19. Pelolakor
Akhirnya... aku bisa pacaran dengan baik dan benar.
Bukan... bukan sesuai Undang-Undang atau apalah yang kalian pikirkan, karena pacaran yang benar dalam versiku adalah semuanya berjalan lancar sesuai rencana. Aku dan Danu berpegangan tangan erat menghabiskan malam. Entahlah setelah kami melakukan 'ngapa-ngapain' atau hanya berbincang. Sepertinya aku bisa menerima yang mana pun.
"Kamu mau langsung pulang?" tanya Danu.
"Kamu?" tanyaku balik.
"Pulang. Kamu mau ikut ke rumah?"
Hatiku serasa melonjak, serasa pasangan baru jadian. Mungkin memang seperti ini harusnya hubunganku dengan Danu, andai saja tidak banyak faktor eksternal yang mengacaukan.
"Boleh." Aku menjawab dengan diplomatis. Tahukah kalian, girls, kalau kalian berseru 'ya', 'oke', atau 'aku mau, please', dengan mengedip-ngedip puppy eyes itu menunjukkan rendahnya nilai jual kalian. Persetan dengan pendapatmu. "Udah lama enggak mampir kan, ya?"
Dan sekarang aku tersenyum-senyum sendiri di samping manajer baru yang sedang khusyuk menyetir ini. Oh... oh, ingin rasanya aku membelit bibirnya yang terus bersiul itu. Namun, menabrak pembatas jalan atau ditabrak dari belakang oleh mobil lain gara-gara kami asyik berciuman itu enggak ada dalam rencana.
Sabar Mona! Nanti di rumah Danu pasti bisa menumpahkan segala rasa. Kalau mujur, malam ini mungkin menjadi malam pertamaku menginap dan terbangun di sebelah Danu dan mendengar suara seraknya. Hohoho....
Lelaki yang baru naik jabatan ini kelihatan lebih ganteng dan seksi berkali-kali lipat!
Oh, tahan bola mata kalian saat mendengar aku bicara! Aku yakin kalian hanya iri saja. Siapa yang enggan memiliki pasangan dengan penghasilan yang mencukupi?
Munafik namanya kalau kalian bilang hubungan hanyalah tentang rasa.
Karena rasa tetap dapat membedakan empuknya BMW dan kampretnya angkot tahu!
Aku selalu ingin mencekik orang-orang yang berkata bahwa uang bukanlah segalanya. Menurutku, itu hanya diucapkan oleh kaum yang susah memperolehnya hingga berkata begitu untuk menghibur hati. Mengakulah! Asal tahu saja, sesuatu yang dibilang enggak begitu penting itu menentukan hajat hidup orang banyak. Dan coba tolong mainkan sedikit logika kalian, kalau memang uang tidak penting, bagaimana bisa ada orang yang kerja keras banting tulang untuk memperolehnya?
Memangnya kalian membeli makan pakai apa?
Memangnya kalian membangun rumah pakai sulap?
Singkirkan pemikiran sok suci kalian itu!
"Dahi kamu kenapa kok berkerut-kerut gitu, Yang?"
Omongan Danu membuatku tergagap. "E-eh? Enggak," sahutku cepat. "Aku cuma... kelewat senang," akuku.
Danu kembali tersenyum sebagai balasan membuat tanganku terasa ringan saat meremas tangannya yang tengah berada di persneling. Danu meraih tanganku dan membawanya ke bibir. Mengecup pelan.
Aku melayang.
Setelah memastikan rem tangan telah ditarik dengan mata kepalaku sendiri, baru aku membenahi tas tangan dan ikut turun bersama Danu menuju rumah kami. 'Kami' ya, catat. Bukan rumah Danu seorang.
"Masuk, Yang," ajaknya.
Aku melihat sekeliling ruang tamu mungil yang dulu sempat menjadi saksi bisu saat aku menghambur keluar rumah karena menemukan foto Ceria di laptop Danu. Dan kali ini, ruangan minimalis ini rasanya lebih hangat dan menyambutku sebagai salah satu pemiliknya yang sah!
Ups... calon, tapi sudah mendekatilah dibanding beberapa waktu yang lalu.
"Mas? Sudah pulang?"
Suara itu membuatku membeku di tempat. Mungkin hal yang sama terjadi pada wanita yang berdiri sekitar lima meter dari kami.
"Iya, Bu," jawabnya sopan.
Oh... oh... ingin rasanya aku menggabruk dahiku sendiri. Mimpi menginap di rumah ini dan merayakan perbaikan hubungan kami sepertinya takkan pernah terwujud!
[ Preferensi ]
"Kamu kok enggak bilang kalau Ibu ada di rumah?" ujarku langsung.
Kami berdua duduk di sofa ruang tamu. Sofa minimalis yang cuma bisa menampung tiga orang. Itu pun dengan satu kursi bulat sebagai aksesori tambahan.
Dahi Danu tampak berkerut. "Bukannya aku pernah cerita kalau Ibu dan Divanda bakal tinggal di sini setelah resepsi Mbak Din?" tanyanya balik.
Iya, sih. Aku ingat bagian itu. Aku hanya engga menyangka secepat ini.
Lagian sepanjang jalan menuju ke sini tadi Danu kok enggak sama sekali memeringatkan soal ini. Aku kan bisa siap-siap menghadapi berbagai kemungkinan. Yang kalau berkaitan dengan Ibu Heda, lebih banyak buruknya ketimbang bagusnya.
Enggak sadar, aku mendengkus sendiri, membuat Danu mengangkat alisnya tinggi.
"Aku cuma kaget, Nu," kilahku. "Tahu begitu, tadi kita beli sesuatu sebelum ke sini."
"Jam segini Ibu pasti sudah makan dan masak, Yang, santai aja," balas Danu.
Dasar lelaki enggak peka. Maksudku kan supaya aku dianggap sedikit perhatian pada Danu dan keluarganya. Lagipula, aku juga enggak tahu habis kejadian di Surabaya kemarin bagaimana pemikiran ajaib Ibunda Danu ini?
Tahukah beliau kalau anak kesayangannya digampar Saga?
Mengertikah beliau bahwa pemicunya karena beliau yang masih gagal move on sama mantan anaknya?
"Nu? Soal kemarin itu," bisikku. "Ibu tahu?"
Danu menggeleng langsung. "Aku kembali ke rumah dan berhasil menyembunyikan semuanya. Setidaknya, Ibu enggak bertanya sama sekali," jawab Danu enggak kalah pelan.
Padahal, di sudut bibir Danu masih bisa kelihatan bekas biru gara-gara perilaku Adipati Sagala. Aku benar-benar enggak yakin kalau Ibunya enggak sadar.
"Danu?" Suara itu kembali menghampiri kami ke ruang tamu.
"Ibu," sapaku luar biasa kikuk.
"Mona," sapa beliau. Kentara sekali seadanya. "Kalian kan sudah bekerja seharian. Pasti capek."
"Lumayan, Bu," jawabku. Ah... aku memang jagonya menjawab diplomatis begini.
"Terus, kamu enggak ada keinginan buat beristirahat?" tanya beliau. "Danu juga sepertinya butuh istirahat."
"Saya antar Mona pulang dulu, Bu," sela Danu berdiri. Tangannya terulur ke arahku.
"Baiklah, Bu, saya pulang dulu," pamitku, menyelipkan tanganku ke genggaman Danu."
"Kamu enggak kasihan? Kita semua baru dari Surabaya pagi tadi. Seharusnya Danu istirahat lebih awal. Di Jakarta enggak ada taksi yang bisa dipanggil, Nu?"
Kampret!
Menyumpah-nyumpahi calon ibu mertua itu enggak bakal dikutuk jadi batu kan?
"Enggak papa, Bu. Paling cuma sejam sudah sampai sini lagi. Danu antar aja, lagian kasian Mona, kalau malam-malam naik taksi."
"Memangnya supir taksi jahat-jahat?"
"Enggak papa, Nu, panggilin taksi aja," ujarku, malas berdebat.
Selain itu, aku juga enggak mau dianggap calon istri yang enggak pengertian. Sudah cukup enggak pintar masak, jangan lagi ditambah tak pintar membaca keadaan.
"Enggak! Aku yang ajak kamu ke sini, aku yang anterin, Mona," tegas Danu.
"Tapi, Nu..."
"Danu permisi dulu, ya, Bu," pamitnya. Ibu bergeming di tempatnya, enggak keluar sepatah kata pun.
"Nu," tegurku. "Aku enggak mau bikin ini tambah runyam. Biar ajalah aku—"
"Enggak, Mona," potong Danu. "Aku sudah memutuskan untuk memilih kamu, jadi kamu itu tanggung jawabku," ungkap Danu agak sedikit kencang.
Kulirik Ibunya terkesiap.
"Bu," Danu berbalik, "tolong Ibu pahami, Mona adalah pacar Danu sekarang. Dan kemungkinan besar dia yang jadi masa depan Danu. Dia yang jadi bagian dari keluarga kita. Bukankah Ibu mengajarkan Danu untuk menjaga wanita-wanita di keluarga kita?"
"Eh, Nu....," tuturku gugup. "Aku beneran enggak—"
"Langsung balik setelahnya, ibu mau bicara."
Dan... calon mertuaku berbalik begitu saja. Enggak ada basa-basi pamitan sama sekali.
Sama sekali.
[ Preferensi ]
"Ibu hanya belum terbiasa sama kamu," ujar Danu, memecah kesunyian yang membekap sejak kami berangkat dari rumahnya.
"Dan sepertinya beliau enggak mau membiasakan," keluhku pilu. "Aku sudah berusaha, Nu, aku juga bisa capek!"
"Aku ngerti. Makanya dari tadi kamu diam kan?" tanya retoris.
Apa lagi? Memangnya apa lagi yang bisa membuat mood-ku terjun bebas kecuali kehadiran Ibu?
Heran, di mana-mana biasanya Ibu-ibu suka mendesak anaknya nikah, tapi Ibunya Danu ini kok ya, kayak ratu kerajaan. Putra mahkotanya mau dikekepin entah sampai kapan.
"Dulu Ceria juga digituin," aku langsung menengadah ke arah Danu. Maksudnya apa bahas-bahas perempuan itu? "Tapi, ya... seiring waktu, akhirnya Ibu bisa menerima."
"Duh, Nu... jangan banding-bandingkan aku, ya. Aku enggak suka banget—"
"Bukan, aku hanya pengin kamu buka mata. Kalau Ibu itu enggak sekeras yang kamu sangka."
Kalau bukan keras, kuno, kolot, apa lagi coba?
"Terus?"
"Ya... kamu harus lebih fleksibel, Sayang. Kita sebagai yang muda harus menyesuaikan. Kemauan Ibu memang begitu. Gayanya menguji. Tapi—"
"Tapi?" semburku dongkol.
"Ada suatu titik di mana beliau nanti akan yakin sendiri, bahwa kehadiran kamu memang yang terbaik buat aku. Saat itu—"
"Aku sudah peot dimakan usia!"
"Monarza, Sayang.... Kalau bukan kita yang muda yang berusaha mengerti beliau, mau sampai kapan pun beliau akan terus seperti ini."
Kenapa bukan beliau aja yang mengerti? Biasanya orang tua lebih pengertian sama anaknya? Kenapa kalau sama calon menantu tiba-tiba kemampuan pengertiannya merosot ke zaman purbakala? Seperti membawa-bawa trisula buat menombak babi saja. Perang... perang... dan perang!
"Lalu aku harus gimana, Nu? Iya... iya aja, gitu?" Euh... aku sudah memutar bola mata. Kalau ini mata buatan Cina, pasti sudah melompat ke dasbor mobil.
Belum sempat Danu menjawab, ponselnya melantunkan sebuah nada. Ih... pasti Ibu nih yang menelepon. Sampai juga belum!
Danu mengerutkan dahi, kemudian menempelkan benda itu di telinga. "Ya?"
"Ibu sudah di Jakarta, ya? Aku kangen beliau. Besok boleh ke rumah?"
Aku nyaris terbatuk sebelum merebut ponsel Danu dari tangannya. Tertera nama di ponsel Danu: Ceria.
Sialan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top