11. Tuhan Bercanda?
"Bangkai!"
"Sekali lagi lo ngomong gitu, gue coret nama lo dari royalti foto-foto gue," ancamnya sadis. Enggak susah-susah mengecilkan suara, membuat setiap orang dalam radius tiga meter menoleh ke arah kami. Membuat aku keki, karena dia punya sesuatu yang efektif untuk membuatku bungkam. Royalti. Bukan, dia bukan penulis, melainkan seorang fotografer yang sudah sering memenangkan penghargaan atau pun ditampilkan di majalah internasional. Dan si maniak alam bebas itu mensyaratkan sistem royalti bukannya beli putus untuk setiap jepretannya.
"Sekalinya punya sesuatu yang bisa diwariskan terus ngerasa bisa ngancam gue."
"Emang."
Lelaki berahang tegas itu memutar badan, menjauhi aku yang susah payah mengejar langkah-langkah panjangnya. Emang, ya, biasa mengejar singa jadi jalan kaki saja cepet kayak nenek-nenek kebelet pipis.
"Bang Yo, tunggu!"
Ya, pemuda berpenampilan agak gembel dengan rambut dikuncir satu itu adalah Makaio—sering kupelesetkan menjadi Bang Kai—abang paling ajaib sedunia. Mau gimana enggak paling ajaib, aku cuma punya satu abang soalnya.
"Buruan ke kamar, gue capek banget. Jetlag," ketusnya yang kusambut dengan dengusan penuh cela. Sekalinya datang ke Surabaya entah dari belahan dunia mana cuma buat numpang bobo di kamar hotelku? Hih!
Untung dibayari kantor, kalau enggak mana mau aku mengeluarkan duit buat membayar hotel sekelas The Raikan's yang sudah termahsyur kualitasnya di mana-mana. Pemiliknya seorang dokter anestesi yang berdomisili di Jakarta, teman Bang Yo juga. Dulu, sewaktu dia menghelat pernikahan, Bang Yo di dapuk jadi fotografer acaranya.
"Jadi, lo ke sini numpang tidur doang?" tanyaku dongkol. Menempelkan guest card-ku di pintu dan masuk ke dalam, diiringi Bang Yo yang langsung menghempaskan diri di kasur.
What the f*ck!
"Bang! Cuci kaki dulu! Ganti baju! Kotor tau. Seprainya sampe ketarik-tarik gitu."
Bang Yo menelentangkan badan, kemudian berdecak kesal, "Lo enggak berubah, ya, Mon, masih suka ngatur-ngatur." Tapi, enggak urung dia menurut dan memasuki kamar mandi. Sudah enam bulan aku enggak ketemu, memangnya dalam waktu segitu dia pikir aku berubah jadi slebor?
Sementara aku sibuk mengoleskan make up removal-ku. Training sudah berakhir saatnya berguling-guling di kamar hotel dan... melupakan sedikit kejadian pahit kemarin sore. Mungkin saja aku bisa mencoba sauna atau layanan spa. Menguras sedikit tabungan Bang Yo yang nominalnya saja membuat aku tiba-tiba ingin menjelma jadi tukang potret dadakan sepertinya bisa menjadi penawar hati yang luka. Kuberitahu, ya, gaji dan bonus yang masuk ke rekeningku setiap bulan itu enggak ada apa-apanya sama yang diterima Bang Yo dalam sekali jepretan fenomenalnya. Kampret banget memang, kerja cuma sekali klik bayarannya melampuai yang menangis darah gara-gara lembur.
"Nangisin apa, lo?"
Aku terkesiap dan menatap dari cermin, Bang Yo tengah mengeringkan rambutnya yang panjang dengan handuk hotel. Satu lagi dia lilitkan di pinggang. Fix, kedua handuk dia pakai sendiri. Untung aku bawa dari Jakarta.
"Mona, gue tanya lo nangisin apa?" ulangnya.
"Hah?"
"Mata lo sudah kayak panda dijotos drakula."
"Err...."
Entah berapa lapis concealar yang kuoleskan di bawah mata untuk mengurangi pembengkakan akibat tangisan frustrasiku semalam, nyatanya make up remover mengacaukan segalanya. Membuat sosok kakak lelakiku yang 'luar biasa' peka itu menyadarinya. Parahnya, Bang Yo termasuk orang yang akan menelisik sampai ke akar permasalahan. Ditambah lagi, aku benar-benar enggak jago untuk berbohong. Poor Mona!
"Gue bingung ngomongnya," jawabku akhirnya, kemudian ikut mengempaskan diri di sebelah Bang Yo yang menutup matanya dengan bantal.
"Terserah lo," ujarnya singkat, tapi aku tahu dia mendengarkan.
Inilah hal yang selalu kurindukan dari sosok Makaio yang menyebalkan. Demi ambisinya yang menurutku enggak masuk akal dan enggak bisa diprediksi suksesnya—please, ya, menjadi fotografer hewan-hewan di alam lepas itu kan enggak selalu dapat hasil yang bagus, tapi sekali dapet... beuh—membuat kami harus sering terpisah. Otomatis, momen sibling beginian jadi lebih jarang.
"Gue punya pacar."
"Hm."
Coba, kebanyakan kakak lelaki akan mendelik dan menginterogasi adik perempuannya saat tahu memiliki pacar. Tapi, Bang Yo hanya berdeham sebagai tanggapan.
"Kemaren gue ke rumah dia, dan... sambutan keluarganya kurang oke," jawabku akhirnya setelah lima menit terdiam. Kenapa aku enggan langsung menelepon Danu dan menceritakan hal ini? Karena aku ingin menghindari sesuatu yang bakal Danu utarakan dengan permulaan kata 'sudah kubilang kan.'
Sudah cukup aku menangis semalam dan enggak mau ditimpakan kesalahan.
"Bang Yo, tidur?" tanyaku.
"Enggak, nunggu lanjutan ceritanya."
Apa aku jujur saja, ya?
"Jadi, pacar gue ini kerja di Jakarta. Keluarganya di Surabaya. Karena gue mikir sekalian training, ya gue kunjungin aja sekalian."
"Hm."
"Terus, ya, gitu. Sambutannya agak kurang... welcome."
Bang Yo menurunkan bantal yang menutupi kepalanya. "Lo sudah ngomong sama cowok lo itu kalo keluarganya begitu?"
Aku menggeleng. "Males. Nanti paling disalahin," jawabku.
"Kenapa?"
"Awalnya dia minta kenalannya nanti saja, pas nyokapnya pindah ke Jakarta. Sekitar dua bulan lagi. Tapi kan gue—"
"Jadi, lo kenalan sendiri tanpa ada cowok lo itu?"
"Iya."
Bang Yo melemparkan bantal ke mukaku. "Mona... Mona. Ckckck. Lo pasti maksa-maksa, ya, buat ke rumahnya dia?"
Mukaku memerah. "Enggak, bukan gitu, Bang. Gue cuma ngerasa sia-sia banget ngebuang waktu berbulan-bulan nunggu baru dikenalin sama nyokapnya. Kan rencana-rencana gue ke depannya juga bakal mundur. Kan lo tau sendiri."
"Apa?"
"Gara-gara lo enggak ada tanda-tanda bakal kawin, gue kudu inisiatif jadi anak yang bisa dikawinkan. Kasian bonyok, Bang. Udah tua, pengin juga liat anaknya punya gandengan tetap. Nunggu lo nikah, bisa-bisa singa yang lo kejar udah tanggal gigi saking tuanya."
"Jangan bawa-bawa gue!" seru Bang Yo, kemudian membenamkan bantal di mukaku sampai aku meronta-ronta kesulitan bernapas. "Lagian lo pikir nikah itu cuma soal 'udah waktunya', gitu?"
Aku mengangkat bahu. "Yang gue tau, gue nyaman sama dia. Gue udah setahunan deket, terus nunggu apa lagi?"
"Mona... yang namanya nikah itu bukan cuma lo sama dia nyaman. Tapi, karena memang lo enggak bisa nikah kalau enggak sama dia. Ngerti lo? Jangan cuma kebawa target-target lo yang bullshit itu."
Enggak bisa nikah kalau enggak sama dia? See... abangku yang gahar temanan sama badak bercula ini juga termasuk produk hopeless romantic. Mungkin karena satu radar itulah, makanya Lanti bisa naksir Bang Yo. Sama-sama demen novel ajaib. Bedanya, Lanti udah ser-seran, Bang Yo masih menganggap kameranyalah yang memegang tampuk kekuasaan hatinya. Sadis!
"Eh, language ya, anak tua. Dari target-target itulah gue ngebiayain sekolah gue, hidup gue. Apa salahnya?"
"Lo enggak ngerti bedanya?" tanya dengan gaya aku adalah adik paling bego sedunia.
"Enggak."
"Gue masih enggak heran kalau pencapaian target itu soal diri lo sendiri, Mon. Kuliah, kerja, ngabisin duit. Terserah lo. Tapi, soal nikah, lo ngelibatin orang lain dalam prosesnya. Enggak bisa lo main pasang target aja untuk orang yang bukan diri lo. Enggak semua orang berpikiran sama kayak lo. Soal udah waktunya kenalan sama keluarganya, udah waktunya nikah, udah waktunya punya anak. Intinya, otak perencanaan lo yang keterlaluan itu mungkin bisa berlaku kalau objeknya lo doang. Tapi, saat melibatkan orang lain, lo kudu belajar berempati, memahami dan sabar. Ngerti enggak?"
Aku melongo mendapat rukyah gratis sore ini dari orang yang aku tahu paling cuek dan enggak mau tahu urusan orang lain. Memang, ya, sahabatmu selalu bisa mengerti dan juara dalam mendengarkan curhat dan memberi solusi. Tapi, keluargamu? Mereka adalah golongan paling jujur sekaligus pintar menohok secara verbal. Bagaimanapun, tetap saja sayang dan peduli adalah alasannya.
"Terus? Gue harus gimana?"
"Ya, pilihan di tangan lo. Lo udah ngerencanain sejauh ini. Dan gue yakin, training di sini cuma akal-akalan lo biar bisa nyamperin keluarganya?"
Aku memasang muka datar seperti yang biasa dilakukan monyetnya Dora. Hanya mengedip-ngedip saja.
"Kalau lo masih mau sama dia dengan keluarga dia yang begitu, ya, lo harus berjuang ekstra buat dapetin perhatian keluarganya."
"Cariin solusinya, kek, bentuk kongkritnya," dumelku. "Lo kira yang gue lakuin sejauh ini bukan perjuangan?"
"Lo udah tanya cowok lo soal apa aja yang harus lo omongin pas ketemu, atau cara mengambil hati orang tuanya? Atau setidaknya alasan cowok lo menunda perkenalan kalian sampai nanti waktu yang dia bilang. Cowok enggak mungkin menunda tanpa alasan, Mona, pasti ada sesuatu. Tapi, lo enggak sabar kan?"
Aku membuka mulut, tapi enggak ada suara yang keluar.
"Gue benar-benar pengin lihat muka cowok yang teraniaya khilaf suka sama lo. Seberapa tahan dia sabar ngadepin lo? Karena kalo cowok itu gue—dan gue bisa menebak apa saja yang sudah lo lakuin dan rencanain—mungkin sekarang lo enggak di sini."
"Di mana?"
"Gue buang di Segitiga Bermuda."
"Abang!"
"Apa? Gue ngantuk."
"Terus gue harus gimana?"
"Ckckck... kok lo bego sih, Mon? Anaknya yang demen lo itu senjata utama. Gunakan dia."
"Heh?"
"Biarkan dia bicara pada Ibunya tentang kebaikan lo yang enggak bisa dilihat orang banyak, tentang kenapa dia bisa menjadikan lo pacar, dan tentang dia yang tetap mau bertahan meski tau sifat lo super menyebalkan. Ngerti?"
Aku menepuk jidatku keras-keras.
"Kalau cowok lo bilang enggak usah ke rumahnya dulu, lo mending pulang. Nurut!"
"Aduh!"
"Dengerin gue, Mon. Hari ini gue bukan cuma abang lo, tapi gue memposisikan diri sebagai cowok yang peduli sama lo. Satu-satunya hal yang harus lo pelajari dari sekarang adalah nurut."
"Kenapa?"
"Karena lo paling susah dibilangin. Kalau lo enggak nurut, gue yakin bukan hanya ibunya yang menolak lo, anaknya juga bisa kabur tanpa pemberitahuan!"
"Ergh... tapi, Bang, kalau gue ke sana sekali lagi sekalian pamitan?" desakku meminta pendapat.
"Ckckck... lo emang paling susah buat nurut, ya, Mon," ujarnya sambil menghela napas. "Pastikan lo melakukan sesuatu yang mengesankan, dan jangan pernah tunjukkin kalau kemaren lo kecewa. Bisa?"
[ Preferensi ]
Dalam ilmu peperangan, tidak perlu bisa segala hal. Namun, setidaknya mengetahui suatu hal dan memanfaatkannya secara maksimal. Itu yang akan kulakukan.
Aku benar-benar bersyukur bahwa pemilik hotel yang kutempati sekarang adalah teman baik Bang Yo. Jadi, ketika aku mengutarakan niat untuk menyeret Bang Yo ke pasar subuh, lelaki gembel itu hanya menjawab dengan helaan napas. Sejam kemudian, satu paket bahan-bahan pindang ikan bisa kuperoleh tanpa harus bersusah-payah berbecek ria di pasar. Koneksi Bang Yo memang mengerikan.
Kalau Ibunya Danu suka memasak soto, maka aku akan memasakkan pindang ikan sebagai tandingan. Plus membawa semuanya sendiri sebagai persiapan apabila ketiadaan bahan dijadikan alasan. Mona gitu, lho!
Jadilah aku mengetuk lagi pintu rumah keluarga Danu pada pukul sebelas pagi. Berbasa-basi sebentar, kemudian kami akan memulai ritual memasak yang akan mengakrabkan kami semua. Semua orang di rumah ini akan terlena dengan rasa pindang ikan ala Mona! Aku bersumpah akan membuat mereka hanya bisa mengeluarkan puja dan puji. Demi Dewa!
"Eh? Mbak yang kemarin? Nyari Ibu lagi, Mbak?" tanya Ibu-ibu yang kemarin menyiram tanaman.
"Nyari siapa aja yang ada. Maaf, kita belum berkenalan. Dengan Ibu siapa?" tanyaku mencoba sesopan mungkin.
"Panggil saja Bibi, Mbak, silakan masuk. Kebetulan lagi pada ngumpul di ruang tengah."
Aku mengangguk, kemudian melangkah menuju tempat yang disebutkan. Ada sosok Ibu Danu yang sedang tertawa. Sepertinya aku datang di saat yang tepat, suasana hatinya sedang baik, nih. Di sebelah Ibu Danu, adaMbak Dinara yang entah tengah bicara dengan siapa. Sosok itu membelakangiku.
"Iya, Ri, mungkin perpaduan gold sama hijau lemon bagus, ya, cerah." Itu suara Mbak Dinara. Tangannya memegang beberapa kain dengan sikap membanding-bandingkan.
"Apa enggak terlalu ngejreng untuk yang tua, Din?" sela Ibu Danu.
"Tergantung model, Bu, nanti disesuaikan. Untuk Ibu dibanyakin gold-nya, jadi tetap bagus." Kali ini yang bicara adalah cewek yang sepertinya tukang kain atau tukang jahit. "Nanti desainnya coba kubikinin dulu, kalau Ibu suka lanjut deh dijahit."
"Kamu selalu paling mengerti Ibu, Nak," ucap Ibunya Danu sambil menepuk-nepuk pundak cewek itu.
"Emph... permisi," ucapku pelan. Ibu dan Mbak Dinara mendengak, aku berusaha memberikan senyum paling baik hati yang aku bisa. "Saya ke sini bawa bahan pindang ikan," lanjutku kikuk, mengangkat dua kantong kresek yang kutenteng sejak dari hotel.
Lalu, waktu seakan melambat saat cewek tukang kain itu ikut menoleh ke arahku. Dia mengerjapkan mata besarnya seakan ingin tahu. Di saat yang sama, duniaku seolah mengalami pembekuan. Kena efek sinar keanggunan dan kecantikan tak terbantahkan.
Cewek tukang kain sialan itu tak lain dan tak bukan adalah Ceria, mantan pacar Danu yang fotonya tempo hari membuatku hampir gila!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top