3. Comfort Zone?
"Temen yang paling deket adalah temen yang ngetawain lo paling kenceng saat lo jatuh, baru kemudian nolongin lo."
Aku selalu ingin tertawa setiap kali orang-orang membahas tentang comfort zone. Mereka beramai-ramai menyerukan bahwa kesuksesan hanya bisa diperoleh jika kita mau bergerak dan keluar dari zona nyaman. Termasuk sahabat-sahabatku. Mereka cenderung orang-orang yang mau mengambil risiko, tanpa persiapan, tanpa rencana saat melakukan sesuatu.
Tanpa harus keluar dari zona nyaman, aku bisa sukses memperoleh apa pun yang kuinginkan, kutargetkan. Tamat kuliah lebih cepat dari standar, mendapat pekerjaan langsung setelahnya, memiliki penghasilan bulanan yang terus meningkat seiring tahun, ditambah bonus-bonus yang membuat kepalaku semakin ringan. Lalu, kenapa aku harus mengikuti anjuran untuk keluar dari zona zaman? Hell no....
"Lagi ngapain, Mon?" Suara Lanti menyentakku dari lamunan. Gadis itu masih mengenakan masker dan berguling di sisiku seharian, lengkap dengan novel romansa menjual mimpi di tangan. See... salah satu orang yang gemar menggaungkan soal keluar dari comfort zone pun pada kenyataannya bergelung di dalam selimut nyaman. "Hari gini sibuk sama laptop."
"Mengecek email, ada beberapa tawaran pelatihan yang mau gue ajuin ke Pak Arven." Ketika masa-masa menjadi kelelawar sudah terlewati, saatnya bekerja dengan santai sambil menghabiskan uang kantor untuk mendapatkan pelatihan-pelatihan. Meskipun setiap kali peak season, batinku berteriak untuk berhenti saja dari pekerjaan ini, tapi saat-saat menerima kucuran bonus dan bisa pelatihan sambil jalan-jalan, secara otomatis aku melupakan masa-masa penjajahan. Yah.. mau gimana lagi, aku memang orang yang mudah memaafkan. Oh... jangan tertawa, itu hanya perumpamaan. Aku mudah mendendam tergantung keadaan.
"Ngapain lagi, sih? Ngeri tau kalau lo tambah strict sama jadwal dan perencanaan saking seringnya ikut pelatihan," tukas Kemi yang baru memasuki kamar seraya bergidik. "Kepintaran lo udah overload, Mona. Ckckck."
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin benar, menurut mereka aku selalu terkurung di zona nyaman, penuh persiapan, pintar memprediksi, dan minim kejutan. Namun, aku selalu berpikir memperlebar zona nyamanku. Meningkatkan skill dan pengalaman, memperluas wawasan yang kumiliki, ujung-ujungnya memudahkan untuk mencapai target demi target. Kalau dibilang aku hari ini berhasil dengan empat jempol, maka job yang akan datang paling tidak harus enam jempol—terserah sih pinjam jempol siapa.
"Kamu enggak jalan sama Danu, Mon?" usik Lanti lagi.
"Enggak, Danu lagi di Surabaya. Hari ini kakaknya lamaran," sahutku seraya mem-forward beberapa email ke atasan langsungku. Bisa saja aku menunggu hari kerja, tapi siapa tahu Pak Arven sedang memegang gadget-nya, dan voila... approval untuk pelatihan yang di Bali bisa segera turun. Dan aku bisa langsung menyusun itinerary.
Lanti melepaskan maskernya, dia terduduk di atas kasur. "Terus, kamu ngapain di sini?" pekiknya histeris. Aku melongo. "Calon kakak iparmu lamaran, bukannya seharusnya kamu ikut ke sana dan bantu-bantu persiapan?"
Hah?
Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Saling melempar pandangan dengan Kemi yang mengangkat alisnya. Sudah menjadi ikrar Lanti untuk menjadi perempuan yang baik dan terlihat layak di mata keluarga. Atau bisa jadi, dia keracunan bacaannya tentang sikap baik kepada keluarga calon mertua. Termasuk tergopoh-gopoh membantu persiapan lamaran calon kakak ipar, misalnya. Makanya otaknya sedang dalam mode 'calon menantu idaman mertua'.
Jemariku menari di depan matanya yang membulat. "Lo mikir apaan deh? Gue baru sebulan jalan sama Danu, dan gue ujug-ujug ngintil dia ke sana buat sok bantu-bantu, enggak pantas lah, ya?"
"Bukan soal enggak pantas, tapi mengingat rencanamu yang mau cepat nikah itu, kupikir kamu paling enggak kudu ngakrabin diri?" ujar Lanti lagi dengan jari membentuk tanda kutip.
"Paling-paling Mona punya teori berapa bulan seharusnya seorang pacar baru bisa nyamperin rumah orang tua pacarnya," sela Kemi kalem. Gadis berambut ombre itu menghempaskan diri di sisiku, membuat kasur kami melesak ke sisi kiri.
"Sumpah, Mon? Nunggu berapa bulan?" tanya Lanti.
"Enggak ada, ya," bantahku. "Cuma... gue kan belum kenal. Kalo main datang aja, kan enggak—"
"Ya... justru dengan kamu datang, kenalan kan, Mon? Lagian kamu udah kenal lama sama Danu."
Aku menggelengkan kepala. "Ini justru gue baru merintis, Rilanti Nansarunaiku yang kebanyakan baca mimpi di siang bolong," lirikku ke novel di tangannya. Lanti membalas dengan rengutan. "Danu janji buat ngenalin gue ama nyokapnya."
"Kayak bukan kamu yang biasa, bisa dijanji-janjiin tanpa kejelasan," tuding Lanti. Bukan cuma Kemi yang mengerutkan dahi kali ini. Ucapan Lanti membuatku memutar bola mata.
Berdasarkan artikel yang kubaca tadi subuh—sebelum Lanti bangun pagi—salah satu metode untuk mengakrabkan diri dengan keluarga pasangan yang terpisah jarak adalah lewat telepon. Zaman sekarang udah canggih, ya, ada internet, ada telepon. Bisa saja kan kalau Danu—
"Mon?" tanya Lanti lagi. "Kamu yak—"
"Lanti, honey. Kan kami bisa kenalan via telepon dulu. Tapi, mungkin mereka sekeluarga sedang repot karena acara kakaknya itu."
Lanti mengguman tak jelas. "Ketemu itu jauh lebih baik," bisiknya.
"Step by step, Lan, step by step."
Ujung bibirnya terangkat naik, tanda enggak setuju dengan kata-kataku. Aku enggak bisa, ya, main terobos aja gitu. Sok kenal sok dekat dengan orang tua pacarku. Apalagi, aku sudah bisa menerka kesibukan di rumah Danu. Acara memasak massal menyambut calon besan. Bisa mati aku kalau disuruh mengulek sambal, alih-alih memotong kentang. Ups... nanti dulu deh, ya.
[Preferensi]
Me: Sibuk?
Danu: Lagi rebahan di kamar Ibu. Kamu?
Me: Manja banget.
Danu: Kapan lagi bisa? Hehe.
Me: Boleh nelpon?
Enggak pake lama, ponselku bergetar tanda panggilan masuk. Ini salah satu yang kusuka dari Danu, cukup pakai sepik-sepik dikit, dia yang keluar pulsa. Kalau cowok kamu baca sinyal beginian aja enggak peka, langsung tinggalin aja. Itu artinya, selain kere dia juga durjana. Enggak paham kode wanita.
"Hai, capek banget ya?"
"Lumayan."
"Acaranya lancar?"
"Lancar, tinggal repot nyiapinnya aja lagi."
Oh. Tadi katanya di kamar Ibu, apa Danu enggak kepikiran ngenalin kami lewat telepon, ya? Dasar lelaki, urusan mengenali seluk-beluk tubuh pasangan aja juara.
"Masih di kamar Ibu?"
"Masihlah. Kapan lagi bisa manja-manja sama nyokap sendiri. Yang biasanya manjain lagi jauh, sih."
Terdengar batuk di seberang sana. Nah... tanda-tanda tuh, mungkin Ibunda Danu juga memberi kode buat kenalan. Mendengar rayuan manis anaknya di telepon. Sebagai ibu-ibu, pasti penasaran dong, ya, kalau anaknya manja-manja genit di telepon begini. Pasti lagi bicara sama 'seseorang' yang berarti.
"Nu, kalau aku kenalannya lewat telepon dulu gimana?" tanyaku setelah lama menimbang, karena tidak ada tanda-tanda inisiatif dari Danu.
"Maksud kamu?"
"Ya... ponselnya kamu kasih ke Ibu. Dan kita bisa kenalan, lalu ngobrol, lalu akrab, terus jadinya enak." Setelahnya, seperti ada tanda-tanda gangguan sinyal. Tidak ada sepatah kata pun dari Danu. "Nu, kamu masih dengar aku?"
"Eh, iya. Maaf, Yang. Tadi enggak terlalu kedengeran," jawabnya. Heran, Danu tinggal di kota besar kan? Masa sinyal aja masih suka hilang-hilangan.
"Oh, tadi aku bilang—"
"Mungkin tidak sekarang, Lentera Girindanu. Ibu rasa belum waktunya."
Suara tegas dan terdengar cukup jelas di telinga membuatku terpaku.
Itu? Maksudnya?
Aku terpaku.
Dari dulu, hanya satu hal yang terpatri di otakku: jika orang tua memanggil namamu dengan lengkap dan nada tegas, maka artinya siaga satu!
[Preferensi]
"Muka-muka lo kayak enggak betah diam karena kerjaan udah kelar."
Berkemeja slimfit warna hijau toska, Saga melintas di belakang kursiku seraya menentang secangkir kopi. Aroma cairan pekat kecokelatan yang ikut menusuk hidung membuat aku tersentak dari lamunan panjang.
Lamunan tentang berbagai kemungkinan. Tentang hal-hal yang Kemi sebut... kegagalan.
"Maksud lo, Ga?" Aku berbalik, menghadap penuh ke arah Saga.
"Ya, kayak lo kehabisan sesuatu yang bisa lo susun rencana ini itunya, dan bikin lo enggak hidup," oloknya. "Ya... nggak, Kem? Lan?"
Kedua cewek yang sok menyibukkan diri di kubikelnya mengangkat kepala, semua fokus ke arahku. Lanti mengerjap dua kali sebelum bicara.
"Lo oke?" tanya Kemi langsung. Lanti mengatupkan mulutnya.
"Karena Monarza yang gue kenal akan langsung membalas olokan gue," sambut Saga seraya menarik kursinya ke arah kubikelku.
"Ada yang enggak beres, Mona Sayang?" Giliran Lanti bersuara dan mendekat.
Dua pasang mata terarah kepadaku. Sementara Saga sibuk mengutak-atik rubik baru yang kemungkinan datang kemarin lusa lewat paket internasional. Dahinya berkerut tanda berpikir. Ah... benda begitu pakai dipikir, tinggal kasih spidol aja, ganti warna sendiri.
"Cerita ya, Mon," pinta Lanti. Gadis berambut sepunggung itu meletakkan kacamata.
"Tadi malam gue...," aku bingung memulai dari mana, "teleponan sama Danu."
"And then?"
"Seperti yang gue bilang kemarin—gue juga kepikiran omongan lo, Lan, soal kenalan dan ngakrabin diri—" Lanti mengangguk paham, "Gue nyaranin sama Danu buat kenalan via telepon dulu sama nyokapnya."
"Hm," gumam Kemi dan Lanti.
Sumpah, bukan gumaman begini yang aku harapkan. Aku lebih baik menerima berbagai macam teriakan akan kemungkinan jelek yang terjadi, sehingga aku lebih mawas diri dan bisa menyiapkan kondisi mentalku agar siap menerima kemungkinan terburuk.
"Yes!" Tiba-tiba seruan Saga mengejutkan, hingga aku kehilangan kata-kata yang ingin aku utarakan. Dia mengacungkan rubik segi delapan yang sudah seragam warnanya di setiap sisi.
"Anjir, Ga! Kita lagi dengerin Mona curhat, elo ngacauin aja. Udah, Mon, abaikan. Terus?"
"Ya... Danu belum ngomong apa-apa gitu, terus tiba-tiba gue denger suara ibunya."
Ada jeda lagi.
Lanti menelan ludahnya. "Beliau bilang apa?" lirih Lanti.
"Intinya... enggak usah dulu, belum waktu yang tepat," bisikku lirih.
"What?" Kemi membelalakkan mata.
"Ya... menurut nyokapnya, tadi malam itu bukan waktu yang oke buat gue kenalan sama beliau. Padahal gue cuma mau nyapa aja," lirihku pelan. Aku enggak bisa lagi menyembunyikan kegalauan di depan mereka. Bibirku perih akibat kugigit kencang. "Gue salah, ya?" rintihku pelan.
"Jadi lo ditolak? Padahal belum ketemu juga? Wah—"
"Saga!" Geplakan menyusul makian menghujani Saga yang mengaduh minta ampun.
"Gue kan bicara berdasarkan faktanya, Kem, Lan. Kok ditabok?" protesnya.
"Itu karena lo ngomongnya enggak pake otak," bentak Kemi.
"Ya... iyalah, gue ngomong pake mulut."
Lanti mendelik tajam, membuat Saga dan Kemi gencatan senjata.
"Hm... kamu sebelum jadian sama Danu, enggak nanya-nanya dulu ibunya tipe yang kayak gimana, Mon?" ungkap Lanti hati-hati. "Maksudku, siapa tau beliau tipe yang mau kenalan langsung."
Aku menggeleng.
Salahku! Ini salahku!
Kenapa aku enggak berpikir sampai ke situ?
"Atau masih kecapekan," sambar Lanti. "Kakaknya kan baru lamaran."
Aku mengangguk ragu.
Tidak ada yang terjadi setelahnya. Saga menyingkir dan menghirup kopinya di sisi jendela. Aku membuka buku planner berwarna hijau toska, sebuah agenda yang kuperuntukkan untuk catatan-catatan penting di luar pekerjaan. Menekuri satu persatu hal-hal yang kurencanakan untuk hubunganku dan Danu.
"Tapi, ngomong di telepon say hi kan enggak butuh lama, enggak bakal nambah capek juga." Tiba-tiba Kemi bersuara, membuat semua menoleh ke arahnya. "Tinggal ngomong, 'hallo ini ibunya Danu,' kelar urusan."
"Kem!" peringat Lanti.
"Ups! Sorry, Mon, bukan bermaksud nambah-nambahin galaunya lo. Cum—"
"Kita kan enggak tau gimana ibunya Danu, Kem. Jangan pakai standar kamu yang sanggup teleponan sampai subuh, dong," sela Lanti. "Mungkin aja, beliau benar-benar capek dan lagi banyak pikiran. Anaknya mau kawin kan yang paling rempong ortunya."
Aku mengangguk.
Meski ragu.
"Ya sudah, daripada pusing begini, lebih baik tunggu Danu dan langsung tanya," ujar Saga menengahi. "Kapan dia datang?"
"Siang ini," bisikku. "Penerbangan pukul dua."
"Sabar ya, dear, jangan mikir macem-macem dulu," bujuk Lanti seraya meremas pundakku.
Ketika mereka semua beranjak ke kubikel masing-masing, diam-diam aku mencoret sebuah kalimat dalam agenda.
29/3 Kenalan dengan Ibu, via telepon.
Coret.
Bukan hanya soal penolakan yang membuat aku gelisah, tapi kegagalan ini membuat aku berada dalam kondisi ketidakpastian.
Ketidakpastian kapan aku bisa berkenalan dengan beliau, dan yang paling membuatku pusing adalah ketidakpastian penyebab beliau menyuarakan penolakan. Paling enggak kalau emang beliau menolak dan tahu kenapa beliau menolak, aku bisa merencanakan sesuatu untuk memperbaiki.
Kalau enggak tahu begini?
Demi hal apa pun yang pernah kulewati, aku paling tidak suka ketidakpastian seperti ini.
Note:
Tadi itu enggak ada niat update sebenarnya, tapi ya sudahlah, saya update karena sedang merayakan hari patah hati internasional. *loh
Drakor addict semacam saya pasti udah denger kalo Kapten Yo Shi Jin mau merit sama Dokter Kang (Song Joong Ki dan Song Hae Kyo yang cakepnya semena-mena itu). Euh... saya sih sebenarnya mendukung, ya. Mereka pasangan yang sama baiknya. Sama-sama enggak pernah ada drama apalagi skandal.
Cuma... yha... berkurang lagi stok 'Oppa milik Bersama'. Perih juga ternyata. T.T
Potek ati dedek, udah gitu aja. Selamat menikmati dari saya yang sedang patah hati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top