan pakai rencana," beber Kemi sebelum dia meraih ransel dan pergi entah ke mana.
"Cinta apaan yang enggak pakai rencana? Failed tahu," semburku.
Note:
cewek itu suka pura-pura kuat, tapi kalau dianggap kuat dan baik-baik aja malah nangis. Halah *nunjuk diri sendiri*
Btw, di antara yang baca ada yang kuliah sosial atau profesinya peneliti gitu enggak? Ada yang mau ditanya :p
Dah gitu aja, salam dari saya yang masih baper liat berita Song Joong Ki berkeliaran di timeline T.T
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top