13. Mendadak Impulsif

Beberapa penggerak perusahaan mungkin berpendapat bahwa kegiatan semacam familyday, outing, gathering atau istilah sederhananya piknik bersama itu bertujuan meningkatkan kinerja. Karyawan difasilitasi dengan berbagai hal untuk mengakrabkan diri, membentuk timm, meningkatkan motivasi persaingan sehat dan... endebra endebre. Padahal, sesuatu yang paling efektif untuk mencapai itu semua adalah... peningkatan kesejahteraan alias kenaikan gaji atau kucuran bonus. Untuk apa susah-susah berjemur dan melakukan bermacam-macam game entahlah... yang parahnya agak kekanakkan.

Tapi, toh teman-temanmu menyukainya, Mon.

Itulah, mungkin memang sahabat-sahabat sablengku itu kurang hiburan. Perlombaan absurd semacam mengisi air ke dalam botol menggunakan daun atau ember yang bolong di mana-mana itu saja bikin mereka memekik heboh. Kenapa? Kenapa enggak bawa aja ember sendiri yang enggak bocor atau botol itu dibawa saja ke danau dan biarkan air masuk dengan lancar melalui mulutnya. Aku sungguh enggak paham dengan kumpulan orang-orang yang membuang waktu dengan melakukan hal sia-sia kayak begini. Ckckck.

"Lo enggak mau ikutan, Mon?" Saga menyapaku. Bajunya sudah basah di mana-mana. Rambut yang biasanya jadi andalan kekerenannya itu sekarang lepek tak bernyawa. Dia barusan jadi kapten permainan-entahlah-mengisi-botol-dengan-ember-bocor-yang-enggak-ada-manfaatnya itu. Dan menang.

"Males. Sudah basah, capek pula. Dikit lagi pasti kegelincir. Botolnya enggak penuh-penuh lagi," jawabku skeptis.

"Kata siapa tujuannya biar botol penuh?" tanyanya.

Ya apa lagi memangnya? Kalau penuh kan jelas keluar sebagai pemenangnya. Kemudian dapat sekresek penuh wafer cokelat. Huh!

"Terus? Ngapain kalau bukan itu?"

"Lo lihat mukanya Kemi?" tunjuknya. "Lanti?" Aku mengangguk. "Lo pernah enggak liat muka mereka seserius itu saat kerja tapi sekaligus tertawa paling lepas?"

Aku mengangkat bahu.

"Lo tau kan gimana bawelnya Kemi, semua isi otaknya prasangka negatif?" Aku mengembuskan napas sebagai jawaban. "Hari ini dia dipaksa percaya sama orang-orang satu tim dia. Apa yang lo lihat? Kemi bisa percaya, dia juga menikmati dengan tawanya."

Sekali lagi aku menatap Kemi. Ah... gadis itu memang menyebalkan kadang-kadang. Mulutnya tajam, sering melukai perasaan. Enggak pernah mau mengalah. Tapi, Saga benar... hari ini aku melihat Kemi yang memandang penuh harapan pada teman-teman yang lain. Dia... percaya.

"Gue ngerti maksud lo, Ga," gumamku. "Cuma gue males aja basah-basahan."

"Hoi!" Lanti datang. Enggak kalah beceknya sama Saga. "Enggak ikutan, Mon? Seru tau."

Tim Lanti memenangkan pertandingan barusan, mendapat hadiah sebungkus camilan entah apa. Itu saja sudah membuat mereka seolah memenangkan piala Oscar. Entahlah, efek outbond memang suka berlebihan.

"Jadi, lo kenapa?" tanya Saga. Kami menatap Kemi yang berlarian di sepanjang danau. Asyik sendiri memotret serombongan anak bule yang tengah berebut mainan bebek-bebekkan.

"Apanya?"

"Sejak datang, lo cuma diam, Mon. Lo pikir gue enggak tahu?"

Lagi-lagi kuangkat bahu sebagai jawaban. Sejak menginjakkan kaki di Pulau Dewata, aku memang sengaja meninggalkan ponselku di kamar hotel. Tentu saja untuk melenyapkan keinginan untuk berkomunikasi dengan Danu. Oke, aku bohong—aku tidak membawa-bawa benda itu karena kesal, Danu tidak sekalipun menghubungi sejak kami berpisah di bandara. Daripada aku gatal meneleponnya duluan, lebih baik benda laknat itu kukunci saja di dalam brankas hotel!

Bukannya sudah kewajiban lelaki untuk membujuk pacarnya yang ngambek?

Itu sudah kaidah tak tertulis yang seharusnya dipegang kaum mereka kan? Tapi, kenapa Danu eng—

"Selama di Surabaya, gimana?" Giliran Lanti duduk di sisi kiriku. "Lancar?"

"Kalau lancar mukanya enggak bakal ditekuk gitu," celetuk Saga.

"Entahlah," gumamku.

"Hoi... pose dong!" jeritan Kemi membuat kami menengadah. Hari ini gadis mungil itu mengenakan celana superpendek dengan baju gedombrangan. Salah sedikit, orang-orang bakal berpikir Kemi cuma pakai atasan. Lanti sudah beberapa kali mengganti gaya, Saga tersenyum di sisi kanan dengan tangan menumpang di bahuku. "Mon, ketawa dong. Lo bikin foto yang gue ambil jadi jelek," perintahnya. Aku menyengir seadanya.

"Jangan nempel-nempel, basah ih, Kem," tolakku, saat gadis itu dengan santai bersandar di pahaku dan kemudian mengambil foto kami secara selfie.

"Terima kasih teknologi," gumamnya. "Gue jadi enggak perlu mikir mau ngambil foto sebanyak apa pun."

"Coba kalau masih pakai negatif film, ya," timpal Lanti.

"Itulah, manusia itu berkembang. Mereka berpikir secara terencana, kalau hanya mengandalkan negatif film maka—"

"Mon," potong Kemi. "Enggak usah ngomongin rencana dulu, kenapa? Besok-besok bisa kan?"

Aku menepuk jidat. "Gue belum nyusun jadwal audit buat perusahaan impor barang itu, lho," cetusku.

"Lo enggak usah mikirin itu," kata Saga. "Gue liat anaknya Pak Bos tempo hari udah bikin."

"Heh? Si Arga itu?"

"Yoi," jawab Saga. "Terus, jadinya lo gimana? Selama di Surabaya?"

"Training-nya lancar," jawabku cepat.

"Lo tau banget kalau bukan itu yang kita tanya, Mon," sanggah Kemi. Aku sudah merasakan bagian lengan bajuku basah gara-gara air yang menetes dari rambut Kemi.

"Ya, gitu."

"Gitu gimana?"

Dengan beberapa kali menghela napas, aku menceritakan detail yang terjadi selama di Surabaya. Tentu saja termasuk pertemuan dengan mantan terindah Danu yang langsung membuat mood-ku terjun bebas.

"Wow! Pengusaha!" jerit Saga.

"Pedagang!" sergahku enggak terima. "Dan lo, Kem, lo enggak boleh lagi beli produk dia!" Aku tahu ini kedengarannya egois sekali, tapi percayalah dukungan kecil dari sahabat-sahabat sejatimu yang ikut memboikot produk sainganmu itu adalah salah satu hal yang bisa membuat cewek-cewek bernapas lega. Cewek selalu butuh supporter, terlepas benar atau salah. Sudah tabiat kaum perempuan main keroyokan. Ya kan?

"Waduh!" jerit Kemi. "Eng... gue barusan beli," aku mendelik, "barangnya dikirim besok. Tapi kan, itu sebelum lo ngomong, Mon," ujarnya membela diri.

Hanya Saga yang geleng-geleng kepala. "Dari segala hal yang lo ceritakan, lo hanya terfokus pada jualannya si mantannya Danu itu, Mon?"

"Lo iri, ya?" tuduh Kemi tanpa basa-basi.

"Iri apanya? Gue cuma—"

"Sakit hati karena mantannya Danu ternyata bukan golongan cewek yang bisa lo injak-injak harga dirinya," serobot Saga. "Ya udahlah, Mon, lo harusnya bangga."

"Bangga apaan?"

"Bangga kalau pacar lo si Danu-Danu itu enggak sembarangan milih pacar. Mantannya kayak gitu, dan kalau sekarang dia milih lo, berarti lo lebih dibanding yang sebelumnya. Udah enggak usah mikir lagi."

"Bener, tuh. Kamu kan pacaran sama anaknya, soal ibunya yang menurut kamu gagal move on itu ya mau gimana. Yang penting kan Danunya sama kamu."

"Enggak bisa gitu aja, Lan, gue—"

"Kenapa enggak bisa? Tutup mata aja soal nyokapnya," ujar Danu. "Keep it simple, Mon."

"Tetap aja, kalau dicengin sama mertua tuh enggak enak. Mending tinggalin, cowok lain banyak."

"Kemi!"

"Gue salah? Gue liat di sini cuma Mona yang berjuang, Danu sama sekali enggak. Udahlah, Mon, mending lo—"

"Kemi, ini bukan hanya soal siapa yang kelihatan berjuang dan siapa yang enggak. Mana lo tahu apa yang Danu perjuangkan."

"Emang menurut kamu gimana, Ga?"

"Setahu gue, kalau Danu enggak benar-benar sama Mona, dia enggak bakal ngizinin Mona ketemu sama nyokapnya. Dia hanya enggak bisa nemenin karena waktunya enggak pas. Bukan berarti dia enggak berjuang."

Aku teringat pembicaraan yang meluncur dari bibir Danu saat kami bertengkar di bandara. Mirip seperti yang dikatakan Saga. Tapi, aku bisa apa? Sudah sejauh ini masa aku harus—

"Lalu, gue kudu gimana?" keluhku lelah.

"Bikin Ibunya suka sama kamu, menurutku cuma itu satu-satunya cara."

"No... no," sergah Kemi. "If you can't control his mom. Control her son!" lanjutnya dengan nada licik.

"Hah?"

"Bikin Danu jatuh cinta sampai enggak punya alasan buat ninggalin kamu," saran Lanti.

Aku bergeming. Bicara selalu lebih mudah daripada kenyataannya, memang. Begitu pula saat membuat perencanaan. Semua terlihat gampang, tapi eksekusinya? Siapa yang tahu?

"Yang konkrit dong!" gerutuku. "Masalahnya, gue enggak yakin bisa bikin Danu cinta sampai begitu," keluhku pelan.

"Why?"

Aku mengangkat kepala, menatap ketiga pasang mata yang mengerjap menunggu jawaban. "Setiap kali gue ketemu sama Danu, gue berantem mulu. Kapan gue bisa bikin dia cinta kalau begitu?"

Saga dan Kemi bertatapan. Apa pun yang sedang mereka pikirkan, pasti sesuatu yang enggak baik buat masa depan.

"Lepaskan celana dalam, usaha biar hamil duluan," ucap Saga mantap.

Kupret!

[ Preferensi ]

Satu. Mona harus meminta maaf pada Danu. Setulus-tulusnya.

Aku menghela napas panjang, kemudian menekuri satu persatu kata yang kutulis di buku agendaku. Minta maaf? Kenapa aku? Kenapa enggak Danu?

Kulirik lagi ponselku yang tiga jam lalu kuambil dari brankas dengan hati deg-degan.

Hasilnya nihil.

Enggak ada satu pun pesan atau telepon tak terjawab dari Danu.

Coret! Coret soal minta maaf tadi.

Satu. Aku harus meminta penjelasan kenapa Danu tidak menghubungi sama sekali.

Hatiku sedikit membaik saat melihat deretan kata-kata yang baru.

Dua. Aku harus melarang Danu ikut menjahit baju di butik sesembak yang itu!

Tulisan di baris kedua kutebali dan kustabilo begitu rupa. Supaya tahu bahwa ini adalah prioritas di atas segalanya. Pokoknya Danu enggak boleh ada hubungan sama Ceria, termasuk ukur-mengukur, jahit-menjahit, fitting atau apa. Aku bakal menyuruh dia menjahit di butik langgananku saja.

Tiga. Memberikan maaf setelah Danu meminta maaf dengan tulus.

Untuk pertama kalinya sejak menginjak Pulau Dewata, aku bisa tertawa membahana, sesekali meringis menahan nyeri di dada. Cuma tiga hal sederhana ini yang kuminta, seharusnya sepadan untuk mengganti kesakitan hatiku akibat sikap keluargamu, Nu.

Kalau cewek lain, mungkin sudah balik kanan dan enggan meneruskan hubungan ini.

Tapi aku?

Aku enggak boleh kalah. Aku harus segera menyusun rencan untuk membuat Ibu jatuh cinta! Kalau itu enggak berhasil juga, aku harus bisa menangani anaknya. Aku harus—

"Kemi!" pekikan lantang berasal dari arah belakang membuatku menoleh.

Aku merasakan debaran aneh di dada. Aku bergegas berdiri dan berlari mendekati sumber suara. Di dalam keremangan yang makin lama makin jelas karena jarakku yang tinggal satu meter, Kemilau Hetami tengah menaiki dada Arga.

Bukan! Bukan dalam adegan yang kalian kira. Tapi, Kemi yang mungil seperti memanjat badan Arga dan menjambak keras-keras rambut lelaki itu seraya memaki berulang-ulang!

Astaga!

Saga cepat bergerak meraup Kemi dan menguncinya dalam pelukan. Monster mini itu masih memberontak dan meneriaki Arga yang kulihat menyeka sudut mulutnya. Berdarah. Ada cairan kemerahan yang mengalir pelan di dagu Arga. Lanti menangis mendekap Kemi dari depan dan menjauhkannya dari Arga.

"Kenapa ini?" berondongku.

Arga melangkah mendekati kami.

"Jangan mendekat!" bentakku. Namun, Arga tetap mengikis jaraknya ke arah kami berempat. Kemi semakin histeris dan membuat kepalaku serasa pecah.

"Dengar! Dengar saya—"

Seumur hidup aku belum pernah melihat Kemi menangis separah ini. Ada sakit yang kurasakan menusuk di dada.

"Kemilau, dengar saya—"

"Sekali lagi kamu bicara—" Ucapan Saga terputus karena aku merangsek ke depan. Entahlah apa yang kupikirkan beberapa detik yang lalu, tahu-tahu tinjuku sudah menghantam rahang kiri Arga dengan telak!

"Ouch!" Arga mengaduh.

Apa yang kulakukan barusan? Badanku gemetar dan hampir meluruh seandainya enggak ada tangan kuat yang meraih dan mendekapku kuat.

"Mona, tenang, Mon. Tenang," bisik Saga berulang.

Ya ampun, apa yang barusan kulakukan?

PHK massal enggak pernah ada dalam rencana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top