17. Untuk Sahabat
"Gue boleh ngomong sama lo?"
Suara Saga dari arah belakang membuatku terkesiap. Lebih-lebih lagi saat aku menoleh, ternyata pandangan sahabatku itu mengarah kepada Danu.
"Oke, ap—"
"Sebaiknya kita ngomong di luar." Saga mengedikkan bahu ke arah pintu yang terdapat di samping gedung. Maksudnya apa?
"Danu!" Panggilan entah dari siapa membuat Danu urung melangkah, dia kembali menyapa tamu-tamunya.
"Ga?" tanyaku.
Saga menolak menjawab. Dia cuma berlalu dengan cepat dan keluar dari pintu yang tadi ditunjuknya. Aku enggak punya pilihan lain selain mengekori Saga.
Selama beberapa tahun mengenal Saga, baru kali ini aku mendapati seorang Saga menyulut rokoknya. Biasanya hanya Kemi yang sesekali mengisap batangan kanker itu kalau pikirannya sedang kalut.
"Ga? Ada apa?" tanya Lanti. Sepertinya gadis itu menyadari perubahan sikap Saga. Kami bertukar tatapan, aku hanya menggeleng hampa.
"Lo enggak makan?" tanyaku pada Saga. Yang kuketahui, seorang Saga dan makanan seperti kembaran yang tak terpisahkan. Kepalanya akan segera mengangguk kalau disodori makanan. Namun, kali ini dia hanya menggeleng. Tatapannya menerawang jauh, dan entah kenapa aku merasa Saga menghela napas besar setelah menghisap beberapa kali rokok di tangannya. Tempat sampah di dekat kami menjadi sasaran sikap anehnya. Puntung rokok digilasnya tanpa ampun.
"Ga?" ulangku. "Lo marah gue ajak ke sini?"
Saga hanya menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan. Lama sekali lelaki ini terdiam.
"Acaranya berakhir," cetus Lanti. Aku ikut memasang telinga dan menangkap suara pembawa acara sedang mengucapkan kata-kata berpamitan.
"Kita langsung pulang?" tanya Kemi. Gadis berambut ombre itu meremas pundakku.
Aku hanya mengangguk kaku. Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan di sini?
Segala macam rencana yang telah kususun sebelum tiba di sini menguap seperti embun diterpa sinar matahari. Bedanya... rencanaku gagal menyisakan bekas.
Malu.
Aku malu sama sahabat-sahabatku.
Bukannya sambutan hangat yang mereka peroleh, layaknya keluarga seorang pacar kepada sahab—
"Lo butuh pelukan?" Pertanyaan Saga yang tercetus tiba-tiba membuatku terperangah. "Gue tahu, lo dari tadi berusaha menunjukkan sikap bahwa semua baik-baik saja. Gue tahu, Mon!"
Aku nyaris tersedak kata-kata. Kemudian menggeleng pelan. Kugigit bibirku di antara pelototan tajam Saga.
"Mon," ganti Lanti meremas pundakku. "Kalau kamu mau nangis, nangis sekarang."
Tenggorokanku tersekat. Aku benar-benar harus bersusah payah menahan air mata yang nyaris merembes ini. Kelopak-kelopaknya sudah memanas.
Saga maju dan meraih kepalaku. "Nangis saja, Maemunah," bisiknya.
Aku melabuhkan kepalaku di bahu Saga. Meskipun enggan, isakan pelan akhirnya lolos dari bibirku.
Enggak! Enggak boleh kayak gini! Apa kata Danu kalau melihatku menangis? Lagipula, kasihan baju Saga... tapi, tepukan pelan di punggung membuatku tak bisa mengikuti keinginan. Aku hanyut dan menumpahkan segala perasaan yang sepertinya mengakar menyesaki dadaku sejak beberapa bulan lalu.
Lelah.
Pedih.
Kecewa.
Atau apalah lagi.
Kali ini aku enggak lagi mengingkari apa yang Lanti bilang kemarin-kemarin. Aku merana. Ya... mau enggak mau, aku mengakuinya.
"Sayang?" Tubuhku menegak. Panggilan itu kental dengan nada heran di pendengaranku. "Dia kenapa?" tanya Danu.
"Capek," potong Kemi. Suara Kemi terdengar sangat dingin di telingaku.
"Oh, kamu mau istirahat, Yang? Mau aku antar ke rumah?" tanya Danu. "Atau kalian sudah booking hotel?"
"Kita enggak nginap, dan enggak bakal pernah berpikir nginap," tukas Kemi dingin.
Cepat-cepat aku menyusut mataku. Enggak mau Danu melihat ada bekas tangisan dari wajahku. "Enggak papa, Nu," ujarku menegar-negarkan suara. Semoga saja dia enggak menyadari apa pun yang terjadi padaku.
"Acara lo udah kelar?" Pertanyaan Saga membuatku mendengak.
"Tinggal sesi foto bersama," jawab Danu. Aku merasakan tangannya mengucek kepalaku. Entah bermaksud apa, yang jelas membuat kerongkonganku serasa tersumbat lagi.
"Lo enggak ngajak Mona buat ikut berfoto?" ucap Kemi. Gadis mungil itu menarikku dari dekapan Saga.
Helaan napas Danu terdengar sampai ke telingaku, terdengar nyaring entah kenapa. Mungkin karena telingaku memang terfokus padanya.
"Maksud lo apa, Bro?" tanya Saga tanpa kuduga. Aku mencium nada bukan pertanyaan di suara Saga.
"Apa?"
"Lo sadar kalau Mona datang ke sini bukan sebagai tamu?" tanya Saga dingin. "Lo memang enggak berniat mengenalkan dia sebagai pacar lo atau apa?" Tanpa basa-basi, aku melirik badan tegap Saga mendekat ke sisi badanku.
"Ga!" peringatku sepelan mungkin.
Badanku tersentak tiba-tiba. Saga memutar badan dan kemudian berkata dengan tenang, "Lo enggak sadar kalau pacar lo nangis, hm?"
Danu terdiam menatapku.
"Lo enggak sadar kalau Mona saat ini sakit hati, bukannya capek, Bro?"
Aku menggeleng dan menangkap pergelangan tangan Saga.
"Gue enggak ambil pusing soal sikap keluarga lo sama dia. Gue tahu, Mona juga salah karena dia maksa-maksa masuk ke keluarga lo. Tapi, gue juga tahu, itu dia lakukan biar bisa membaur dengan keluarga lo. Dan lo?"
"Gue?" tanya Danu. Suaranya waspada.
"Lo sama sekali enggak menghargai dia!" maki Saga. Sedetik kemudian tangannya melayang ke rahang Danu dan menimbulkan derak tulang beradu dengan tulang.
"Saga!" pekik Lanti dan Kemi bersamaan.
"Selow... selow, apa nih?" tuding Danu. Ada bercak kemerahan di sudut bibirnya.
Tangan Danu terulur cepat.
"Crap!" hardik Saga. Tangannya menangkap tinju Danu. Lalu menghempaskan dengan keras.
"Mona!" panggil Danu.
Saga menggeleng, memukul tangan Danu yang menyentuh bahuku.
"Lo enggak ngejelasin siapa Mona ke keluarga lo, Bro!" ucapnya. "Lo enggak berpikir gimana perasaan Mona melihat keluarga lo masih menganggap si Ceri-ceri itu sebagai pacar lo?"
Danu tampak kehabisan kata-kata. Mulutnya terbuka dan menutup, tapi enggak ada suara.
Dengusan Saga masih terdengar jelas. Napasnya pendek-pendek. Kemi memeluk Saga dari depan. Aku dan Lanti sibuk memegangi tangan Saga yang bergetar menahan amarah.
"Lo bikin gue malu, Bro!" geram Saga lagi. "Lo laki apa bukan?" teriaknya kencang.
[ Preferensi ]
"Gue minta maaf," ungkap Saga pelan. "Tapi gue enggak nyesal sama sekali mukul dia," tambahnya.
"Ga," ucapku lelah.
"Lo boleh marah, Mon. Tapi, gue enggak suka lo digituin."
Kemi melempar cushion yang tergeletak di sofa ke arah Lanti. Gadis itu langsung memeluk bantal dan membenamkan kepalanya.
"Gue setuju sama Saga, Mon, sorry," ujar Kemi.
"Ada baiknya kamu mempertimbangkan hubunganmu sama Danu."
"Putusin aja!"
"Kemi," tegur Lanti. "Kita cuma enggak mau kamu terus-terusan gini, Mon."
"Terus-terusan gimana?" sahutku kelu. Sebenarnya aku sudah tahu maksudnya, tapi ada kalanya suatu kondisi di mana kita hanya bisa membeo kata-kata orang di sekitar kita lalu menjadikannya pertanyaan.
"Lo kudu berpikir ulang," tegas Saga. "Mau lanjut atau sudahi, Mon. Hubungan kalian ini enggak sehat. Lo paham betul itu."
"Tapi, Ga, gue—"
"Jangan cuma karena lo takut enggak bakal dapetin yang sepotensial Danu, atau apalah bahasa lo itu, lo jadi takut ngelepasin dia. Cowok enggak satu, Mona!"
"Gue tau, Ga, tapi gue—"
Kami berempat terdiam. Momen seakan kembali lagi ke saat perjalanan pulang di mana aku dan ketiga sahabatku hanya membeku. Tak ingin membahas kejadian di Surabaya.
"Kadang kita butuh jatuh cinta sama orang yang salah sebelum ketemu yang benar, Dear. Agar kita tahu bedanya."
"Lelaki potensial buat apa, huh, kalau enggak bisa bikin nyaman juga," timpal Lanti.
Saga menggaruk kepalanya. "Ga?" tanyaku pelan.
"Lo tetap bakal berusaha kan, Mon?" Saga tidak bertanya, dia menuduh.
"Gue enggak tau, Ga," ucapku kelu.
"Lo masih mau dengerin gue?" tanyanya lagi.
"Selalu, Ga, selalu."
"Kalau Danu cinta sama lo, dia bakal nyari dan datengin lo. Gue mohon banget, kali ini lo diam dan hanya menunggu."
"Gue enggak setuju," tukas Kemi. "Ngapain ngasih kesempatan cowok begitu."
"Kem, lo enggak liat kalau Mona itu cinta sama Danu?" tanya Saga keki. "Kalau enggak mempertimbangkan perasaan dia, udah gue suruh putusin dari kapan hari!"
Aku menatapnya dengan bingung. "Maksud lo, gue—"
"Iya, lo cinta. Tanpa lo sadari. Danu bukan cuma soal target lo lagi. Tapi, lo cinta."
Aku tersedak mendengar kata-kata Saga. Sejak kapan aku beralih dari rencana-rencana dan mengandalkan perasaan?
"Kalau Danu enggak datang?" bisikku pada diriku sendiri.
"Lo tau jawabannya," tegas Saga.
Kata-katanya membuatku menggigil kedinginan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top