23. Menyerah Kalah

"Gue boleh bilang lo bego banget kan saat ini?"

Kemilau mendengus berkali-kali, menyumpah-nyumpahi kelakuaku yang menurut dia di luar 'Monarza'. Sambil membungkuk membereskan pecahan kaca, gadis itu masih merepet tentang kebegoanku.

"Terserah," ucapku kelu.

"Lo lagi ada masalah, bukan berarti harus ditambah-tambahi lagi."

"Gue tahu, gue cuma—"

"Nyari pelampiasan lain buat ikut disalahkan, biar hati lo sedikit lebih lega."

Aku enggak menjawab lagi. Kemi sudah mengangkat alat yang dia gunakan untuk membersihkan kerusakan yang kulakukan. Lanti masuk dan mengangsurkan segelas air yang kuminum tandas. Namun, enggak juga bisa membuat hatiku lega. Pembohong yang bilang kalau kita sedang marah, terus berteriak akan mengurangi rasa sakitnya. Bohong! Buktinya aku enggak. Sama sekali.

"Sabar ya, Dear. Saga dan Arga lagi menangani masalah ini."

Sabar subur mati dalam kubur! Apanya yang bisa sabar kalau terancam dibui dengan kesalahan yang tidak kulakukan. Namun, aku cuma bisa mengangguk. Memang apa lagi? Kalau ngamuk-ngamuk ke Lanti nanti malah tambah runyam. Bisa-bisa aku menganiayanya tanpa sadar.

"Mau tidur? Apa ditemani?" tanya Lanti prihatin.

Aku enggak menjawab kali ini. Aku aja bingung mau gimana. Kepalaku sakit banget serasa mau pecah. Mataku berat. Tapi, apa ya, pernah enggak merasakan kondisi di mana kepala cekat-cekit banget. Mau tidur enggak bisa. Seolah otak berputaaar terus memikirkan berbagai hal.

Pintu kamar menjeblak terbuka.

"Kenapa lagi?" Saga dengan rambut berantakan dan kaus oblong lusuh memberondong.

"Mona berantem sama Danu lewat telepon, terus ngelempar hapenya ke kaca," tuding Kemi. "Pecah berantakan."

Saga geleng-geleng kepala. Ia duduk di sisi kananku dan meraih kepalaku agar bersandar di bahunya. Dia cuma diam sambil menepuk-nepuk punggungku pelan. Lanti meremas tanganku. Sedang Kemilau menarik kakiku keluar dari selimut dan memberikan pijatan pelan. Rasanya enak, sedikit lebih... apa ya, berkurang sedikit sesaknya.

Begini saja. Diam dalam keheningan.

Melegakan. Tanpa ada yang menghakimi atau menyalah-nyalahkan aku.

Menyalah-nyalahkan? Barusan kamu menyalah-nyalahkan Danu atas kondisimu, Mona!

"Ugh."

"Kenapa?"

Aku terdiam lama. Menatap satu persatu bola mata ketiga sahabatku.

"Gue takut," isakku. "Gue salah."

"Kita semua tahu lo enggak sengaja ngelakuinnya, Mon. Arga sedang mengurus semuanya. Lo bakal baik-baik saja," janji Saga.

"Harus. Dia harus ngelarin semuanya," ucap Kemi. "Kali ini gue bakal mohon-mohon kayak gimana juga, asal Arga bisa mengeluarkan lo dari masalah ini. Dianiaya mulu juga gue rela."

"Jangan sembarangan!" tegur Saga. "Enggak ada yang boleh menyakiti kalian."

Aku terdiam dan mulai meringkuk dalam dekapan Saga. Napasku mulai lebih teratur dan kantuk menyerang. Kulirik pergelangan tangan Saga, pukul tiga dinihari terpancar dari penunjuk waktu yang bersinar dalam gelap. Aku menarik napas... dan berusaha melupakan segalanya.

[ Preferensi ]

Teriknya matahari yang menyelinap melalui kaca yang tidak tertutup tirai membangunkanku. Aku bangun dengan helaan napas besar yang lagi-lagi terasa menyesakkan. Kulirik jam di atas nakas, sudah pukul sebelas siang lewat sedikit. Aku turun dan mencari sendal rumahku, tersaruk-saruk ke kamar mandi.

"Aku kenapa?" tanyaku pada orang di balik cermin.

Rambut berantakan, kantung mata menebal dan hitam, muka kuyu seperti kehilangan segalanya. Helaian hitam itu kusanggul seadanya dan bergerak ke luar kamar. Namun, yang kutemui hanyalah sepi. Sepertinya ketiga sahabatku sudah pergi bekerja.

Lagi-lagi aku merasakan sesak yang luar biasa.

Kusingkap penutup di meja makan. Aku menemukan roti bakar yang telah diolesi selai kacang. Di sampingnya ada tulisan tangan Lanti yang rapi di sebuah notes.

Kita ke kantor sebentar. Jangan enggak makan. Kalau ada apa-apa langsung telepon.

Dengan menahan air mata aku menggigiti tepian roti. Entah kenapa rasanya susah sekali untuk menelan. Kugelontorkan segelas air untuk membantu. Bukan salah roti atau selainya. Namun, dalam kondisi begini siapa yang bisa makan?

Ketukan di pintu menyadarkanku yang tenggelam dalam lamunan. Siapa?

Aku langsung waspada. Benakku dipenuhi pria berseragam cokelat lengkap dengan surat penangkapan di tangan. Aduh!

Aku beringsut dan mengintip melalui kerai. Ternyata pria berseragam sebuah jasa pengantaran. Ah... bisa jadi ini surat perintah penangkapan yang dikirim. Ngawur! Mana ada surat begituan dikirim via jasa pengiriman.

Kubuka sedikit pintu dan menemukan bahwa ada kiriman yang ditujukan kepada Lanti. Dengan setengah hati aku menandatangani di berkas penerima dan berbalik menuju ruang tamu.

Ini?

Ini?

Aku terhenyak.

Aku baru menyadari bahwa paket di tanganku adalah kantung kertas dengan label yang beberapa bulan ini sangat kubenci keberadaannya. Bisa-bisanya... bisa-bisanya Lanti?

Tanganku meremas bagian atasnya dan melemparkan benda itu ke sofa. Label dengan huruf 'C' dan entah apa lagi itu seolah menertawakan kondisiku. Menegaskan tentang siapa aku dan siapa dia.

Aku... aku yang nyaris menjadi tahanan dan dia yang bebas tertawa di luar sana.

Aku... aku yang selalu berantem dengan Danu dan dia yang selalu sabar menghadapi Danu.

Aku... aku yang tidak pernah diterima Ibu dan dia yang selalu didambakan Ibu.

Dan sekarang... bahkan teman-temanku menggunakan produk jahitannya!

Lanti dan Kemi juga menyukai Ceria!

Kamu apa, Mona?

Kamu kalah, Mona.

Badanku melemas. Aku terduduk di sisi sofa. Kupeluk kakiku yang tiba-tiba mendingin entah apa sebabnya.

Kamu bukan apa-apa, Mona.

Kamu enggak ada apa-apanya dibanding Ceria.

Kamu... hanya seorang yang berkoar tentang rencana-rencana.

Namun, kamu akhirnya jatuh juga.

Aku menumpangkan kepala di lutut. Berusaha menahan buliran air mata yang turun tanpa henti.

Aku... sudah kalah kali ini. Aku... bukan apa-apa lagi.

"Sayang?" Panggilan itu membuatku mengangkat muka. Cahaya matahari mengintip dari balik bahu orang itu. "Astaga."

Ini cuma khayalanku.

Ini enggak nyata.

Aku menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. Kemudian yang kutahu, wangi tubuh Danu menubrukku dalam dekapan.

Aku... aku... ah... aku enggak tahu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top