20. Kebanyakan Cobaan
Selama duapuluh tujuh—oke, ini sih menuju duapuluh delapan—usiaku, enggak pernah terbayang hal paling aneh yang harus kujalani sekarang. Kalian tahu? Berapa persen perempuan yang harus mengantarkan mantan pacar cowoknya untuk bertemu dengan ibu cowoknya di muka bumi ini?
Nothing!
Tapi, itu kejadian nyata padaku.
Aku harus mendampingi—kalau dalam sudut pandang Ibu Danu sih mungkin memaksa ikut—Danu saat mengantarkan Ibunya ke butik baru milik Ceria.
Siapa yang bisa bertahan duduk di kursi kalau tahu calon mertua yang gagal move on itu menemui objek ke-gagal move on-annya? Meski tahu dari gurat wajah beliau seakan ingin menelanku hidup-hidup saat aku muncul di teras rumah Danu dan berkata dengan lembut bahwa kami berdua akan mengantar Ibu ke butik Ceria.
Well. Ibu membuat perkara, aku pasang tanduk untuk menandingi.
Kalau ini dianggap kurang ajar, biar sekalian dikutuk jadi batu saja.
"Nanti, kita makan malam sekalian, Mas?"
"Boleh, Bu. Kalau Ceria enggak sibuk."
"Kalau dia sibuk, kita tunggu sampai dia selesai," lanjut Ibu. "Enggak papa kalau agak kemalaman."
"Terserah Ibu saja," jawab Danu.
Kami sampai di butik Ceria dan langsung disambut oleh pemiliknya dengan senyum terkembang. Enggak lupa, cewek itu juga menyapaku dengan sama ramahnya. Padahal, aku berharap dia sedikit keki atau bahkan sinis agar aku memiliki alasan untuk menyumpah-nyumpahinya. Paling enggak dalam hati. Toh, aku enggak bakal memakinya di depan Ibu.
"Masuk, Ibu, Mas, dan Mbak Mona," ajak Ceria. "Ceri udah nunggu dari tadi."
Ibu Danu langsung berjalan ke sisi kiri butik yang memajang baju-baju kaftan. Aku yakin, setelah ini satu set pakaian akan menjadi hadiah yang membuat mata Ibu berbinar dan kemudian mulai lagi merepet tentang betapa bahagianya kenal seorang Ceria.
"Bu, kita nunggu di warung depan saja," panggil Danu tiba-tiba, membuat aku menoleh.
"Eh? Kamu enggak mau ikutan di sini?" tanya Ibu. "Pilih-pilihkan Ibu baju, Mas."
"Ibu pilih saja, nanti Danu yang bayar," jawabnya. "Tapi, Danu sama Mona nunggu di depan saja," ujarnya, kemudian mengangguk sebentar pada Ceria yang mengangkat alisnya.
Entah apa yang cewek itu pikirkan, saat melihat Danu meraih tanganku erat dan berlalu dari situ. Aku sih enggak keberatan, atau kalau cewek itu enggak sadar bahwa aku menang angin atas dirinya.
"Jangan bete lagi, ya," ujar Danu setelah memesan minuman.
"Bete?"
"Sepanjang perjalanan kamu enggak ngomong, Yang," Danu mengutarakan, "kamu pikir aku enggak tahu?"
"Yah... aku hanya malas ngomong, Nu. Takut salah di mata Ibu," ucapku jujur.
"Aku paham, tapi aku juga enggak mungkin menolak saat Ibu minta dianterin ke sini."
"Makanya, aku juga kekeuh ikut sama kamu. Karena—"
"Kamu takut kalau kami cuma bertiga, terus terjadi sesuatu antara aku dan Ceria?" sela Danu.
"Yang aku takutkan sih kalau Ibu merasa itu menjadi kesempatan untuk mendekatkan kalian lagi," ungkapku. "Jujur, aku capek banget, Nu, menghadapi Ibu yang kayak gini."
Danu meraih kepalaku agar bersandar di bahunya, mau enggak mau aku memejamkan mata.
Apakah yang kulakukan ini benar? Apakah mempertahankan Danu adalah tindakan tepat? Apakah aku akan menyesalinya nanti? Atau... justru melepaskan Danu lebih membuatku bahagia?
Aku enggak tahu.
Aku benar-benar enggak tahu.
Kenapa berurusan dengan perasaaan segini tidak pastinya?
Dan aku benci hal yang tidak pasti begini.
"Nu?"
"Hm?"
"Aku mikir... apa aku salah ngotot ikut ke sini?" tanyaku pelan.
Danu menghela napas, terasa dari bahunya yang terangkat naik sejenak. "Kalau kamu bertanya apakah kekhawatiran kamu soal Ibu yang akan mendekatkanku sama Ceria lagi, setidaknya itu salah. Maksudku, aku enggak akan berpikir ke situ meskipun Ibu melakukannya."
"Nu?"
"Karena aku tahu, siapa yang aku pilih, Mona. Tapi, kalau kamu ngotot ikut, kamu juga enggak salah. Wajar sekali karena kamu berusaha mempertahankan sesuatu yang menjadi milik kamu."
"Aku enggak salah kan?" Danu mengangguk. "Dan... kenapa kamu memilih aku, Nu? Bukannya lebih mudah kalau kamu sama Ceria."
"Siapa yang menjamin kalau semuanya lebih mudah kalau sama Ceria?" tanya Danu balik.
"Setidaknya urusan dengan Ibu enggak serumit ini."
"Memang. Tapi, ini hidupku, Mona. Dan... aku sudah pernah bilang, kalau kamu membuatku lebih hidup, lebih semangat."
"Hanya itu?" Aku terkesiap.
"Kamu membuatku memiliki alasan untuk berjuang, Mona. Mungkin kamu enggak nyadar, ya, Yang. Tapi, sejak kenal kamu, aku mulai mengerti bahwa hidup bukan cuma soal berusaha dengan baik kemudian mendapatkan hasilnya, tapi juga soal menentukan titik awal perjuangan itu dan langkah-langkah konkrit untuk menuju ke situ."
"Hm?"
"Mengenal kamu membuatku paham bahwa hidup bukan hanya soal mengkhayal, tapi juga mewujudkan."
Aku meneguk ludahku, terkejut akan penuturan Danu.
"Mengenal kamu membuatku mengerti bahwa ada sesuatu yang harus dipersiapkan untuk hidup lebih baik."
"Nu...."
"Dan... yang jelas, aku perlu orang seperti kamu. Yang bisa kuajak bertukar pikiran, yang bisa mendebatku saat aku salah dan mempertanyakan kelogisan tindakanku. Yang bisa memberikan alternatif pandangan untuk melangkah dalam hidupku. Itu... yang membuat aku yakin, aku pengin kamu, Yang," ujarnya pelan.
Aku... speechless.
"Susah nyari cewek yang logis, Mona, meskipun dibungkus dengan segala keteraturan yang bikin sakit kepala," Danu tertawa dalam sindirannya, sementara aku mendelik,"biasanya cewek hanya mengandalkan perasaan saja. Tapi... kamu memiliki keduanya. Dan hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat itu."
Ya Tuhan, kamar mana kamar? Ingin rasanya aku mencium habis bibirnya yang baru saja mengutarakan hal yang membuat aku melayang. Kalau Ibu masih lama, kami bisa check in dulu menghabiskan malam. Atau si Ceri-Ceri itu bisa disuruh mengantar Ibu pulang?
Karena jujur saja, mendengar Danu ngomong begini itu membuat keseksian dia meningkat pesat. Duh... aku bisa kepikiran macam-macam kalau ini diteruskan!
"Ah... Nu, coba kita sudah nikah," ujarku keceplosan.
Danu menoleh, dahinya berkerut sambil menahan tawa. "Kok tiba-tiba nyambung ke situ sih?"
"Karena denger kamu ngomong gini bikin aku pengin mengurung kamu di kamar dan mencium kamu sepuasnya," bisikku. "Atau ngelakuin hal lain!"
Danu tertawa. "Nah! Mana ada cewek lain yang bisa ngomong kayak gini kecuali kamu, Mona," kelakar Danu. Lesung pipinya muncul karena dia berkali-kali memegangi perut untuk menahan tawa. "Kamu serius kepikiran nikah sama aku?"
"Iya," jawabku lugas. "Dari dulu, sejak kita jadian. Memangnya apa lagi yang kupikirkan kalau menerima kamu. Berencana menikahlah."
"Hm...," Danu menggantung kata-kata, "tapi... enggak bisa secepat itu, Sayang."
"Kenapa?"
"Karena Danu masih harus membiayai kuliah Divanda."
Sebuah suara dingin di belakangku membuat kami menoleh. Ibu tampaknya enggak repot-repot menyembunyikan ketidaksukaannya saat ini.
[ Preferensi ]
"Karena pas aku kuliah, Mbak Dinara yang membiayai, Mona," ucap Danu.
Kami sedang dalam perjalanan pulang dari rumahnya. Danu menurunkan Ibunya dan berkilah untuk mengantarku. Kami sama-sama menyadari sinar mata enggak suka dari Ibunya, namun Danu memilih mengabaikan.
"Lalu, kamu harus membiayai Divanda? Sampai selesai?" tanyaku.
"Iya."
Divanda baru masuk semester ini. Paling tidak tiga atau empat tahun ini gaji Danu akan terpakai untuk membiayai kuliah Divanda. Lalu, bagaimana dengan rencanaku menikah tahun depan? Tahun depannya lagi memiliki anak? Siapa yang akan membeli susu dan popok anakku kalau uangnya habis untuk kuliah tantenya?
Oh... bagus sekali!
"Jadi, menurut kamu... kita baru bisa menikah setelah Divanda selesai?" Aku nyaris memekik saat mengutarakan ketakutanku yang satu ini.
"Kalau kamu bisa sabar, ya."
"Kalau enggak?" kejarku.
"Kita menikah... namun ada konsekuensi yang harus kamu pahami, bahwa sebagian gajiku untuk membiayai kuliah Divanda."
"Astaga...."
"Kenapa memangnya, Mon? Bukannya orang-orang di awal menikah memang biasa begitu?"
"Maksudmu?"
"Uang yang dimiliki pas, enggak berlebihan."
"Heh?"
"Gajiku masih bisa membiayai rumah tangga dan kuliah Divanda, Mona. Meskipun untuk sementara enggak bisa menabung atau liburan. Ya... selama empat tahun, mungkin."
Gila! Memangnya Danu tidak memikirkan krisis ekonomi? Inflasi? Harga barang yang terus meroket sementara hanya hujan yang turun? Gila... gila... gila....
Dia pikir, semuanya bakal cukup?
Aku sih bisa bertahan dengan gajiku, tapi... kalau berumah tangga, pasti ada kebutuhan yang berbeda. Seharusnya orang-orang yang mau menikah itu sudah menyiapkan tabungan untuk kebutuhan tak terduga yang mungkin saja terjadi sewaktu-waktu. Anak sakit misalnya? Memangnya kalau pas-pasan begitu, dari mana biaya untuk hal-hal di luar perkiraan.
Hadeh!
Aku menggembungkan pipi, melepaskan pelan-pelan udara di dalamnya. Tiba-tiba, ponsel Danu berbunyi nyaring dari kursi belakang.
"Yang, bisa minta tolong ambilin hape aku?"
Aku berbalik dan meraih tas kecil Danu, membongkar isinya untuk mengeluarkan ponsel. Aku menyerahkan benda bergetar yang menampakkan tulisan 'Ibu'. Bersamaan dengan Danu berbicara dengan Ibunya, mataku tak sengaja menatap sebuah buku yang ikut terjatuh.
Buku tabungan.
Mataku membelalak saat mengeja nominal yang tertera di dalamnya.
Oh, God!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top