16. Rasanya Perih
Untuk pertama kalinya aku melihat Danu ketakutan setengah mati.
Kekesalan Danu yang siap ditumpahkannya gara-gara menemukan kain hari ini menguap begitu saja. Mau tahu kenapa? Divanda tiba-tiba menelepon dan mengabarkan kalau Yang Mulia Ibu Heda yang gagal move on itu tumbang dan masuk rumah sakit.
Ouch! Jangan menatapku seakan aku ini calon menantu durhaka, kawan.
Kalian harus merasakan di posisiku dulu baru mengeluarkan banyak makian tentang kekurangajaran. Kalian enggak pernah merasakan perihnya dicuekin saat kunjungan pertama padahal sudah mengorbankan banyak hal—asal tahu saja, aku menolak ke Singapura demi memilih Surabaya! Pernah merasakan dibandingkan secara live dengan mantan pacar anaknya? Pernah merasa diremukkan dengan satu tangan dan hanya menangis yang kubisa namun aku tetap memasang wajah baik-baik saja? Pernah merasa harga dirimu dicampakkan dan diinjak-injak sampai kamu enggak merasa berharga lagi? Kalau belum, just shut up f*cking your mouth!
Bukannya aku menyukuri—oke sedikit saja, jangan bilang Danu—tapi aku merasa mungkin ini teguran dari Tuhan untuk beliau yang selalu menutup mata untuk segala pengorbanan yang aku lakukan.
Dan... apa yang aku dapat?
Blam!
Danu menghambur ke luar rumah kontrakan langsung menuju bandara.
Sejak kapan sih aku bisa menang melawan Ibu Heda?
[ Preferensi ]
"Jadi berangkat, Dear?" tanya Lanti di Jumat sore yang cerah.
Aku menggeleng ragu.
"Kenapa? Putus sama Danu?" todong Kemi. "Gara-gara dia nemuin kain yang itu?"
Aku menggeleng lagi.
"Mona sariawan, enggak usah diajak ngomong," celetuk Saga. Kemudian dengan kejamnya menyita kopi sachetan dari tanganku. Lelaki yang memorakporandakan kedamaian yang baru terjalin di antara aku dan Danu itu malah bersiul-siul menuju pantry.
"Gue enggak tahu mau berangkat apa enggak," keluhku, setelah menyadari baik Kemi maupun Lanti enggak memalingkan mukanya.
"Kenapa?"
"Terakhir kali gue ngomong sama dia, gue nanyain undangan," ucapku. Kemi menarik kursi Saga yang terletak di sampingku.
"Nyimak!" sambar Saga seraya bersandar di dinding kubikelku. Aroma kopi di gelas yang dia pegang menguar memenuhi ruangan.
"Lo kira lagi materi atau kelas apaan," sewot Kemi. "Lanjut, Mon!"
"Ya... Danu bilang undangannya abis. Cuma—"
"Cuma?"
"Cuma gue ngerasa itu alasan dia aja. Lo tau kan, Kem, Ga, Lan, gue di sana kemarin kayak layangan putus. Enggak ada temennya. Hanya Danu yang bisa gue andalkan, maksud gue. Lo ngerti enggak?"
Kemi mengangkat bahu dan Saga menggeleng. Ih... bocah-bocah ini kalau lagi lemot suka kompak!
"Maksud gue, kalau Danu enggak benar-benar niat ngundang gue, gue di sana pasti bengong enggak ada temennya. Lo tau sendiri sikap keluarga Danu ke gue gimana. Jangan-jangan, gue ke sana malah dianggap tamu biasa." Padahal sebenarnya aku menyimpan sedikit ketakutan di hati, bagaimanapun di pertemuan terakhir dengan Danu kami sempat bersitegang soal kain seragam sialan itu. Aku... agak khawatir dengan reaksi Danu nanti. Kalau soal keluarganya sih jangan ditanya. Ibunya menyambutku dengan 'hangat' itu sudah menjadi kewajaran. Tapi, Danu—
"Ya udah, enggak usah datang aja," titah Kemi.
"Ya enggak enak juga, Kem, nanti kalau di sana ada si ceria-ceria itu gimana?"
"Kok kamu mengkhawatirkan Ceria itu, Mon?" tanya Lanti. "Bukannya—"
"Sebentar," potong Saga. "Lo mau datang ke undangan kakaknya Danu buat mengenal seluruh keluarga besar Danu atau cuma nunjukin posisi lo sebagai pacar Danu dan bukannya Si Ceri-ceri itu?" tuding Saga tajam.
"Eng...," aku memijat sisi keningku, "dua-duanya, sih."
"Ya sudah, lo datang aja. Tapi—"
"Tapi apa, Kem?"
"Dengerin gue kali ini, Mon. Tapi, lo kudu melenyapkan segala ekspektasi sambutan keluarga Danu bakal baik-baik saja. Tujuan lo datang ke situ yang utama buat nunjukin posisi lo. Ya kan?" ucap Kemi kejam, aku cuma bisa mengangguk sebagai tanggapan. "Jadi, gimanapun nanti reaksi keluarga besarnya, lo kudu nahan diri. Yang penting Danu tetap gandeng tangan lo dan ngenalin lo sebagai pacarnya. Kalau dia enggak begitu—"
"Terserah lo ke depannya," jawab Saga. "Lo yang paling tahu perasaan lo gimana. Cuma gue enggak mau lihat lo selalu merana."
"Emang gue merana?" pekikku.
"Kamu udah jarang senyum dan ketawa, Mon," ucap Lanti. "Iya sih, dari dulu kamu serius orangnya. Cuma enggak tegangan tinggi melulu kayak akhir-akhir ini. Atau mungkin—"
"Atau apa, Lan?"
"Atau mungkin kamu merasa dicekik target-target kamu, Dear. Mungkin ada baiknya kamu ngasi sedikit jeda untuk targ—"
"Enggak ada yang salah sama target gue," potongku dingin, membuat Lanti menekap mulutnya. "Sorry, Lan, ini prinsip gue. Dan gue punya alasan ngelakuinnya."
"Oke... oke, lo langsung panas begini nih, Mon, itu yang Lanti bilang lo sekarang tegangan tinggi melulu," ujar Saga. "Lanti cuma peduli itu. Dan sekarang terserah lo deh, maunya gimana.
"Emph... maaf... maaf, Lan, gue enggak bermaksud gimana sama kalimat gue tadi. Gue beneran minta maaf," ungkapku.
"Iya, Mon, iya," Lanti memeluk pundakku. "Sekarang rencana kamu gimana, Mon?"
"Kalau gue ke sana tapi kalian ikut gimana?" putusku akhirnya, setelah lama kami terdiam.
"Heh?"
"Jaga-jaga kalau gue di sana enggak ada temennya sih. Ya, mau, ya?" bujukku. "Berangkat pake pesawat Minggu pagi, langsung ke kediaman Danu."
"Waduh! Duit gue cekak, Mon!"
"Ih, Saga, aku jual rubik-rubik kamu itu, lho," ancam Lanti. "Kita nemenin Mona ke sana, sekalian refreshing. Enggak mau kan kejadian kemarin menimpa Mona lagi. Jujur aja, aku kasian mendengar cerita Mona. Gimanapun baiknya mantannya Danu, itu kan sudah jadi mantan, ya. Justru kita yang harus nunjukkin kebaikan Mona yang enggan dilihat sama Ibunya Danu. Ya kan, Mon?" Aku speechless, Si Hopeless Romantic ini selalu berpikir baik dan pembela garis depan untukku. "Count me in!"
"Thanks, Lan."
"Gue ikut," ucap Kemi. "Asal lo enggak gila aja ngajak Rajanya Singa."
Aku tertawa pelan mengikuti sudut mata Kemi. Gadis itu melirik ke tempat Arga sibuk entah menelepon siapa.
"Bayarin tiket gue," pungkas Saga akhirnya.
[ Preferensi ]
"Dia sibuk," ucap Lanti sambil meremas tanganku. Tanpa aku perlu bicara, gadis berkacamata ini memahami kelakuanku yang sedari tadi bolak-balik mengecek ponselku. Ya, aku mengirim pesan singkat tentang keberangkatan kami ke Surabaya. Namun, hingga detik aku menginjakkan kaki di depan gedung tempat resepsi Mbak Dinara, enggak satu pun pesan balasan masuk.
"Ramai banget, mungkin ponselnya di rumah," tambah Saga.
Jadi, bocah kupret ini juga sadar?
"Habis dia berangkat kemarin, lo ada komunikasi enggak, Mon?" Giliran Kemi bertanya. Gadis mungil itu menunduk membenahi tali heels-nya yang lepas. Juntaian rambutnya di sisi sebelah kiri menutupi pipinya, membuat rambutnya yang bulan ini berwarna biru cerah itu kelihatan elegan. Yah, setidaknya hasil dandanan kilat kami di toilet bandara enggak buruk-buruk amat.
"Ada, sih. Gue cuma nanya soal nyokapnya. Kamis malam udah keluar dari rumah sakit. Gue enggak banyak bicara soal lain, karena dia jawabnya pendek-pendek," ujarku.
"Ya... kali nyokapnya sakit, kakaknya mau perhelatan akbar, lo nanya banyak-banyak," timpal Kemi. "Ya udah, kita masuk nih?" ajaknya.
Kami berempat melangkah dengan yakin memasuki gedung acara. Disambut oleh beberapa penerima tamu yang tampaknya keluarga Danu, soalnya mengenakan seragam sialan itu. Keduanya menatapku yang tampaknya serasi dengan warna baju mereka. Mata kami berkeliaran, jelas mencari sosok Danu di antara padatnya tamu.
"Tuh, Danu!" tunjuk Saga.
Dahiku langsung mengerut begitu menyadari Danu yang tengah membaur di antara tamu. Bercakap akrab dan mempersilakan serombongan orang itu menempati tempat duduk. Yang membuatku sedikit nyeri adalah... Danu mengenakan baju seragam persis seperti yang dipakai penerima tamu. Itu artinya... pakaian yang kemarin dijahit di butik Tante Novi—
"Danu!" panggilku. Lelaki itu menoleh, kemudian seakan terkejut dengan kehadiran kami. "Aku ngajak mereka," lanjutku.
Danu memegang pundakku, memeluk sebentar dan kemudian berkata, "Berangkat kapan, Yang? Nginap di mana?"
"Enggak. Tadi pake pesawat pagi. Langsung ke sini."
"Udah makan? Ambil panganan dulu aja, Yang. Ga, Kem, Lan, di sana ada panganan. Sambil nunggu makan besarnya," ucap Danu menunjuk ke sudut kiri gedung.
"Kebetulan, gue lapar banget ini," ucap Saga. Ya ampun... padahal di bandara tadi Saga sudah menodong sarapan eksklusif yang mampu membobol dompetku.
"Nanti aja," tolakku. "Ibu mana? Aku mau nyapa."
Kepala Danu menoleh ke atas singgasana. Ibunya tengah duduk mendampingi Mbak Dinara dan suaminya yang menjadi ratu sehari. Acara sudah setengah jalan nampaknya. Sebentar lagi puncaknya tamu-tamu menikmati hidangan dan bersalaman.
"Yang baju hijau, keluarga kamu semua?" tanyaku. Maksudnya biar Danu peka sama pakaian yang dia kenakan.
"Sebagian keluarga suaminya Mbak Dinar. Nah... yang itu... yang itu, keluargaku," ucapnya. Ini Danu enggak ada keinginan menyeret aku terus kenalan ke keluarga besarnya gitu?
"Oh." Emangnya aku bisa nanggepin gimana?
"Bentar ya, Yang. Itu yang baru datang keluarga dari almarhum Bapak," tunjuk Danu ke serombongan yang baru masuk dan celingukan mencari tuan rumah sepertinya.
Aku diam tapi ikut mengekori Danu, tak lupa memberi kode kepada ketiga sahabatku untuk mengambil panganan atau apa saja. Sepertinya Danu tidak menunjukkan tanda-tanda negatif akan kehadiranku.
"Pakde," sapanya. "Apa kabar?"
"Eh, baik, Nu. Ya ampun, udah besar kamu, ya. Udah jarang main ke Magelang," ucap Bapak-bapak berperut buncit yang Danu sapa sebagai Pakde.
"Iya, Pakde. Soalnya kerjanya di Jakarta." Danu tertawa ramah. "Mari, Pakde," ajaknya ke sudut yang kutebak dihuni keluarga besar Danu.
"Kamu sehat, Nu?" tanya Ibu-ibu yang mungkin istrinya Pakde-pakde ini.
"Sehat, nggih, Bude," jawab Danu. "Bude Amin juga baru tadi malam datang," lanjut Danu. Dan kemudian seperti yang bisa kuperkirakan terjadi lonjakan gempita kasak-kusuk karena reuni keluarga. Semua berpelukan dan bertukar kabar dengan hebohnya. Cuma aku yang kebingungan, berdiri satu meter di belakang Danu yang ikut dalam euforia itu.
"Kamu, Nu, kapan nyusul jadinya?" celetuk Bude entah siapa tadi kepada Danu yang masih tertawa. Aku menajamkan pendengaran menunggu jawaban Danu.
"Nanti, Bude, kalau udah saatnya pasti dikabari. Bude tunggu aja," ucap Danu diplomatis. Hedeh... jawab dong: lagi direncanain, gitu!
"Ceriaaa... ya ampun, Nak, kamu makin cantik aja!" Teriakan heboh itu membuatku mengangkat kepala. "Udah lama Bude enggak lihat kamu, ih!" lanjut beliau.
Dan di sana, dua meter dari tempat aku berdiri, gadis itu mengikis jarak dan seolah melemparkan diri ke pelukan Bude-entah-siapa. Cipika-cipiki bertukar kabar.
Aku membeku. Saat Ceria menegakkan badannya lepas dari pelukan Bude-entahlah-itu, baru kusadari kalau dia juga mengenakan seragam yang sama. Seragam keluarga besar Danu.
Aku menutup mata, menyadari bahwa meskipun yang melekat di tubuhku ini senada, tapi jelas ini berbeda. Aku... tetap di luar lingkaran keluarga Danu, ternyata.
Ada perih yang menusuk ulu hatiku secara tiba-tiba.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top