21. Tuduhan Mengerikan

Aku meyakinkan diriku sendiri. Membolak-balik dengan pelan dan hati-hati agar Danu tidak menyadari. Lalu, aku menghembuskan napas besar.

"Yang?" Danu akhirnya melirik dari spion tengah. "Kenapa?"

"Tabungan kamu segini?" tembakku langsung.

Siapa yang enggak melotot coba, saldo awal tabungan itu sanggup membayar satu buah rumah dengan tunai. Namun, di halaman terakhir hanya menyisakan enggak sampai satu persen dari jumlah semula. Gila!

"Berapa?"

"Dua juta delapanratus."

"Oh."

Lelaki yang baru naik jabatan ini cuma menanggapi dengan 'oh'? Maksudnya dia apa?

"Kamu pakai buat apa, Nu?" ucapku akhirnya, setelah lelah menahan penasaran. Gila ya, duit Danu yang hampir empatratus juta tiga bulan yang lalu itu menguap ke mana?

"Terpakai buat bantu acara Mbak Dinara," ucapnya santai, masih dengan tatapan ke arah traffic light yang sedang menyalakan warna merah.

"Hah?"

"Ya, biaya nambah-nambahin acara. Ya... biaya bolak-balik Surabaya. Ya... uang pendaftaran awal kuliah Divanda."

Ya Tuhan, Danu....

Aku benar-benar kehilangan kata-kata.

Di tahun 2017 seperti ini, duit dua juta sekian itu mana bisa dipakai modal nikah? Apa dia pikir aku tipe cewek yang tinggal diseret ke KUA? Bahkan ongkos administrasi dan penghulu saja mungkin lebih dari itu.

"Apa kamu simpan di rekening lain?" tanyaku lagi.

Danu menggeleng. "Untung dua hari lagi gajian, setidaknya aku bisa bernapas lega."

Bernapas pala lo peyang. Bernapas mbahmu kampret!

"Ya ampuuun, Nu. Uang segini tuh bisa buat apa?"

Danu menghentikan mobilnya. Aku baru menyadari bahwa kami telah tiba di depan rumah kontrakanku. Lelaki itu Cuma melepaskan sabuknya dan menyugar rambut. Oh, please, walaupun kamu bergaya seperti iklan sampo tetap saja kamu enggak ganteng malam ini, Nu. Enggak ganteng!

"Masih bisa buat makan, bayar tagihan telepon, listrik, air dan lainnya. Tinggal dua hari lagi juga gajian."

Aku mendidih.

"Maksud aku, duit yang kamu tabung bertahun-tahun lenyap gitu aja? Kamu enggak mikir itu tabungan buat persiapan kita nikah? Kamu pikir nikah enggak butuh biaya?" cerocosku.

Danu mengernyitkan dahinya, kali ini perhatiannya terarah padaku.

"Kamu capek-capek nabung tiga tahun ini, duitnya ludes gitu aja," lirihku lagi.

Entah apa yang Danu pikirkan, dia terdiam dengan kepala ditumpangkan di setir. Bukan begini mauku! Mauku itu, Danu mengkalrifikasi dan menenangkan aku bahwa tabungan nikah sudah dia simpan di rekening lain dan enggak diutak-atik. Tabungan itu sudah dia rencanakan dan persiapkan dari jauh-jauh hari. Didepositokan!

"Mona," panggilnya pelan. "Aku masih bisa nabung lagi."

"Huh?"

"Kemaren memang pengeluaranku agak banyak. Mbak Dinar nikah, Divanda masuk kuliah. Tapi, aku bisa nabung lagi mulai bulan depan."

"Bukan itu maksudku," dengkusku. "Uang kamu bulan depan paling langsung ludes untuk bayar cicilan rumah kan?" Danu mengangguk. "Butuh waktu buat kamu stabil lagi. Butuh waktu berapa lama biar duit kamu kekumpul lagi kayak semula?"

"Aku belum tahu. Mungkin satu atau dua tahun mengingat posisiku sekarang."

"Astaga, Nu," aku menjerit. "Itu artinya kita baru bisa nikah dua tahun lagi paling cepat?"

"Mungkin." Danu sepertinya mulai gelisah.

"Gila aja ya, Nu. Duit kamu habis beginian doang. Kamu enggak mikir sama sekali apa, kalau kita juga butuh? Kenapa enggak fifty-fifty atau apa kek? Kenapa kamu harus sok dermawan kayak gitu," semprotku kesal. "Gara-gara ini, kapan kita bisa nikah, Nu? Padahal aku sudah punya rencana ngajak kamu ke Padang. Ketemu keluargaku."

"Ya... semua kan bisa dikumpulin lagi, Mona. Yang penting kamu sab—"

"Sabar apaan? Kamu pikir aku enggak cukup sabar selama ini, eh? Ngelihat Ibumu yang kayak gitu sama aku. Adikmu yang minta ongkosin kuliah. Dan sekarang Ibumu juga tinggal sama kamu. Kamu pikir, aku kurang sabar apa lagi, Nu?"

"Monarza...."

Aku menyadari ada kilatan yang enggak biasa di mata Danu. Bodo amat, ya. Ini orang mungkin harus dijedukin biar paham bahwa hidup itu punya prioritas. Hidup itu harus ada preferensi!

"Pokoknya, ya, Nu. Kalau kamu mau nikah sama aku, tahun depan kita harus nikah. Aku enggak mau jadi Ibu-ibu sudah keburu tua. Dan aku cukup rendah hati buat berpikir tabunganku dan yang kamu kumpulkan setahun ke depan sebagai modal nikah. Aku enggak mau diganggu gugat."

"Monarza Arkananta...."

"Aku juga enggak mau kita nanti serumah sama Ibu. Aku mau kita saja. Dan aku minta, mulai bulan depan kamu harus ngelaporin pengeluaran kamu. Kita harus kerjasama kalau memang mau nikah tahun depan, Nu. Kamu harus—"

"Siapa yang mau nikah tahun depan?" potongnya pelan.

"Kita," ucapku cepat. Kemudian menyadari air muka Danu yang berubah keruh. "Atau kamu memang—"

"Jangan berprasangka yang tidak-tidak," tegas Danu. "Sudah cukup masalah ini memperkeruh suasana."

"Maksudmu?"

"Aku memang mau nikah. Sama kamu. Tapi, aku belum bisa kalau tahun depan. Aku harus nabung dan juga membiayai Divanda."

"Oh, my... Divanda lagi."

"Divanda tanggung jawabku, Mona."

"Coba, sekarang kamu hitung, berapa gaji kamu? Berapa cicilan kamu? Berapa uang kuliah Divanda? Dan berapa sisanya?" tantangku dengan mata menyipit.

"Untuk apa?"

"Aku mau menghitung dari sisa itu membutuhkan waktu berapa lama agar kita bisa menikah, Danu!" jeritku putus asa.

Danu diam. Lagi-lagi, ia menumpangkan kepala di setir.

"Nu? Aku butuh kepastian. Solusi. Aku mau—"

"Mona," selanya. "Yang aku tahu, uang yang kuhasilkan sebelum menikah adalah milikku. Penggunaannya sudah kuatur untuk sesuatu yang memang membutuhkan."

Dingin sekali nada bicaranya.

"Tapi, uang ini menyangkut kita. Dua pihak yang berencana untuk—"

"Aku sudah bilang, aku akan melakukan apa saja untuk keluargaku, Mona. Tahun ini mereka memang butuh biaya besar, dan aku enggak segan-segan memberikan pada mereka. Kuharap kamu mengerti itu."

"Nu?"

"Uang yang kuhasilkan sebelum kita menikah, adalah hakku sepenuhnya. Kalau-kalau kamu butuh diingatkan," ujarnya kesal.

Aku turun dan membanting pintu mobil sekeras yang kubisa.

[ Preferensi ]

"Ya, elo yang bego!"

Kemilau Hetami tanpa basa-basi menyuarakan pendapatnya. Enggak peduli aku bercucuran ingus saat bercerita. Aku enggak butuh disalah-salahkan, dibego-begokan. Aku butuh solusi!

"Maksud lo?"

"Danu benar. Uang yang dia dapat sebelum menikah, ya, uang dia. Terserah dia makenya mau gimana."

"Sabar, Dear. Mungkin tadi Danu juga emosi, makanya ngomong gitu."

"Tapi, Lan, gila aja, ya. Duit segitu dia hambur-hamburin. Bukannya disimpan buat nanti persiapan nikah," keluhku.

"Dasar, Maemunah," celetuk Saga. Malam ini, cowok kelewat rapi itu ketiban sial harus mengantar Kemi dan Lanti ke kontrakan. "Danu make itu uang buat keluarganya, cuy, bukan dihambur-hamburin kayak yang lo pikir. Buat kuliah, buat nikahan kakaknya, ya, wajarlah."

"Tapi, Ga, bayangin aja. Duit Danu tuh sisa dua juta lebih doang. Mau ngapain duit segitu? Emangnya gue yang harus biayain kami nikah entar? Enak aja!"

"Kan kata Danu bisa nabung lagi, Mona," bujuk Lanti.

"Berapa lama, Rilanti? Keburu tua gue!"

"Ya, udah, kalau lo enggak mau ketuaan, nikah di KUA, enggak banyak biaya. Habis itu lo kuasain uang Danu. Tabungin sesuka elo!"

"Ngomong tuh mikir kali, Kem," semprotku. "Enak aja nikah di KUA. Mau bikin bonyok gue malu di kampung sana!"

"Ya... elo yang ribet. Mau nikah cepet, tapi enggak mau keluar duit lo. Disaranin ke KUA yang murmer, elo kagak mau. Ya... terserah!"

"Gue butuh solusi. Lo kira, di kampung gue nikah modal niat doang? Bisa dikremasi gue sama bokap sebelum kawin. Abu jasad gue dilarung di Danau Toba!"

"Itu yang gue enggak suka soal adat. Ribet. Maunya ini itu. Nyusahin!" Kemi angkat tangan. "Gue nyerah, terserah lo dah. Lo mau meriah, ya tunggu, atau pakai tabungan lo. Lo mau cepet, ya sederhana. Bete gue!"

"Woy... gue yang curhat, kenapa lo yang bete." Aku mendelik kesal.

"Kemi habis dibantai sama Arga di kantor. Biarin udah," ujar Lanti.

"Ya... terus gue gimana?" gerutuku lagi.

"Mon," panggil Saga. "Asal lo tahu, ya, cowok tuh enggak demen soal keuangannya diobrak-abrik sebelum menikah." Nada memperingatkan bisa kutangkap dengan jelas dari suara Saga. "Ucapan lo jelas menohok harga diri Danu, Mon."

"Ga?"

"Kalau gue jadi Danu, lo mau ngatur-ngatur gaji gue kayak yang lo bilang tadi, gue tendang lo ke laut. Biar dimakan hiu sekalian!"

"Ga!"

"Lo udah kejauhan, Mon!"

Aku kehilangan kata-kata. Meneguk ludah pun rasanya seperti menelan biji kedondong. Perih menyakitkan.

Tanpa terasa, air mataku yang tadi sempat mengering berlarian lagi dengan kencangnya. Aku sesenggukan di bahu Lanti.

Di saat bersamaan, ponselku berbunyi. Kemi menyambarnya dan dengan nada sinis dia bicara, "Dari Arga."

"Terima aja," ucap Saga.

Kemi menyalakan loudspeaker dan suara Arga lantang terdengar, "Mona? Kamu di mana? Bisa kamu ke kantor sekarang juga?"

"Ke-kenapa?" Aku terbata menyembunyikan isakan.

"Perusahaan yang kamu audit kemarin berada dalam kondisi rawan bangkrut. Banyak manipulasi antara laporan keuangan dan transaksi realnya, Mona."

"Hah?"

"Perusahaan mencurigai adanya indikasi fraud yang kamu lakukan."

Sekelilingku menggelap seketika.

FootNote:

Fraud: tindakan curang, yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga menguntungkan diri sendiri / kelompok atau merugikan pihak lain (perorangan, perusahaan atau institusi)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top