10. Kacang... Kacang
Bekerja menjadi seorang auditor itu sebenarnya adalah belajar yang dibayar. Oh... jangan mengerutkan keningmu dulu, tapi coba dengarkan analogi yang aku paparkan. Setiap klien yang kami terima, enggak ada satu pun yang memiliki permasalahan identik, karena itu setiap kasus selalu punya penyelesaian berbeda. Mau enggak mau, aku harus terus belajar kan artinya? Bagaimana bisa mengelak, karena hasil dari belajar tadi itulah yang bisa membuat kantor mengucurkan gaji padaku. Setiap kali menerima pekerjaan, setiap itu pula aku harus belajar kembali untuk menyelesaikannya. Belajar... tanpa akhir. Asyik kan?
Aslinya, aku juga pengin muntah-muntah, kok. Bukan cuma kalian saja yang pening membacanya. Yang tadi cuma pencitraan doang.
Kenapa? Karena teori itu seringkali enggak sesuai dengan fakta di lapangan. What did I know yang udah terpeta di buku-buku hasil training ternyata enggak match sama what should I do. Begitulah.
Karena itulah aku di sini, terjebak di antara puluhan mata mengantuk saat mendengarkan narasumber mengoceh tentang segala hal yang sudah tercetak jelas di textbook auditing.
"Yang terpenting saat menjadi seorang partner adalah kepekaan. Rasa ingin tahu. Insting auditornya jalan. Sehingga, jika ada sesuatu yang tidak beres, kita bisa menciumnya di depan. Tidak menunggu bawahan datang dan mengadu saat masalah tersebut sudah di tahap yang susah untuk diselesaikan. Sampai di sini mengerti, Bapak-bapak, Ibu-ibu?"
Semua yang disampaikan narasumber menguap seperti asap saat coffee break tiba. Kebanyakan bapak-bapak berumur dan berperut gendut terburu-buru keluar ruangan untuk menghidup udara kebebasan. Memang benar hasil penelitian, semakin tua umur, semakin susah untuk menerima pelajaran.
Enggak perlu memutar mata dan berdalih, sewaktu jadi mahasiswa saja kutukan sepuluh menit ini sudah menghantui hampir semua orang. Sepuluh menit pertama menyimak dengan baik, sepuluh menit kedua mulai memerhatikan lingkungan sekitar, sepuluh menit ketiga mulai bergumam aneh tentang 'dosen di depan sedang berbuih-buih ngomongin apa', sepuluh menit ke empat hanya ada raga di dalam ruangan, jiwa sudah melayang bebas entah ke mana. Begitulah seterusnya, sampai petuah di akhir kuliah lebih berefek kafein ketimbang kopi yang diminum sebelum berangkat tadi.
Karena aku enggan termasuk di golongan itu, aku sudah menyiapkan alat perekam untuk sewaktu-waktu didengarkan ulang. Itulah bedanya aku dan orang-orang, aku sudah menyiapkan segalanya sebelum menghadapi medan.
"Ibu Mona?" Suara seseorang memanggilku. Masih muda, kalau dari tampang sih masuk kategori lumayan, tapi selalu ada suatu hal yang hanya bisa dipancarkan oleh lelaki semacam ini. Kharisma lelaki mapan. Dan sepertinya, aku agak familier dengan wajahnya.
"Ya?"
"Saya salut karena Ibu aktif bertanya," ujarnya, membuat cuping hidungku melebar otomatis. "Enggak banyak orang yang masih memerhatikan penjelasan, kemudian bertanya dalam bentuk kasus. Kebanyakan, ya seperti yang bisa kita lihat. Ngantuk."
Dia terkekeh, kusambut dengan sunggingan sopan. Hitung-hitung latihan, ya, untuk senyum berkelas demi menaklukan Ibunya Danu nanti.
"Karena banyak yang belum saya tau, dengan Bapak siapa, maaf?" jawabku dengan menyisipkan nada bertanya.
"Haikal. Dari Ernst & Young," jawabnya.
Kuberitahu ya, dalam training seperti ini kesempatan kita untuk 'dipinang' juga terbuka lebar. Siapa pun yang menurut mereka berpotensi bisa saja diciduk untuk pindah tempat kerja. Apalagi untuk level-level auditor senior, turnover karyawan akibat perusahaan lain menawarkan payout yang lebih besar itu tinggi. Zaman sekarang, hal itu wajar terjadi. Siapa yang mampu membayar lebih tinggi, ke sanalah kita mengabdikan diri. Right?
"Pak Haikal," sapaku. "Iya, soalnya memang saya beruntung sekali bisa mengikuti training ini. Saya masih manager soalnya," ucapku jujur. "Atasan saya ngasih kesempatan. Jadi, enggak boleh saya sia-siain."
Yang benar adalah aku sudah mencari daftar pertanyaan yang kalau ditanyakan saat training ini bisa menggugah orang-orang. Begitulah aku, selalu selangkah di depan.
"Wah... tapi dengan kemampuan sistematis yang tadi Ibu paparkan seharusnya sudah menduduki level partner, lho," ujarnya melempar pancing. "Sudah berapa tahun kerja di sana?"
"Enam tahun lebih. Merangkak dari level bawah," tambahku bangga.
"Wow! Enam tahun dan sudah menjadi manager itu hebat, lho," pujinya lagi.
Pembicaraan seperti ini kalau bersambut bisa sampai nego ke tahap gaji. Cuma, untuk saat ini aku sebenarnya belum tertarik meskipun tahu kantor Haikal adalah salah satu dari the big four-nya kantor akuntan publik. Gajinya enggak usah diragukan. Namun, suasana kerjanya yang belum tentu senyaman sekarang. Sudah kubilang, aku pecinta zona nyaman. Cukup saja diperbudak oleh pekerjaan, aku masih membutuhkan tingkah gila sahabat-sahabatku untuk mempertahankan level kewarasan.
"Bisalah nanti saya apply ke sana," ucapku diplomatis. Tidak menolak, tapi juga tidak terlalu kentara kalau aku tertarik. Sama seperti saat pedekate, tingkah laku sedikit jual mahal itu biasanya harganya lebih di mata recruiter. "Maaf, saya mau ke toilet sebentar," pamitku. Alasan saja sebenarnya. Tentu saja, buat menelepon seseorang.
Menelepon siapa lagi, kalau bukan Danu?
"Mona?" jawabnya saat panggilan tersambung.
"Lagi sibuk banget?" tanyaku.
"Enggak juga," ujarnya cepat. "Tumben kamu nelepon?"
"Lagi coffee break," ujarku. Masalah kemarin kami anggap selesai saat Danu mau bersusah-payah mengantarku ke bandara pagi-pagi buta. Lagi pula, seperti kata Saga, apa lagi yang bisa dibahas? Toh, enggak ada sesuatu yang berubah.
"Oh, pantas. Gimana training-nya?"
"Gitu-gitu aja, kayak biasa," sahutku. "Tapi, tadi ada orang dari E&Y ngajak ngobrol. Kayaknya tertarik nawarin posisi partner, Nu," seruku heboh. "Gimana coba?"
"Emang dia bilang apa?"
"Ya, karena di antara sekian peserta, Cuma aku yang aktif nanya. Jadi pas aku bilang posisiku di sini masih manager, beliau secara tersirat nawarin posisi yang tinggi."
"Oh... baguslah, Yang. Aku ikut senang. Kalau kamu mau pindah ke sana, aku dukung aja."
"Nanti dulu deh, Nu, soalnya udah betah di kantor yang sekarang," jawabku. "Justru karena itu aku nelepon sekarang biar enggak lupa."
"Apa?"
"Tadi narasumbernya ngomong, kalau setiap orang itu harus punya planning ke depan soal pekerjaan, Nu," paparku sekalian manrik napas, "apa yang kita lakuin sekarang itu berpengaruh besar buat ke depannya."
"Maksud kamu?"
"Jadi kalau sekarang kamu terbiasa bekerja dengan beban kerja yang lebih tinggi dari jabatan kamu, itu artinya kamu dipersiapkan untuk menduduki level itu. Nah... kamu udah begitu belum, Nu?"
"Hm?"
"Udah ada tanda-tanda jadi Kepala Cabang atau apa gitu?"
"Belum tahu."
"Yah, Nu, segalanya itu sudah harus kamu petain dari sekarang. Apa saja yang harus kamu lakuin buat mencapai itu, inovasi apa saja yang harus ada, sampai langkah-langkah nyata mencapai itu. Gitu, lho."
Lama enggak kedengeran suara sahutan Danu.
"Nu?"
"Kamu emang coffee break sampai jam berapa?"
"Paling bentar lagi," jawabku seraya melihat rombongan yang kembali memasuki ruangan.
"Ya sudah, ada kerjaan yang harus aku kerjain. Take care, ya."
"Iya. Nu, by the way—"
"Ya?"
"Mungkin aku ke rumah Ibu kamu besok sore. Tolong kamu kasih tahu, ya."
[ Preferensi ]
"Selamat sore. Benar ini rumah Ibu Heda?" tanyaku pada seorang wanita kisaran empatpuluhan yang sibuk menyiram tanaman.
"Iya, bener. Maaf Mbak siapa, ya? Ibu lagi enggak ada."
Pergi? Bukannya kemarin aku sudah menitipkan pesan pada Danu bahwa aku akan berkunjung? Seharusnya beliau menunggu atau apalah gitu, bukannya pergi.
"Pergi ke mana, ya? Saya sudah bikin janji lewat Danu soalnya. Mau ketemu Ibu."
"Oh, temannya Mas Danu." Raut muka wanita itu berubah lebih santai. "Ibu paling pergi bentar, ngantar uang arisan katanya. Masuk saja, Mbak, nunggu di dalam."
Sepuluh menit kemudian, aku sudah termangu di ruang tamu rumah Danu yang tak kalah menarik dengan rumahnya di Jakarta. Kalau di Jakarta terkesan elegan, di sini terkesan eksotisnya. Hampir setiap perabotan terbuat dari kayu. Kayu jati kan mahal ya?
Sepi banget. Pada ke mana sih orang-orang di rumah ini?
Enggak lama aku berpikir sepi, pintu rumah dibuka dari luar dan menampakkan sosok Ibu-ibu yang kutebak adalah Ibu Danu.
"Siapa?" tanya beliau dengan raut wajah yang tak bisa kubaca responsnya.
"Mona, Bu, dan—ehm... pacar Danu. Dari Jakarta."
"Oh."
Cuma oh?
"Saya sedang pelatihan di sini, dan menyempatkan diri berkunjung ke sini, Bu," jelasku.
"Oh, begitu," ujar beliau. What? Aku sudah menghapal beberapa jawaban ciamik seandaiknya ditanya ini-itu tentang pekerjaan, keluarga, dan apalah. Tapi ternyata—
Ibu Danu melirik segelas air minum yang tadi disuguhkan oleh asisten rumah tangga mereka. "Sudah dikasih minum?" Aku mengangguk. "Sebentar, ya, saya tinggal dulu. Mau masak."
Hah?
"Mau masak?" tanyaku, tidak menghiraukan perintah beliau untuk menunggu. Kusejajari langkah beliau menuju dapur.
"Anak-anak sebentar lagi pulang."
Mungkin beliau memang terburu-buru, tapi apa memang wajar meninggalkan tamu penting begini demi memasak? Hm... mungkin mereka sekeluarga berprinsip harus makan di rumah. Awas saja! Akan kuracuni Danu soal makanan restoran tinggal beli itu dari sekarang.
"Masak apa, Bu? Pindang ikan, ya?"
"Soto ayam."
Terkutuklah Lanti dan segala ilmu pindang ikannya, aku benar-benar mati kutu soal soto ayam. Bikin soto ada uleg-ulegnya enggak sih? Beliau mulai mengeluarkan berbagai peralatan. Aku benar-benar bingung harus bicara apa atau setidaknya membantu apa.
Ada ayam yang baru dikeluarkan dari kulkas, kemudian dicuci. Terus macam-macam bumbu entahlah yang bentuknya seperti kue akar pinang tapi gemuk, berwarna putih dan agak kemerahan. Berbagai dedaunan yang aku sama sekali enggak ngerti fungsinya apa. Dan akhirnya... Ibu Danu mengeluarkan benda maut—ulekan. Mampus! Mampus kamu, Mona!
"Ibu... lapar, nih. Ada makanan apa?"
"Kamu, Va, baru datang aja udah nanya makanan. Ganti baju, bantuin Ibu masak dulu." Nada suara beliau benar-benar berbeda, pakai mencubit gemas pipi abege yang kutebak pasti adiknya Danu.
"Siapa?" tanyanya terang-terangan, mungkin baru sadar ada sesosok manusia yang sedang parkir manis di sudut dapur. Tengah bingung harus melakukan apa.
Aku menunggu beberapa saat, berharap Ibu Danu mengenalkan kami. Setengah menit kemudian, aku sudah enggak sabar dan berdeham keras.
"Teman Mas Danu, dari Jakarta," ucap Ibu Danu.
What? Teman? Maksudnya si Ibu ini apa, ya? Aku benar-benar mulai merasa—
"Hallo, Bu, Vanda, eh... ada siapa?" Ada satu perempuan lagi yang juga kelihatannya baru pulang. Perempuan itu menatapku sembari melempar senyum. Huft. Kemudian mencium tangan Ibu Danu dan mengucek kepala Divanda.
"Mbak Dinara?" ujarku pelan.
"Eh, kok tau nama saya. Siapa ya?" ujarnya ramah.
"Ehm... Mona, pac—"
"Teman Danu dari Jakarta," potong Ibu Danu.
Wah! Wah! Orang tua zaman dahulu lebih senang mengenalkan anaknya dalam definisi 'teman', baru kemudian 'isteri', begitu ya?
"Oh, di Surabaya lagi ngapain?" tanya Mbak Dinara mengabaikan ucapan Ibu Danu.
"Training, Mbak. Sampai besok."
"Wah, kerja di mana? Sekantor sama Danu?" Secara halus aku merasakan Mbak Dinara menggamit lenganku untuk berlalu dari dapur.
"Enggak, Mbak, tapi kerja di gedung yang sama," jawabku. Aku menoleh, dan tak sedikit pun Ibu Danu menatap atau apalah. Apalagi mengeluarkan sepatah kata untukku, malah sibuk menginstruksikan ini itu pada Divanda. Gadis abege itu langsung menyingsing lengan baju dan saat aku mengerjap sekali dia sudah sibuk memindahkan entahlah apa ke dalam ulekan. Divanda mau mengulek sementara di meja dapur ada blender? Woah!
"Coba kalo ke sininya weekend, bisa bareng Danu, ya," ucap Mbak Dinara akhirnya, mungkin menyadari kegelisahanku yang terus-terusan mencuri pandang ke dapur selama kami bicara di meja makan.
"Hehehe," aku menyengir, "iya, Danu pulangnya tiap weekend," ujarku seraya memberikan penekanan pada kata terakhir, berharap Mbak Dinara paham.
"Danu emang baik, mau direpotin bantu-bantu persiapan saya, maklum calon saya kerjanya jauh," ucapnya.
Sudah tau, Mbak! Itu juga yang bikin kami sempat perang dulu.
"Sampai kapan di sini?"
"Rencana sampai Jumat. Terus langsung ke Bali ada outing kantor."
"Wah, benar-benar selisih jadwal sama Danu, ya. Biasanya Jumat sore dia pulang."
Gara-gara kamu, Mbak. Coba kalau enggak minta dibantuin ini itu, kami bisa pacaran tiap weekend!
Lama kami terdiam, mungkin sama-sama bingung mencari bahan pembicaraan.
"Ehm... Mbak, boleh nanya enggak?"
"Apa?"
"Apa, ya? Ibu kelihatannya sibuk banget, ya?" ujarku bingung mengungkapkan, semoga saja Mbak Dinara paham.
Mbak Dinara kelihatan salah tingkah. "Ya, kalau sore, Ibu selalu masak soalnya, dan itu kegiatan Ibu yang paling beliau sukai. Keasyikan."
"Oh... begitu." Aku menghela napas, agak lega sedikit. Berarti besok mungkin aku datangnya habis makan siang saja. Biar bisa mengobrol banyak. Lagi pula, besok penutupan training pukul satu.
"Kalau gitu, besok aku datang habis petang, Mbak, ya, atau Kamis pagi."
Mbak Dinara sesaat memandangku. Entah kenapa aku bisa merasakan pancaran rasa iba dari mata dan gesturnya. Sumpah, ya, Mona enggak butuh dikasihani.
"Maafin Ibu, ya, Mon, mungkin beliau agak kaget karena dikunjungi mendadak," ucap Mbak Dinara. "Beliau enggak terlalu terbiasa dengan gaya anak muda."
"Gaya anak muda?" tanyaku sambil mengerutkan dahi.
Mbak Dinara meremas tangannya berulang kali, seolah benaknya tengah sibuk menyusun kata-kata. "Ya... yang datang sendiri dan aktif memperkenalkan diri sebagai pacar anaknya," ungkap Mbak Dinara. Lagi-lagi diiringi tatapan seperti tadi.
Ugh! Ibu Danu hanya perlu mengenalku lebih jauh dan aku datang di waktu yang salah. Enggak ada hal yang harus kukhawatirkan saat ini. Ini cuma masalah kecil. Hanya perbedaan budaya sedikit saja. Mungkin seharusnya aku menunggu diajak Danu atau—
"Sebaiknya kamu pulang dulu aja. Istirahat."
Aku melangkah keluar dari rumah keluarga Danu, tanpa berpamitan tentu saja karena entah kenapa sosok Ibu Danu dan Divanda tidak terlihat lagi di dapur.
Gamang.
Risau.
Atau apalah ungkapan yang terdengar tidak sedangdut itu. Yang aku tahu, aku merasa kesusahan menelan ludah. Mataku memanas entah kenapa, dan yang paling fatal ada rasa sesak yang bolak-balik meninju dada dalam setiap tarikan napas.
Sedetik kemudian, pandanganku memburam digantikan cairan yang terus meleleh deras di pipi.
Aku... mencium aroma kegagalan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top