24. Namanya Harapan

Apa kalian pernah mengalami kondisi ketika kalian ingin sekali banyak bicara menumpahkan segalanya tapi justru enggak bisa?

Kalau jawabannya: ya, maka kalian pasti mengerti maksudku.

Lidahku sudah gatal ingin memberondongkan berbagai pernyataan, kesakitan, makian. Namun, rasanya tetap tertahan di kerongkongan. Aku enggak mengerti kenapa. Entahlah....

"Maafin aku." Danu sudah berulangkali mengucapkannya. Aku juga sudah berkali-kali ingin menyahuti, namun enggak bisa. Enggak tau, kayaknya rahangku sedang kram dan tak ingin bicara.

Peristiwa-peristiwa beberapa bulan terakhir seolah diputar dengan cepat di benakku.

Aku yang merasa bahagia jadian dengan Danu.

Aku yang mulai menyusun hal-hal yang kuinginkan bersama Danu.

Aku yang melakukan langkah-langkah yang menurutku semakin mendekati tujuanku untuk bersama Danu.

Aku memejamkan mata, merasakan sesuatu yang enggak nyaman di dada. Sesuatu yang dulu selalu ada setiap aku berhasil mencapai tujuan, sekarang malah hilang dan hampa.

Apa aku terlalu ambisius?

Apa aku terlalu memaksakan?

Dan... hal yang paling aku takuti: apa aku menyakiti Danu?

Sebutir air mata lolos lagi dari pipiku. Dengan cepat Danu menyeka. Dia hanya diam, tak memaksaku untuk bicara.

Oh... sungguh, apa yang telah kulakukan pada Danu?

Aku... sakit melihatnya menatapku dengan pandangan prihatin. Seolah aku benar-benar terpuruk dan berkubang dalam kegagalan.

Gagal? Ini namanya kegagalan?

Apakah aku gagal?

Aku menghela napas. Lagi-lagi terdengar suara Danu, "Yang, aku bakal nemenin kamu di sini sampai kapan pun. Kamu maafin aku, ya?"

Lidahku lagi-lagi kelu. Kegagalan? Apa itu kegagalan?

Apa karena segala hal yang kurencanakan akhir-akhir ini tidak mencapai hasil yang seharusnya? Apa yang salah? Apa yang salah?

Lelehan air mata tak bisa kutahan lagi. Aku tersedu sedan di bahu Danu. Dia menepuk punggungku, menggumankan beberapa kata bahwa semuanya akan berlalu, semuanya pasti bisa diselesaikan.

"Aku akan selalu di sini," bisiknya. "Kamu tenang aja."

"Nu," rengekku. Kata-kata pertama yang bisa terucap.

"Mona, Sayang," balasnya. Ia menciumi kening dan kedua pipiku. "Maafin aku, ya. Aku telat ke sininya. Aku janji semuanya akan baik-baik aja."

"Aku takut, Nu."

"Enggak papa, kamu jangan takut. Kamu enggak salah. Pasti ada jalan keluarnya."

"Nu...," rengekku lagi. "Aku benar-benar enggak tahu harus gimana."

"Kuat, kuat, Sayang. Pasti bisa. Aku sudah bicara banyak sama Saga. Dia bilang kantormu sedang mengusahakan jalan keluarnya."

"Aku salah ya, Nu? Aku terlalu bangga sama pencapaianku selama ini. Makanya teledor dan—"

"Ssstt... udah... udah. Aku juga salah, banyak bawa masalah ke kamu. Sekarang bukan itu yang penting. Kita hadapi ini sama-sama, ya."

"Aku ngerasa... selama ini terlalu egois dengan rencana-rencana aku. Ngerasa aku enggak bakalan tergelincir. Ngerasa semuanya bakal sempurna. Sampai aku maksa-maksa kamu juga," ucapku akhirnya. Bersamaan dengan itu, aku enggak lagi merengek, aku nangis hebat, tersedu-sedu dalam dekapan Danu.

Danu membiarkan kemejanya basah dengan air mata dan ingusku. Dia menumpangkan dagunya di kepalaku. "Sudah... sudah. Aku juga minta maaf, enggak bisa selalu ada pas kamu butuh aku. Tapi, kalau aku bisa... aku pasti enggak bakal ninggalin kamu sendiri kemarin itu. Aku benar-benar—"

Danu kehilangan kata-kata. Kesenyapan lagi-lagi menggantung di antara kami. Hanya sesekali isak tangisku terdengar. Tapi, entah kenapa hatiku sedikit lebih lega meskipun aku tahu masalahku belum selesai. Masih jauh dari selesai.

Aku menghela napas, menegakkan diri dari dekapan Danu. Berulang kali menarik udara lewat hidung dan membuangnya dari mulut. Berharap otakku lebih jernih dengan pasokan oksigen yang mencukupi. "Jadi... Mbak Dinara, gimana?"

Danu membalas pertanyaanku dengan pijitan di sisi kepala. Kemudian, dia menatap ke satu titik di kejauhan. Giginya bergemeletuk menimbulkan bunyi yang tak nyaman di telingaku.

"Mbak Dinara sedang sakit, sehingga menolak ikut ke sebuah acara. Lalu—"

Aku menarik napas sejenak, tahu bahwa ini adalah bagian yang sulit untuk Danu utarakan. Berulangkali dia meremas tangannya. Kekesalan dan amarah jelas bisa terlihat.

"Suaminya marah dan mukulin dia. Bersyukur dia sempat kabur ke kamar dan mengunci pintunya. Menelepon Ibu. Yah... siapa yang tidak panik? Ibu nangis-nangis saking khawatirnya. Terus, Ibu dan aku bergegas ke bandara."

Aku membayangkan ketakutan yang dialami Mbak Dinara. Mau tidak mau membandingkan dengan kondisiku saat ini. Bagaimana kalau saat itu suaminya tambah beringas dan memukulinya sampai mati? Bagaimanapun, setidaknya aku enggak sendirian. Ada sahabat-sahabatku yang siap menjagaku. Ah... Mona... kenapa kemarin kamu seperti buta?

"Kenapa enggak minta bantuan tetangga terdekat? Maksudku, menunggu kalian sampai kan butuh waktu. Bukannya aku berharap Mbak Dinara kenapa-napa, hanya..."

"Aku paham maksudmu," bisik Danu. "Aku benar-benar lega kamu masih mengkhawatirkan Mbak Din." Dia menggenggam tanganku erat. Mata kami bersitatap. Di detik itu aku tiba-tiba paham kalau Danu sama lelah dan kalutnya sepertiku.

"Aku... aku benar-benar kalut kemarin, Nu, makanya bicara seperti itu."

Danu mengangguk. "Kamu tahu, Yang, bagi aku benar-benar dilema meninggalkanmu di sini sementara aku harus menyelamatkan Mbak Dinara. Benar-benar pilihan yang sulit. Dalam beberapa waktu, aku hampir saja membanting setir dan berbalik ke arahmu. Tapi, kamu tahu enggak, kalau prahara rumah tangga cenderung membuat tetangga tutup mata. Mereka akan menulikan telinga karena tak ingin dibilang ikut campur," keluh Danu.

"Hm...."

"Beda dengan peristiwa diselingkuhi, dikhianati. Biasanya orang akan satu suara mencerca. Tapi, kalau urusan berantem di rumah tangga, orang cenderung enggan mencampuri. Makanya...," Danu menghentikan kata-kata, "makanya aku memutuskan menyelamatkan Mbak Dinara. Bukan berarti kamu enggak penting, Mon, tapi—"

"Aku paham," balasku kelu. "Waktu itu aku benar-benar panik dan aku... takut, Nu. Makanya ngomong macam-macam."

"Aku juga."

Kami sama-sama berdiam lagi. Menatap detik demi detik yang berdetak mengisi keheningan. Sudah pukul tiga siang dan kami sama-sama enggan bergerak dari sini.

Mataku tertumbuk lagi pada kantung kertas paket Lanti. Tanpa bisa kutahan, lolos desahan dari mulutku.

"Kenapa, Yang?"

Aku terdiam, enggak tahu harus bicara apa.

Mona, berpikirlah yang pintar! Jangan main drama dengan bilang kalau Danu lebih baik bersama Ceria atau sejenisnya. Jangan sampai kamu dikatain Kemilau bego karena menambah-nambah masalah lagi.

Tapi, aku enggak bisa. Aku merasa selama ini—

"Nu," panggilku. "Ada yang mau aku tanyain."

"Apa?"

Sejenak aku ragu. Benar-benar ragu. Karena aku sendiri takut akan jawabannya.

Namun aku tahu, aku enggak bisa terus egois seperti ini. Buktiknya, aku juga bisa salah, aku juga bisa gagal.

"Kamu... masih ngerasa nyaman enggak sama-sama aku?"

[ Preferensi ]

Menjelang petang saat kudengar deru mesin mobil beriringan di luar membuatku kembali waspada.

Astaga, Mona! Pikiranmu selalu ke arah polisi dan penangkapan saja. Kugeser sedikit tirai dan menemukan mobil Saga dan entah mobil siapa. Kuperhatikan sebentar, siluet empat orang berjalan beriringan memasuki pagar. Saga, Kemi, Lanti dan... Bos Arga.

Segera kubenahi rambut sebisa mungkin. Kubuka pintu untuk mereka.

"Mona... udah makan, Dear?" Pertanyaan pertama Lanti. Gadis itu mengacungkan kotak yang pasti berisi makanan.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Tadi aku makan sedikit setelah Danu pulang.

Melihat Arga yang melonggarkan dasinya membuatku kepeningan yang tadi sudah enyah kembali lagi. Aku... benar-benar takut mendengar kata-kata dari bibirnya. Dengan gampangnya dia mengempaskan diri di sofa ruang tamu, diiringi delikan Kemi.

"Iya, emang kecil rumah kita. Kenapa?" ucap Kemi dengan suara lantang.

"Saya enggak bilang apa-apa," balas Arga.

"Mata Pak King sudah ngomong gitu," jawab Kemi galak.

Saga menggeleng beberapa kali, kemudian membekap Kemi yang masih akan mengoceh lalu menyeretnya ke belakang. "Pak Arga mau ngomong sama lo, Mon," ucapnya sebelum tenggelam dengan protesan Kemi.

Aku enggak punya pilihan lain. Jadi, aku duduk saja di sofa berseberangan sama Arga.

"Iya?"

"Saya enggak mau bicara basa-basi, Mona. Tapi, urusan ini enggak sesederhana yang saya pikir."

Deg!

Aku bakal masuk penjara!

"Kalo enggak mampu ngelarin, kita cari orang lain yang bis—huft huft!" Kata-kata Kemi terputus karena dibekap Saga. Kalau dalam keadaan biasa, aku pasti akan tertawa melihat tubuh mungilnya meronta dalam pitingan Saga.

"Saya sudah menelusuri yang terjadi, kronologi dan siapa saja yang terlibat. Dan setidaknya... saya sudah bisa melobi bahwa posisi kamu hanyalah sebagai saksi. Bukan salah satu di antara mereka."

Aku menahan napas.

"Gitu, dong!"

"Berisik, diem kenapa, Kem!"

"Mungkin kamu akan dipanggil untuk dimintai keterangan. Jalani saja dan ikuti prosedurnya. Kita lihat bagaimana perkembangan kasusnya."

Oh... oh....

"Saya juga sudah siapkan tim pengacara untuk kamu jika diperlukan. Yang harus kamu lakukan cuma bekerjasama dengan tim pemeriksa."

Aku mengangguk paham. Jelas sekali, pemecahan masalah ini belum menemukan titik terang. Tapi, setidaknya statusku bukan lagi sebagai tersangka atau apa pun istilahnya.

"Memang belum pasti, tapi... saya yakin kalau tim pemeriksa bekerja dengan baik, kamu akan terbukti tidak bersalah, Mona."

Ya... dulu aku memang sangat membenci ketidakpastian. Sekarang pun sama.

Namun, yang baru aku sadari, bahwa ketidakpastian pun masih mengandung harapan.

Harapan.

Sesuatu yang bisa membuat manusia bertahan dalam kewarasan.

Akhirnya... aku mengerti bahwa di antara ketidakpastian yang Danu tawarkan tadi siang, secuilnya masih menyimpan harapan.

"Ah...." 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top