22. Kiamat Dunia
Aku benar-benar enggak tahu, ke mana perginya otakku di saat-saat seperti ini. Entah karena aku terlalu bingung atau mungkin karena terlalu banyak hal dijejalkan di pikiranku saat ini. Alat kepintaranku itu mogok. Ngadat enggak tahu diri.
Enggak bisa dipakai berpikir lagi.
Kenapa bisa otakku tidak berpikir di saat dia seharusnya berpikir?
Bukankah dia adalah induknya segala rencanaku? Bagaimana aku menyusun rencana demi rencana kalau dia kabur begitu saja?
"Mona!"
Aku tergeragap karena panggilan Lanti yang kuabaikan. Aku mendongak sebentar dan mendapati kami masih agak jauh dari kantor. Macet bahkan masih setia menggumuli Jakarta jam segini.
Setengah jam kemudian—yang aku sadari setelah Saga menepuk bahuku pelan—kami tiba di kantor. Arga menyambut kami dengan tatapan yang sulit kubaca. Dalam diam, lelaki yang secara resmi menggantikan bokapnya sejak dua minggu yang lalu itu menyodorkanku sebuah dokumen.
Hasil komplain tertulis dari klien.
Mataku nanar menatap hurufnya satu persatu. Namun deretan kalimat yang enggak sampai separuh dari kertas berukuran legal itu enggak juga bisa nyangkut di benakku. Kosong melompong. Aku seperti balita berumur lima tahun yang tengah disodori ujian membaca untuk masuk ke sebuah taman kanak-kanak. Mengeja, membaca perlahan, tanpa paham maksudnya.
Mengeja. Membaca. Tapi ini apa?
Kemilau merebut kertas yang kupandangi intens.
"Kampret!" Gadis itu memaki. Rambut ombrenya mencuat tak rapi di sisi kiri. Cuma itu yang bisa kupikirkan. Sumpah serapah yang sangat lancar keluar dari mulutnya. Di depan Arga yang menyeringai, gadis itu hanya melengos dan lagi-lagi mengabsen isi kebun binatang.
"Kenapa?" Saga bertanya setelah melemparkan kunci mobilnya ke meja.
"Gue yakin Mona ditipu! Goblok banget! Main-main ama kita nih kupret!"
"Kalau ngomong yang jelas, Kemi."
"Perusahaan impor barang yang diaudit Mona mengalami kebangkrutan," jelas Arga.
Maksudnya?
"Mereka berencana menempuh jalur hukum, mengadukan perusahaan yang bangkrut itu. Jumlah seluruh aset yang tersisa tak cukup untuk menutupi hutang. Dan ternyata... sudah banyak yang menjadi jaminan di pemberi kredit lain."
"Astaga. Gue tau ini pelik, tapi gue masih enggak mudeng," kicau Saga.
"Perusahaan impor yang kemarin Mona tangani itu mengajukan kredit ke bank. Lalu bank meminta untuk mengaudit terlebih dahulu kondisi keuangan bank itu sebelum mereka mencairkan dana. Ternyata... setelah dana cair, perusahaan itu malah bangkrut dan tak bisa membayar cicilan. Ada laporan dari orang dalam bahwa saat audit, perusahaan itu memanipulasi laporan keuangan agar terlihat sehat. Dan... menurut kalian, siapa lagi yang bisa membantu merekayasa kondisi keuangan dan menyatakan bahwa perusahaan itu sedang baik-baik saja kalau bukan auditor yang menangani saat itu?"
"La-lu?" Lidahku yang bergetar dan langsung terasa kelu.
"Kerugian mereka mencapai milyaran akibat perusahaan itu kolaps. Dan... mereka beranggapan bahwa Mona adalah oknum yang dibayar untuk memalsukan hasil audit, sehingga dana dari bank bisa keluar."
"Ja-jadi?"
"Maksudnya, Mona dituduh ikut andil dalam rekayasa laporan keuangan perusahaan itu?" potong Saga.
Arga mengangguk. "Kemungkinan terburuk... Mona bisa ditahan kalau tidak bisa membuktikan ketidakterlibatannya."
Saat itu juga rasanya seluruh badanku kehilangan tenaga.
Lemas tak berdaya.
Tanganku mencari-cari pegangan untuk bersandar, namun itu adalah hal terakhir yang kuingat.
Semuanya terasa menekan.
Semuanya gelap.
"Mona!" jeritan Lanti menggaung di telinga.
[ Preferensi ]
Mataku nyalang.
Kepalaku sakit.
Badanku lelah. Sekujur tubuhku seperti ditusuk jarum.
Namun, aku sama sekali tak bisa memejamkan mata.
Aku tak bergerak. Meringkuk dalam posisi memeluk guling. Ditutupi selimut.
Aku tak bergerak. Bahkan untuk bernapas saja aku rasanya tak ingin.
Aku tak bergerak. Satu-satunya yang bergerak hanyalah guliran air di sudut mata yang tidak henti-hentinya merembes.
Sesak.
Langkah kaki Saga sudah tak terdengar sejak sejam yang lalu. Jelas dia sudah pulang ke rumahnya. Geliat apa pun juga tak terdengar dari kamar Lanti dan Kemi. Mungkin mereka sudah terlelap.
Hanya aku. Hanya aku sendiri.
Aku benar-benar menyadari, bahwa saat manusia tertimpa masalah, akan banyak orang-orang yang mengatakan bahwa manusia itu enggak pernah sendirian. Simpati, empati dan ucapan menguatkan akan berkumandang. Namun, akan ada titik di mana hanya manusia itu sendiri yang masih terjaga dalam kubangan pikiran penuh masalah.
Orang-orang pergi.
Orang-orang terlelap lagi.
Dan hanya aku yang bisa menangisi nasibku sendiri.
Kenapa semua ini bisa terjadi? Kenapa?
Padahal aku sudah merencanakan semuanya sebaik mungkin. Tak ada sesuatu yang bisa meleset dari hal yang kurencanakan. Bagian mananya dari kondisi laporan itu yang bisa menipuku? Membuatku lengah dan membubuhkan tanda tangan dengan senang hati.
Ingatanku mengembara ke peristiwa beberapa bulan terakhir. Saat Pak Arven menyodorkan berkas klien perusahaan impor yang dengan jemawanya kutangani sendiri.
Aku mabuk dengan puja-puji.
Aku merasa sanggup mengerjakannya seorang diri.
Dan lihat? Lihat akibatnya, Mona.
Sebentar! Aku ingat.
Aku bangkit dari tempat tidur dan meraih buku agenda biru lautku. Membolak-balik cepat halamannya. Berusaha menemukan sedikit petunjuk tentang klien yang satu ini. Membayangkan berada di dalam sel membuatku bergidik sekali lagi. Enak saja! Meski katanya ada fasilitas mewah untuk tahanan tertentu, memangnya aku siapa? Pejabat bukan, anak presiden bukan!
Mataku mengitari tanggal yang tertera dan catatan audit di buku.
Astaga!
Bagaimana bisa kamu melakukannya, Mona?
Kenapa bisa enggak teliti kayak begini?
Aku sadar, waktu aku mengaudit perusahaan ini bersamaan dengan datangnya masalah yang bertubi-tubi dengan Danu. Masalah Ceria, masalah Ibu, masalah waktu yang enggak ada. Danu! Danu yang membuat aku tidak konsentrasi!
Gara-gara dia!
Aku meraih ponsel yang hampir kehabisan daya.
Pacar apaan yang sampai sekarang enggak ada menghubungi sama sekali? Meskipun berantem, bukannya kewajiban lelaki untuk membujuk lagi pacarnya yang ngambek?
Apaan Danu ini? Peduli pun tidak, apalagi tahu kalau pacarnya bakal ditahan polisi!
Dengan emosi aku menekan nomor ponsel Danu. Aku enggak peduli ini pukul berapa! Pokoknya Danu harus ikut bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa ini. Sedikit banyak, ini salah dia membuatku kehilangan standar konsentrasi dan keluar dari jalur rencana!
"Hallo?" Suara berisik terdengar di belakang.
"Nu? Kamu di mana?" Aku menjeritkan tangisan yang dari tadi menyesaki dada.
"Di jalan, menuju bandara. Kenapa?" Suara ribut masih mendominasi. Seperti suara tangisan.
"Nu, kamu harus ke rumah!"
"Aku lagi di jalan menuju bandara, Mona. Kamu enggak dengar?" Suara Danu balas membentak.
"Heh! Danu! Aku lagi kena masalah kantor, dan ini semua gara-gara—"
"Mona, nanti saja, ya! Aku harus mengejar penerbangan terakhir!"
"Danu dengar—"
"Mona! Mbak Dinara barusan menelepon Ibu. Suaminya melakukan KDRT. Aku harus terbang malam ini juga. Kamu dengar? Sudah dulu, ya!"
"Danu, sebentar!" Dengusan terdengar jelas. "Aku dicurigai salah audit, dan kemungkinan ditangkap polisi. Kamu harus ke sini, Nu! Aku butuh kamu."
"Mona, oke. Aku memastikan kondisi Mbak Dinara. Sesegeranya aku ke rumah."
"Aku mau sekarang, Nu!" jeritku.
"Mona, aku enggak bisa. Besok pagi aku balik. Tunggu—"
"Enggak! Kamu harus ke rumah sekarang. Gimana pun—"
"Mona! Sudah dulu, ya! Aku harus konsen nyetir!"
"Danu! Kamu pilih Mbak Dinara atau aku?" bentakku kesetanan. Entahlah... aku enggak tahu kenapa aku berteriak seperti itu. Yang kutahu, Kemi dan Lanti menjeblak pintu kamar dengan keras.
"Kamu harusnya enggak bicara begitu, Mona," ucap Danu. Nadanya terdengar sangat pelan dan mungkin... lelah.
Lalu... sambungan diputus.
Yang kusadari sedetik kemudian, kaca meja rias pecah berhamburan terhantam ponselku!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top