Chapter 4
Rumor.
Biasanya di dunia yang menganut sistem monarki seperti tempat ini menjadikan rumor sebagai bahan informasi atau cara menghancurkan seseorang. Sebab dengan satu saja rumor, benar tidaknya menjadi hal yang tidak dipermasalahkan. Kalau semua orang sudah percaya, maka itulah kebenarannya.
Hari ini Anilla sengaja memerintahkan Sarah untuk mencari semua hal yang terjadi di kekaisaran selama satu bulan terakhir sehingga dia juga bisa beradaptasi di tempat ini dengan benar. Sampai tengah malam, Anilla sengaja belum tidur untuk menunggu kedatangannya.
Tok ... tok
Anilla mendengarnya lewat jendela. Dia pun segera bangkit dan membukanya lebar. "Kau sudah datang."
Sarah loncat dari balkon lalu mendarat di sebelah Anilla. Inilah sebabnya Anilla menyukai Sarah, karena wanita itu mantan keluarga duke yang sudah runtuh. Setelah dia ingat-ingat kembali, Keluarga Vlederick adalah keluarga yang menghasilkan banyak ksatria. Salah satunya adalah Sarah, putri bungsunya. Anilla pernah membaca mengenai Sarah di dalam novel. Gadis itu berhasil menjadi ksatria sekaligus sahabat akrab putra mahkota.
Untung aku mengambilnya lebih dulu sebelum dia menjadi pelayan kekaisaran, batin Anilla.
"Ini, Nona."
Anilla menerima gulungan kertas yang diberikan Sarah.
"Kerja bagus. Ini upahmu." Anilla melempar permata besar miliknya yang sangat berharga.
"Ta--tapi Nona! Ini sangat berlebihan. Saya tidak pantas menerimanya."
"Ayahmu sedang sakit, kan? Gunakan itu untuk pengobatannya dan lanjutkan kinerjamu seperti sekarang. Kurasa itu cukup."
Sarah tertegun, dia terharu dengan kebaikan nonanya. Lantas dia bersujud, hendak mencium kaki Anilla.
"Apa yang kau lakukan?" Anilla menjauhkan kakinya kala melihat Sarah yang berlutut.
"Saya ingin memberikan sumpah saya kepada Nona untuk selalu setia dan menjadi kaki tangan Nona."
Anilla menyeringai. Dia tau soal kebiasaan keluarga Sarah untuk bersumpah, tapi kalau mencium kaki ... sepertinya itu tidak manusiawi. Jadi Anilla berjongkok kemudian membuka kedua telapak tangannya. "Jangan kakiku. Tangan sama saja, kan?"
Sarah merasa beruntung bertemu Anilla. Dia pun mengangguk antuasias lalu mencium telapak tangan Anilla. Ini adalah sumpah setia yang jika dilanggar, nyawa Sarah akan menjadi akibatnya. Begitulah berharganya sumpah setia bagi keluarganya.
"Terima kasih sudah membawa saya, Nona."
Anilla mengusap puncak kepala Sarah. "Selamat datang, Sarah."
***
Anilla membuka satu per satu kertas yang berada di dalam gulungan usai membiarkan Sarah pulang. Ditemani sebuah lentera, Anilla membaca informasi-informasi yang ada.
"Kaisar tiran ... banyak sekali berita seperti ini. Walaupun itu benar, apa nggak ditangkap, ya? Di dunia asli, kalau ada golongan yang berusaha menjatuhkan pemerintah maka dia akan dicekal, kan? Atau jangan-jangan yang mencetak kabar ini sudah mati diam-diam?"
Anilla membalik lembar yang lain. Sebenarnya ada banyak informasi berguna, tapi dia merasa mulai mengantuk. Maka Anilla membutuhkan sesuatu untuk tetap bangun, kan?
Camilan!
Anilla bangkit dengan membawa lentera itu ke luar kamar. Percuma juga kalau dia harus memanggil pelayan karena sudah menyuruh Sarah pulang. Dia juga malas mengganggu orang tidur. Jadi dia memilih berjalan ke dapur sendiri, walau sebenarnya masih bingung dengan denah rumah besar ini.
"Uhuk! Uhuk!"
Anilla mendengar suara batuk. Apa masih ada yang bangun atau sedang mengikutinya?
Anilla jadi berbalik badan lalu mengangkat tinggi lenteranya. Kala mengedarkan pandangan, tidak ada siapa-siapa. Semuanya sepi. Pasti hanya ada beberapa pengawal yang bergantian jaga.
"Uhuk! Uhuk!"
Lagi-lagi suara batuk itu terdengar. Apa ada orang yang sakit parah? Seingatnya hanya nyonya duchess yang sedang sakit. Apalagi di makan malam tadi, dia sampai pingsan karena tidak kuat.
"Uhuk! Uhuk!"
Merasa terganggu, Anilla pun mengikuti suara batuk itu. Dia mengintip sedikit ke sebuah ruangan yang pintunya tidak dikunci. Di sana lah sumber dari suara batuk yang tak kunjung berhenti.
"Jadi beneran duchess yang batuk? Sakit?" gumam Anilla. Dia berjalan masuk ke kamar duke tanpa takut. Aneh sekali, duke benar-benar tidak terganggu dengan suara batuk istrinya.
Nggak romantis banget! Minimal ambilin minum kek! pikir Anilla. Karena penasaran, dia pun meletakkan tangannya di atas kening duchess.
"Panas banget. Kayaknya demam, deh?" Selain suhunya tinggi, duchess juga tampak menggigil. Anilla pun membenah selimut wanita itu lalu meletakkan lenteranya di atas meja. Dia hendak mencari sesuatu untuk menambah selimut wanita itu. Sepertinya duchess merasa kedinginan.
Tak tau harus memberikan apa, hati nurani Anilla bergerak ke arah lemari. Dia mengambil beberapa gaun duchess lalu di letakkannya di atas tubuh duchess. Kalau ditumpuk banyak kain begini, mungkin saja dia akan merasa semakin hangat.
"Duchess sakit apa, ya? Di novel nggak ada cerita soal duchess sakit karena semuanya kan dari sudut pandang Anilla. Mungkin dia nggak tau," gumam Anilla.
Yah, walaupun perempuan ini jahat, tapi Anilla masih punya naluri kemanusiaan. Dia pun berjalan ke luar kamar duke untuk mengambilkan baki berisi air dan sehelai kain. Dia celupkan kain itu ke air lalu diperasnya. Kemudian Anilla meletakkan lipatan kain basah itu ke atas kening duchess.
Anilla? batin duke usai menyadari keberadaan Anilla yang meletakkan kain di atas kening istrinya. Apa gadis itu sedang mengobati duchess? Tapi kenapa? Setahunya, hubungan mereka kan tidak baik.
"Apa gini udah cukup?" gumam Anilla.
Lantas dia berjongkok dan berbisik pada duchess. "Duchess mau minum, nggak? Biar nggak batuk-batuk lagi."
Sembari memejamkan mata, duchess mengangguk. Dia samar mendengar suara Anilla, tapi itu tidak mungkin. Pasti ini adalah Ailsha yang merawatnya.
Anilla pun membantu duchess bangun pelan-pelan lalu meminumkannya segelas air. Setelah itu membiarkan duchess kembali tidur.
Kayaknya udah beres, batin Anilla setelah melihat duchess yang tertidur nyenyak. Anilla mengambil kembali lenteranya dan berjalan ke luar.
Kalau dia mati, nanti nggak ada yang jual Anilla. Malaikat maut pasti marah kalau takdir Anilla berubah, pikirnya sambil berjalan ke arah dapur.
Sebenarnya Anilla tidak tau mau membuat apa. Ada banyak camilan dan dia sebenarnya sudah tidak mengantuk seperti tadi. Kala melirik lewat jendela dapur, Anilla bisa melihat pengawal yang berjaga di gerbang mansion.
"Informasi yang mereka punya pasti lebih banyak nggak, sih? Apalagi mereka ganteng-ganteng. Samperin kah?" Anilla menemukan ide. Dia mengambil beberapa camilan dan minuman untuk dibawa ke pengawal. Karena berjalan lewat pintu utama terlalu jauh, maka Anilla memutuskan lewat pintu dapur saja.
"Halo!" seru Anilla, membuat para pengawal kelabakan karena nonanya berjalan malam-malam.
"No--Nona?! Apa yang sedang Nona lakukan? Nona mau ke mana?"
"Biar kami bantu, Nona!"
Para pengawal berebutan membantu Anilla, takut kena marah duke kalau tau anaknya keliaran malam-malam.
"Santai aja. Ini buat kalian kok."
"Kami?" Para pengawal saling pandang, mereka semakin kebingungan.
"Ayo-ayo, duduk! Dimakan dan diminum dulu. Pasti susah kan jaga tempat ini malam-malam? Biar nggak ngantuk."
"Tapi ... apa kami boleh, Nona?" tanya salah satu dari mereka karena takut.
"Ya boleh lah. Ini perintah!"
"Wa--wah ... terima kasih, Nona!" Pengawal dengan tubuh besar-besar itu mulai duduk bersama sambil memakan camilan yang dibawa Anilla. Entah mengapa Anilla merasa senang. Kalau tau begini kan dia bisa membawakan lebih banyak.
"Ternyata Nona benar-benar sudah berubah, ya?" bisik mereka.
"Nona ... Nona tidak akan ke luar malam‐malam lagi, kan?" tanya salah seorang pengawal.
Anilla pernah ke luar malem? Di novel kan Anilla penakut. Tunggu, ini sedikit janggal, batin Anilla.
"Maksudnya, kayak malam ini?"
"Bukan, Nona. Tapi malam-malam sebelumnya. Kami khawatir saat harus menyiapkan kereta kuda malam-malam tanpa sepengetahuan Tuan Duke," ucapnya.
Anilla mengerutkan keningnya. "Apa kalian tau aku pergi ke mana?"
Dari kejauhan, duke berdiri di atas balkon kamarnya. Dia melihat Anilla yang mengobrol dengan para pengawal. Apa yang dilakukan gadis itu malam-malam dan kenapa dia sangat berubah drastis? Ada banyak pertanyaan yang melayang di kepala duke saat ini.
"Tidak, Nona."
Duh, sia-sia. Catet rencana baru! Aku harus tau ke mana Anilla sebelumnya pergi malem-malem.
Selesai berbincang dengan para pengawal, mereka pun mengantar Anilla sampai ke kamar. Katanya karena sudah malam, takut nonanya sakit atau menimbulkan rumor.
Bukannya lanjut membaca informasi yang tadi dibawa Sarah, Anilla malah tiduran di atas ranjang. Entahlah, dia tiba-tiba malas saja. Pikiran dan suasana hatinya kini melayang ke mana-mana. Apa karena sudah malam, ya? Kinerja otak Anilla jadi bekerja dua kali lipat.
Ada banyak hal yang membebaninya. Tentang bagaimana kondisi tubuhnya pasca operasi, keadaan keluarga di dunia aslinya, dan nyawanya. Dia tidak mengerti mengapa sekarang jadi terdampar di tempat asing ini. Memang bisa apa gadis 18 tahun yang baru akan lulus SMA? Sesillia yang bukan pembaca fiksi mana tau soal begini.
Dia miringkan tubuhnya ke arah kiri. Rasanya baru sekarang dia merasa sendiri. Tempat luas yang bisa kapan saja mencabut nyawanya untuk yang ke dua kali, seperti yang dialami Anilla apakah akan terjadi padanya?
Dia mulai memejamkan mata. Ingatan tentang teriakan Anilla yang disiksa di dalam novel menghantui kepalanya. Bahkan peristiwa di mana gadis itu berakhir dipenggal hingga kepalanya digiring keliling kota dan dijadikan bahan lemparan batu.
Apa kali ini dia akan gagal? Bukannya Anilla, apakah kali ini kepala Sesil yang akan jadi korbannya?
Tanpa sadar, tangannya menyentuh leher. Ditabrak mobil saja sakitnya bukan main, apalagi dipenggal?
"Kumohon, jangan lagi," gumam Anilla yang mulai tertidur. Bulir air matanya jatuh tanpa dia sadari.
Seorang makhluk berjubah hitam mendekat sembari mengusap pipinya, membiarkan air mata itu meresap ke dalam jarinya.
"Tidak akan," ucapnya. Dia belai kepala Anilla hingga mimpi buruk yang melintas di kepala gadis itu sirna. "Tidak akan kubiarkan terjadi lagi. Aku janji."
-- P R A N A L A --
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top