26. Awal yang Baru

Bersikap penuh empati adalah hal yang harus dilakukan pertama kali saat menghadapi korban trauma. Begitu tulisan yang tertera di artikel yang kubaca di Mbah Google.

Empati? Bagaimana caranya?

Setahuku, empati adalah merasakan penderitaan korban layaknya mengalami sendiri. Lebih dalam daripada simpati. Bagaimana caranya aku bisa merasakan?

Lha... lebih sering aku menganiaya orang lain, ketimbang aku yang diinjak-injak. Duh!

Apa Danu juga trauma, ya, sama kelakuanku yang sering menganiaya dia?

Hus Mona! Bukan saatnya mikirin begituan.

Kudekati Mbak Dinara yang sedang melamun di teras. Berjingkat kecil agar tidak menimbulkan kejutan.

"Ehem... ehem!" Aku berdeham dua kali. Halah... Mona, memangnya kamu sedang dalam mode ingin menggoda?

Mbak Dinara menoleh, kemudian menggeser tubuhnya sedikit. Mungkin sebagai isyarat agar aku duduk di sampingnya?

Siapa tahu, kan, ya?

"Capek banget, ya?" tanya Mbak Dinara.

Ya... sebetulnya aku pengin jawab 'banget'. Bayangin saja, setelah pontang-panting dicecar pertanyaan oleh tim pemeriksa selama delapan jam, kemudian aku langsung terbang ke Surabaya tadi malam bareng Danu. Bukan capek lagi rasanya, ambruk beta!

"Lumayan, tapi sudah mendingan banget. Pulas ketiduran semalam," jawabku.

Oh... ya, buat kalian-kalian yang kepo dan mau tahu sesuatu yang bikin aku nyengir sampai telinga. Tadi malam, entah karena saking capeknya atau memang karena beliau yang meminta aku datang, aku bisa bobok nyenyak di kamar Divanda. You know? Aku diizinkan ikut nginap di sini dan bukannya ditendang ke hotel terdekat. Danu sih tetap di kamarnya. Enggak ada menyelinap-nyelinap kurang ajar tengah malam begitu.

Halah... Mona! Fokus! Kembali ke topik! Tunjukkan kalau kamu ikut sedih sama kejadian yang menimpa Mbak Dinara!

"Pasti berat banget rasanya ya, Mbak," tuturku seraya mengusap pundaknya. Berharap elusan seperti ini bisa memberi kekuatan seperti yang kubaca di novel-novel milik Lanti.

"Entahlah," jawabnya pendek.

Terus aku bego dong, kudu ngelanjutin apa?

Soalnya bayanganku Mbak Dinara bakal nangis tersedu-sedu lagi dan aku berusaha menggumamkan beberapa kata menenangkan. Kalau dia jawab 'entahlah', aku kudu piye?

"Semua pasti bisa terlalui, Mbak." Standar banget kata-katamu, Mon!

"Iya," jawabnya cepat. "Pasti berlalu."

Kemudian kami berdua sama-sama menerawang jauh. Mungkin Mbak Dinara mengenang peristiwa entahlah aku juga enggak paham, dan aku menerawang bego, gara-gara kehabisan kata-kata.

"Untung saja... belum bertahan lama. Jadi... tidak banyak yang tersakiti," bisikku.

Mbak Dinara diam. Kemudian ia menoleh ke arahku. "Mona, lama atau sebentar, sebuah perpisahan pasti selalu menyakitkan."

Aku terhenyak. Maksud aku bukan begitu. Gini lho, kalau Mbak Dinara diam dan menahankan semuanya sendiri tanpa Danu atau Ibu tahu, efeknya bakal lebih parah kan? Bisa-bisa biru di mana-mana akibat pukulan. Begitu. Cuma... gimana menyampaikannya, ya?

"Em... maksud aku, untung Mbak segera bilang. Kalau Mbak diam, mungkin bakal lebih banyak di—" Aku enggan sendiri menyebutkan kata 'tampar' dan sebangsanya itu.

Mbak Dinara menarik napas. "Harus! Harus bicara," ujarnya keras. "Kamu tahu, Mona? Kebanyakan korban KDRT mengalami penyiksaan terus-terusan karena mereka tutup mulut. Malu."

Aku menggangguk. Emang bener kan?

"Padahal, begitu mereka terkena pukulan yang pertama dan berusaha memakluminya, itu sama saja dengan pernyataan mereka siap menerima pukulan kedua, ketiga dan seterusnya."

"Hm... hm...."

"Laki-laki yang benar-benar menghormatimu sebagai wanita, takkan pernah menyakitimu secara fisik maupun kata-kata. Kalau bertengkar karena beda pendapat di antara pasangan itu, biasa. Tapi, dia enggak akan sengaja menyakitimu."

"Iya, Mbak."

"Dari dulu Ibu selalu berpesan pada kami anak-anaknya. Kalau pasangan kami melakukan dua hal, yaitu memukul dan selingkuh, maka segera tinggalkan. Karena hal seperti itu enggak layak diberi kesempatan kedua!"

Kok jadinya beda dengan bayanganku sih? Mbak Dinara bukannya sedih tersedu-sedu, tapi kok kayaknya kuat dan tegar banget.

"Ibu selalu mendidik kami seperti itu. Sama seperti ketika beliau meminta Danu untuk selalu memperlakukan perempuan dengan istimewa. Karena jika dia mengecewakan pasangannya, sama artinya dia mengecewakan Ibu, aku dan Divanda."

Tenggorokanku rasanya tersekat. Aku bingung harus bicara bagaimana? Karena jujur saja, selama ini sosok Ibu di benakku itu sangat jauh dari hal-hal seperti itu. Yang kutahu hanya, beliau enggak suka aku dekat-dekat Danu. Kalau tahu begini—

"Mona, Dinara, sarapan sudah siap. Yuk, ke dalam dulu." Tiba-tiba suara yang kukhayalkan terdengar di telinga. Aku sampai menahan napas.

"Sebentar lagi, Bu," jawab Mbak Dinara.

Aku sudah deg-degan aja, karena Ibu akhirnya ikut-ikutan duduk di sampingku. Bertiga kami menatap ke kejauhan dengan pikiran masing-masing. Tapi, aku hampir semaput karena bersandingan begini. Gugup banget.

Deh... Mona! Biasa juga menghadapi klien yang seperti apa pun kamu juara!

"Danu belum pulang?"

"Eh?"

"Belum," jawab Mbak Dinara. "Mungkin masih asyik keliling komplek."

Kok aku jadi bego?

Mungkin karena menyadari raut kebingungan di mukaku, Ibu meneruskan, "Danu biasanya keluar olahraga tiap pagi. Lari-lari di sekitar sini."

"Oh," sahutku malu. Astaga... berarti aku kebo banget, bobok sampai enggak tahu kalau Danu udah bangun dan menghilang.

Lah... jadi, di sini cuma kami bertiga nih?

Ya Tuhan... Danu tega banget. Kalau aku salah ngomong atau malah jadi kayak patung, gimana?

"Mona," panggil Ibu. Belum-belum aja, aku sudah deg-degan. Ini berasa seperti pemeriksaan di kepolisian kemarin. Duh! "Maafin saya, ya."

Eh?

"Ehm... anu, Bu... anu...."

"Saya benar-benar enggak bermaksud menentang kamu dan memilih Ceria."

Terus aku harus menyahuti apa?

"Siapa pun sebenarnya perempuan yang Danu bawa, saya selalu seperti itu," ungkapnya pelan. "Saya... hanya ketakutan karena...," beliau terdiam, "saya selalu takut kalau pasangan anak-anak saya tidak bisa menjaga mereka sebaik saya."

Aku terdiam. Dan... Ibu menangis.

"Bu," panggil Mbak Dinara. "Aku enggak papa, jangan sedih lagi."

Ibu menyusut air matanya. "Kalian akan tahu rasanya kalau suatu saat sudah menjadi Ibu. Anak-anak yang dijaga dengan sepenuh hati, rasa-rasanya... tidak rela kalau ada yang menyakiti."

"Iya, Bu, iya," rintihku.

"Saya cuma ketakutan, Mona. Jujur saja, saya takut banget saat bertemu kamu pertama kali. Kamu seolah dominan dan akan merebut anak laki-laki saya. Sikap yang bodoh, saya tahu. Namun, ketakutan itu—"

"Bu... udah, Bu," bujuk Mbak Dinara.

"Saya paham, Bu," bisikku. "Saya memang salah juga. Saya ngerasa bisa ngelakuin segalanya. Tapi, Bu... saya cuma pengin membahagiakan Danu. Karena melihat Danu bahagia, saya juga senang." Enggak perlulah aku bilang kalau aku paling bahagia saat Danu naik jabatan dan sebagainya.

"Iya. Saya menyadarinya saat musibah menimpa Dinar. Kamu juga sedang kesulitan kan?"

Aku mengangguk.

"Saat itu, Danu benar-benar galau. Dan saya ketakutan setengah mati kalau dia berbalik arah untuk mendatangi kamu."

"Nyatanya enggak," jawabku, sebisa mungkin menyembunyikan rasa keki. Jujur saja, aku cukup kesal dan belum berniat melenyapkan kekesalan itu kalau ingat.

"Iya, di situ saya tahu, kalau Danu masih cukup logis untuk mengambil keputusan. Menyelamatkan kakaknya, lalu kembali ke kamu."

Aku terhenyak.

"Di situ saya paham, kalau sejauh apa pun Danu pergi, dia akan tetap kembali ke kamu."

"Oh... oh."

"Sebabak belur apa pun adikku, sehancur apa pun dia, tetap saja begitu memastikan kami aman, dia terbang kembali ke kamu, Mona," ucap Mbak Dinara.

Aku... kehilangan kata-kata.

"Sa... saya berterima kasih sama itu, Bu, Mbak Dinara," lirihku.

Kami sama-sama terdiam setelahnya. Aku larut dalam pikiranku sendiri, mencoba memahami pola pikir keluarga Danu yang sebelumnya enggak pernah sama sekali kukira. Aku enggak menyangka aja, kalau ternyata Ibu ketakutan begitu.

Atau mungkin... karena aku belum pernah di posisinya?

Atau... bisa jadi aku pun nanti akan ketakutan saat anakku beranjak dewasa dan menemukan pasangannya?

"Semua itu sudah ada posisinya masing-masing, Bu, Mbak Din, Mona Sayang." Aku menengadah dan menemukan lelaki yang kusayangi itu tengah mengelap keringat dengan handuk kecil. "Danu bakal selalu sayang sama Ibu, Mbak Din, Divanda, dan akan selalu berusaha ada untuk kalian. Kehadiran Mona enggak bakal mengubah itu, Bu. Percaya sama Danu," sambungnya. Aku enggak tahu sejak kapan dia ada di sini dan mendengarkan perbincangan kami.

"Nu?"

"Jadi, Ibu terima, ya, Mona dalam kehidupan Danu. Eh... bukan, dalam kehidupan kita?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top