14. Malah Dipelototin
Sudah kubilang segala sesuatu yang enggak direncanakan itu hanya akan menghasilkan hal yang buruk. Kalau kalian mengerti maksudku, ya, menonjok anak Bos Besarmu tanpa berpikir matang terlebih dahulu itu salah satunya. Kalau ada karyawan yang selamat setelah menganiaya orang yang ternyata enggak bersalah—terutama kalau dia adalah pembesar kantor—mungkin hanya keajaiban yang setara dengan mukjizat. Ah... sudahlah. Makanya, segala sesuatu di luar to do list-ku itu biasanya berakhir kacau.
Kalau sudah begini, apalagi yang bisa dilakukan kecuali siap-siap angkat kaki mencari tempat piring nasi yang baru. Aku bisa saja melenggang tanpa dosa menerima tawaran Haikal tempo hari. Meski aku ragu, kantor ini bakal mau mengeluarkan surat rekomendasi bekerja dengan baik. Namun aku juga memikirkan nasib ketiga cecunguk yang jadi biang kerok kejadian ini. Bagaimanapun, kalau aku bisa memperoleh kantor baru, mereka harus bisa diseret serta. Enggak mungkin aku membiarkan mereka jadi gembel di Jakarta.
"Gue yang bakal menghadap," ujar Kemi, memecah kesunyian di antara kami.
Asal tahu saja, hingga menjelang waktu makan siang, enggak ada sedikit pun panggilan dari Pak Arven sebagai tindak lanjut kelakuan sadis kami kemarin. Dari awalnya ketakutan masuk kantor, hingga akhirnya bingung sendiri karena persidangan enggak kunjung digelar.
"Jangan ih, kita nunggu aja," tukas Lanti. "Siapa tau kan Pak Arga lupa," lanjutnya seraya menggigiti bibir.
Saga mengeluarkan ekspresi meringis, tanpa sadar aku ikut memutar bola mata. "Ya kali lupa, Lan. Rahang bonyok gitu enggak mungkin lupa."
"Terus, kenapa kita enggak dipanggil-panggil?" gumam Lanti.
"Entahlah."
"Gue enggak enak banget kayak gini, kalau emang mau marah dan ngehukum mending sekarang aja. Makin lambat, perasaan gue makin enggak keruan," desah Kemi.
"Lo kira cuma lo yang ngerasa gitu," omelku. "Semua juga bingung, Kem."
"Makanya, mending gue ke dalam aja nyerahin diri," putusnya tiba-tiba. "Gue bakal ngaku kalau kemarin gue shock dan bertingkah alay. Reaksi kalian murni karena gue yang histeris."
"Maksud lo, lo mau nyerahin diri gitu aja?" cegah Saga. "Enggak!"
"Biarin, Ga, biar gue yang tanggung jawab," pungkasnya mantap.
Terlepas dari alasan Kemi yang sungguh ajaib kemarin—aku sampai malas membahasnya—menurutku yang paling pantas menerima hukuman adalah aku dan Kemi. Paling enggak, kelakuan kamilah yang menyebabkan Arga cedera. Saga hanya mengamankan Kemi dalam dekapannya sementara Lanti cuma sempat menangis.
"Enggak, Kem! Kalo lo maju ke dalam, gue ikut," putusku.
"Jangan somplak deh, Mon," sergahnya. "Gue enggak mau lo nyia-nyiain karir yang udah lo rintis dari awal. Lo pikir gue tega?"
"Tapi, gue yang nonjok," ungkapku. "Lagian kalau kita dipecat, gue udah ada tempat cadangan baru," ujarku menenangkan. Sebenarnya hal ini kuucapkan biar Kemi enggak merasa lebih bersalah saja. Aku juga sudah pening memikirkan harus beradaptasi di lingkungan baru. Tapi, ya tetap saja, mau enggak mau ketimbang harus jadi pengangguran di Jakarta.
"Yah... baguslah, Mon, paling enggak lo selamat," ucapnya. "Ada harapan baru," tambahnya lesu.
"Gue dapet, lo juga kudu ikut, Kem," tekadku. "Kalo gue keterima, gue pastiin mereka ikut ngerekrut lo."
"Gue ikut!" cetus Saga. "Di mana?"
"Aku juga," sambung Lanti.
Astaga... teman-temanku ini memang ajaib. Mereka bahkan enggak mikir di sana nanti jadi apa, digaji berapa, yang penting bisa tetap sama-sama. Itulah makanya aku enggan pindah kantor kalau bisa. Dengan tim sesolid ini, aku enggak yakin bisa dapat lagi kalau di tempat lain.
"Kalian mau kudeta?" Suara Arga yang entah kapan berada di sekitar kubikel membuat kami semua terkesiap. Masih terlihat jelas jejak tangan nakalku di rahangnya.
"Kalau maksud Bapak kami ingin menggulingkan kekuasaan, itu salah, Pak," ucap Kemi.
"Kami justru mau mengundurkan diri," sambung Saga.
Mata Arga menyipit, "Kenapa?"
Aku ternganga. Apakah Arga sedang berpura-pura lupa kejadian kemarin atau dia hanya mencari-cari cara agar Kemi—atau mungkin kami semua—mengakui kesalahannya secara gamblang?
"Ini soal kejadian kemarin. Saya memang bereaksi berlebihan," aku Kemi. "Dan—"
"Mengajak resign satu pasukan khusus itu sama saja dengan melemahkan benteng kerajaan," potong Arga. "Itu bentuk lain dari kudeta."
"Maksud Bapak?" kejarku.
"Apa kalian mendengar saya mempermasalahkan kejadian kemarin?"
"Hah?" Kemi mengerjap berulangkali.
"Yang tahu kejadian kemarin hanya kita berlima. Kalau berita ini sampai ke telinga Pak Arven," aku lagi-lagi dikagetkan oleh Arga yang menyebut ayahnya sendiri dengan ucapan formal, "berarti salah satu dari kalian yang membocorkannya."
"Maksudnya, Pak?"
"Itu sebuah ketidaksengajaan. Dan itu wajar. End of discussion," ucapnya santai.
"Pak, tapi itu—" tunjukku ke arah rahang Arga.
"Jatuh dan cedera bagi lelaki itu biasa, iya kan, Ga?" tanyanya retoris kepada Saga.
Saga mengangguk-angguk cepat, seperti kerasukan boneka di dasbor mobilnya yang selalu menunduk-nunduk jika terkena cahaya matahari. "Maksud Bapak, ini bukan masalah? Kami enggak dipecat?" tanya Saga.
Arga hanya mengangkat bahu. Tatapan tajamnya singgah di wajah Kemi yang memucat. Entah maksudnya apa, mungkin menunggu si pembuat onar meminta maaf.
"Saya minta maaf," lirih Kemi.
"Hm?"
"Saya yang bereaksi berlebihan dan kerasukan mungkin," cicitnya semakin pelan.
Arga hanya mengangkat alis. Mereka berdua bertatapan sedemikian lama. Entah apa maksudnya. Yang kutahu, akhirnya Kemi menarik bibirnya ke kiri dan ke kanan. Gadis mungil itu memberikan senyuman. Meskipun lebih mirip seringai karena aku yakin Kemi salah tingkah. Arga memang kurang ajar, lelaki itu mampu menatap Kemi tanpa berkedip.
"Uhm... Kemilau," ucap Arga. "Meski kemarin itu bukan yang pertama kali saya dipanjat oleh wanita," aku mengerutkan dahi karena Arga memeragakan kelakuan Kemi dengan nyaris sempurna, "dan jujur saya bilang kalau kelakuan kamu adalah yang paling berkesan," lanjut Arga meringis.
"Wah... berkesan," tukas Lanti. "Itu berarti—"
"Karena sakitnya," jawab Arga memupus bayangan romantis apa pun yang berlarian di benak Lanti.
"Ng... Ma-maaf, Pak, saya benar-benar—"
Arga mengarahkan tubuhnya ke arah Kemi. Terlihat sangat mengintimidasi karena perbedaan tinggi mereka yang mencolok. Kemi harus mendongakkan kepalanya sampai maksimal. "Tapi, jangan berharap karena saya anggap berkesan, lalu di kemudian hari kamu berpikir hal yang tidak-tidak."
"Maksud Bapak?" Nada berang jelas enggak bisa disembunyikan makhluk berambut ombre itu dengan baik. Padahal seharusnya Kemi mampu menahan amarahnya akibat sindiran Arga.
"Jangan pernah bermimpi bahwa saya akan tertarik sama kamu karena ulah kamu kemarin."
"Siapa yang berpikir demikian, wahai Bapak King?" cecar Kemi. "Saya sama sekali enggak pernah—"
"Saya hanya memperingatkan. Saya enggak mau menghancurkan imajinasi kamu kalau suatu saat kamu bermimpi menaiki tubuh saya lagi!"
"F*ck you!" desis Kemi, tangannya terkepal erat. Aku tahu pengendalian emosinya sudah hampir meledak.
"Oh... itu juga yang harus kamu ketahui. Saya kalau mau nge-f*ck juga pilih-pilih," tegas Arga, kemudian berlalu meninggalkan kami.
Aku tahu, seandainya Saga tidak mencengkeram erat tangannya, Kemi pasti sudah mengulangi penyerangan brutal terhadap Arga!
[ Preferensi ]
"Semua kelar dengan baik," ungkapku. Sekali lagi mengembuskan napas lega.
Jujur, dari limabelas menit yang lalu aku menyerocos kronologi kejadian Kemi hingga peringatan Arga yang membuat gadis mungil itu ingin mengamuk lagi. Aku melakukannya hanya karena bingung mau bicara apa pada sosok yang menyetir diam di sampingku.
"Bagus. Jangan diulangi lagi, Yang," tuturnya dengan sangat datar. Oh my, aku sudah berbuih-buih cerita lho, ini. "Emosi seringkali membuat tindakanmu jadi enggak masuk akal."
Hah?
"Maksudmu, Nu?"
"Enggak papa," jawabnya malas. "Cuma mengingatkan kamu untuk enggak ngulangin lagi."
"Tanpa harus dikasih tahu juga aku paham, Nu. Mana mungkin aku menonjok lagi anak Kaisar di kantor itu," dengkusku.
Danu lagi-lagi diam. Mengarahkan mobilnya ke pintu gerbang masuk ke komplek rumah kontrakanku. Entahlah, aku merasa perkelahian kami kali ini lebih runcing dari sebelumnya. Aku sebenarnya ingin sekali membahas permasalahan kemarin. Tentang ibunya, tentang Ceria, tentang semuanya. Namun, ada satu hal yang menahanku bicara. Gestur lelah Danu yang terlihat hingga ke matanya. Aku lupa memerhatikan, apakah Danu kecapekan sejak bolak-balik Surabaya atau—
"Nu, aku cuma mau bilang, makan yang teratur, ya," ungkapku setelah melepaskan sabuk pengaman. "Istirahat yang cukup."
"Makasih, Yang," jawabnya, dan untuk pertama kalinya tersenyum.
"Nu," panggilku seraya menumpangkan kepala di bahunya. Berharap Danu mengerti dan memelukku seperti biasa. Untung saja Tuhan masih berbaik hati, Danu ikut melepaskan sabuk pengaman dan menepuk-nepuk punggungku. Rangkulannya masih sama. Apakah hatinya juga masih sama?
"Iya, Sayang. Kamu juga, pasti capek."
"Nu," ucapku dengan suara tersekat. Sesak banget rasanya. "Apa pun yang terjadi kemarin, aku enggak pernah berpikir buat menyerah sama keluarga kamu," lanjutku pelan. "Tapi, tolong bantu aku, Nu," pintaku akhirnya, dan setengah menit setelahnya, hujan menuruni pipiku, membuat kemeja Danu basah karena air mata.
"Aku selalu berjuang untuk kita, Yang," jawabnya. "Hanya saja, aku ingin kamu lebih sabar lagi menghadapi semua itu. Itulah kenapa kemarin aku belum bisa mengajak kamu bertemu Ibu. Ini yang aku takutkan."
"Hm?"
"Ibu masih menganggap Ceria adalah pacarku dan kami enggak pernah putus. Aku butuh waktu buat meyakinkan Ibu sebelum mengajak kamu bertemu beliau sebenarnya."
"Kenapa kamu enggak bilang?" ucapku, menahan jengkel di dada.
"Aku sudah berusaha bilang, tapi semua argumen aku kamu patahkan, dan kamu mengambil langkah sendiri."
Aku menelan kekalahan. Sebenarnya bisa saja aku melanjutkan pembicaraan ini jadi perdebatan. Tapi, mengajak pacarmu yang kelelahan untuk perang bintang jelas hanya akan menghasilkan kawah murka sebesar Australia. Lagipula, kata-kata Bang Yo dan Saga terus-terusan mengingatkan aku. Bahwa aku harus lebih sabar dan menurut pada Danu.
"Tapi, kamu enggak nyerah kan, Nu?" ucapku akhirnya.
"Kalau aku nyerah, hari ini kamu pulang naik taksi, Sayang," jawabnya langsung. Matanya sudah berkilat jenaka. Aku yakin, sebentar lagi mobil akan berguncang dengan ciuman liar kami.
Aku tersenyum sejenak, menekan semua yang kurasa. Aku tahu, masalah kemarin masih jauh dari kata selesai. Tapi, seperti yang selalu Bang Yo bilang, ada kalanya aku butuh pit stop dalam setiap checkpoint-ku. Tempat untuk beristirahat sejenak untuk target-targetku. Dalam hal ini, memberi ruang sebentar agar Danu kembali fit untuk membahasnya. Siapa bilang aku bakal melupakan kesakitan kemarin?
"Makasih, Nu."
"Oh, iya. Kemarin pas di Surabaya, Mbak Dinar gimana?"
"So far, baik," jawabku kelu. Masih teringat kata-kata Mbak Dinara tentang aku yang terlalu percaya diri datang terlebih dahulu, meski kata-katanya diperhalus.
"Mbak Dinar ngirim contoh desain undangan dia dari percetakan. Kamu mau lihat?" tawarnya. Tanpa menunggu jawabanku, Danu menyerahkan ponselnya. Ini kapan ciumannya, sih?
Aku menerima dan menatap desain undangan yang terbuka. Menggeser-geser ke kiri dan ke kanan untuk melihat lebih detail. Sesekali kuperbesar. Undangan berwarna cokelat tua yang dipenuhi juluran akar atau apalah. Ada beberapa bentuk figur wayang yang kutak tahu siapa saja namanya.
Serius? Mbak Dinara ini termasuk makhluk kudet atau gimana sih? Kok desainnya norak gini?
"Ini emang konsepnya harus banget pake ukiran wayang-wayang ini?" tunjukku.
"Ibu yang minta."
"Eng... ini duaribu tujuhbelas, Nu. Undangan tuh simpel-simpel gitu. Coba deh browsing," saranku. "Mumpung belum dicetak. Kasi tahu Mbak Dinara, sekarang itu yang lagi trend undangan minimalis gitu. Tulisannya juga bukan undangan, tapi save the date atau apa gitu."
"Iya, tapi Ibu maunya gaya klasik. Pakai amplop dan berbau-bau Jawa gitu."
"Ya ampun, Ibumu benar-benar ya, Nu. Yang kawin kan bukan dia, tapi kemauannya itu lho udah enggak sesuai sama perkembangan zaman. Kasin kan Mbak Dinara, nikah sekarang tapi propertinya masih sezaman sama Flinstone," cerocosku.
Mata Danu melotot. Emangnya aku salah kata lagi ya?
Aku... hanya mencoba jujur sebenarnya. Tapi...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top