Chapter 2
Etiket.
Merupakan turunan istilah dari etika, yang berkaitan sebagai tata krama atau tata cara dalam membangun hubungan antara sesama. Di dunia ini, hal itu merupakan pondasi penting yang harus dimiliki setiap individu bangsawan. Sebab hal itu akan menunjukkan seberapa tinggi kualitas pendidikan yang diterima oleh mereka.
Karena hal tersebut menjadi wajib di kalangan bangsawan, rakyat jelata tak mungkin menerima pendidikan tersebut. Sehingga kalau sikap seorang bangsawan tidak menunjukkan etiket yang baik, dia cenderung dikatai seperti rakyat jelata. Bagi Sesil yang tinggal di dunia tanpa kasta, itu bukanlah hal yang penting. Tapi dia tau betul kalau sikapnya tidak menunjukkan karakter seorang bangsawan, dia akan semakin kesulitan.
Yang harus Sesil lakukan untuk mengubah nasib Anilla adalah dengan melakukan semua hal yang tidak dilakukan Anilla. Lebih jelasnya adalah melakukan kebalikan dari yang biasa Anilla lakukan.
"Saya sampaikan salam hormat saya kepada Nyonya Duchess," ucap Anilla sembari menyincing gaunnya dan sedikit merendahkan kakinya.
Duchess Lidya yang sedang melakukan pesta teh dengan teman-temannya terkejut. Padahal tujuannya memanggil Anilla adalah untuk mempermalukan gadis itu, tapi kenapa dia tiba-tiba menunjukkan etiket baik seperti sekarang?
"Wah, Nyonya ... saya tidak menyangka Lady Anilla begitu sopan dan cantik. Dia berbeda dari rumornya," ucap salah seorang nyonya marchioness. Nyonya-nyonya yang lain pun saling berbisik untuk memuji sikap Anilla barusan.
"Memang, ya, kualitas pendidikan dari keluarga duke tidak bisa diragukan lagi. Lady ini sepertinya sudah siap menjadi permaisuri kekaisaran ini, haha," kata nyonya countess tanpa ragu.
Wajah Duchess Lidya jadi masam. Bukan ini niatnya, tapi pujian dari teman-temannya tentu sedikit membantu harga dirinya.
"Tumben sekali, Anilla," ucap duchess sambil menyibak kipasnya. "Apa telah terjadi hal baik yang tidak kuketahui?"
"Iya, Nyonya. Hari ini saya telah memecat seluruh pelayan saya, sehingga suasana hati saya jadi membaik," jawab Anilla dengan sopan.
Duchess menyeringai, ini bisa menjadi kesempatannya untuk menjelekkan anak tanpa asal usul ini. "Oh, benarkah? Bagaimana mungkin seorang nona memecat seluruh pelayannya? Lalu siapa yang sekarang melayanimu? Sebagai seorang bangsawan dan putri keluarga duke, kau harus menunjukkan etiket yang baik, Anilla."
Nyonya yang ada di sana saling berbisik. Mereka kebingungan dengan alasan Anilla memecat para pelayannya. Kalau bukan karena pelayan yang salah, memecat seluruh pelayan biasanya disebabkan oleh sikap majikannya yang sudah keterlaluan.
"Apa yang sudah terjadi, Lady?" tanya Countess Natasya yang bersimpati pada Anilla.
Anilla menunduk, menunjukkan wajah sedihnya yang dibuat-buat. Entah mengapa Duchess Lidya bisa melihat sisi liciknya.
"Para pelayan itu telah merendahkan saya. Katanya, saya hanya seorang rakyat jelata yang diangkat anak oleh tuan duke. Padahal saya sudah berusaha sebaik mungkin ... hiks hiks," ucap Anilla yang mulai menangis buaya. Dia merendahkan suaranya agar tampak seperti gadis lemah lembut yang memiliki hati rapuh. "Apakah itu salah saya, Nyonya? Maaf atas kekeliruan saya. Saya memang tidak pantas dengan posisi ini, tapi yang membawa saya ke sini kan tuan duke. Bukan karena saya yang memaksa beliau. Semasa saya menjadi rakyat jelata, saya memang hidup sengsara dan hanya memakan rumput sehari-harinya, tapi bukan berarti mereka bisa merendahkan harga diri saya, kan?"
"Astaga ...," gumam para nyonya yang mulai iba. Gadis cantik dan baik seperti Anilla tak pantas diperlakukan begitu. Mereka jadi merasa kasihan.
"Nyonya Duchess ... apakah Anda membutuhkan guru pribadi untuk lady? Saya bersedia membimbingnya dalam beberapa pelajaran dan etiket," ucap marchioness yang diikuti oleh para nyonya yang lain.
Duchess Lidya berdecak kesal. Dia harus akting baik kalau sudah begini. Cerita tentang ibu angkat yang mengabaikan anak angkat hanya akan merusak nama baik keluarga duke. Dia tidak bisa melakukannya kalau tidak ingin membuat suaminya marah.
"Hmm, begitukah? Anilla, apa kau membutuhkan guru pribadi, Nak?"
Anilla menyeringai tipis. Dia menatap lurus mata Duchess Lidya yang jelas-jelas tidak menyukainya. "Sepertinya begitu, Nyonya Duchess. Saya yang tidak tau apa-apa ini membutuhkan seseorang yang bisa membimbing saya."
Hahaha kena kau! batin Anilla.
"Tapi, Lady ... kenapa dari tadi kamu memanggil Nyonya Duchess seperti itu? Bukankah beliau adalah ibumu? Terlepas dari kalian sedarah atau tidak."
"Ah, iya. Itu benar. Apakah hubungan kalian kurang baik?" tanya Duchess Marylin di sebelah Duchess Lidya.
"I--itu tidak benar!" Lidya jadi ikut kelabakan. Benar perkataan teman-temannya. Sikap Anilla tidak seperti biasa. Padahal sehari-harinya gadis licik itu akan memanggilnya ibunda walau sudah dilarang, tapi kenapa baru sekarang memanggilnya nyonya duchess?
"Ah, maaf ... saya hanya tidak ingin menyulitkan nyonya duchess dengan memanggilnya ibunda. Saya kan ... tidak pantas," ucap Anilla, kembali menciptakan drama.
"Ya ampun, tidak begitu, Lady. Iya kan, Nyonya Duchess?"
Duchess Lidya terpojokkan. Entah angin dari mana gadis penakut dan tidak berani menatapnya itu jadi berubah. Kalau sudah seperti ini, Duchess Lidya tak punya pilihan lain. "Hm, panggil saja aku seperti biasa, Anilla. Kau tidak perlu merasa seperti itu."
"Baik, Ibunda," ucap Anilla dengan senyuman hangat.
***
"Apa Anda sudah mendengar laporan tentang perubahan sikap Anilla? Gadis itu seperti menunjukkan taring aslinya, Ayah!" ucap Felix sembari mengeluarkan semua uneg-uneg yang dia punya di ruang kerja duke.
"Hm, aku sudah mendengarnya, tapi apa kamu tidak salah? Dia gadis penurut dan pendiam. Aku lumayan mengenalnya," kata duke sambil membalik lembar kerjanya.
"Tidak, Ayah! Ayah harus melihatnya sendiri. Dia itu berubah!" Felix tak terima kalau ayahnya tidak percaya akan ucapannya. Jadi sekuat mungkin Felix berusaha membongkar sisi asli Anilla pada duke. "Ayah harus segera mengusirnya. Dia bukan adikku! Mungkin saja dalang di balik hilangnya Anilla itu karena dia!"
"Cukup, Felix. Aku sudah mendengar semua omong kosongmu. Jangan bicarakan hal itu lagi. Sekarang Anissa adalah Anilla. Aku tidak ingin mendebatkan hal ini lagi. Tidak mungkin gadis kecil yang kubawa ke sini ketika seumuran dengan adikmu itu telah melakukan sesuatu. Memang apa yang dia bisa?"
"Tapi kan dia adalah rakyat jelata yang--"
Tok ... tok
"Ada apa?" ucap Duke Latena kala mendengar bunyi ketukan pintu pengawalnya.
"Nona Anilla datang menemui Anda, Tuan Duke," ucapnya.
Duke dan Felix saling bertukar pandang. Keduanya tak tau mengapa Anilla tiba-tiba datang menemuinya tanpa pemberitahuan. Padahal sebelumnya, gadis itu tak berani menginjakkan kaki di mansion utama. "Baiklah, persilakan masuk."
Pintu ruang kerja duke pun dibuka. Muncul Anilla dengan tas besar di tangannya. Susah payah dia letakkan tas itu di atas meja lalu berjalan ke arah duke yang sedang duduk di kursi kerjanya.
"Kamu di sini," ucap duke.
Anilla melirik Felix sekilas lalu kembali menatap duke. "Saya ingin pergi dari sini."
"Apa?" Pandangan duke yang sebelumnya fokus pada lembar kerja langsung berganti pada Anilla.
"Kau sudah gila, Anilla?" kata Felix langsung. Entah apa rencana gadis ini, tapi hari ini ada saja ulahnya yang membuat orang-orang tercengang.
"Tidak. Saya hanya sudah tidak betah tinggal di sini. Saya juga ingin memutuskan gelar putri duke yang saya terima," ucapnya.
"Apa kau mengerti dengan apa yang kau katakan? Kalau kau memutuskan hubungan keluarga denganku, maka kau akan kembali menjadi rakyat jelata. Apa kau tau itu?" ucap duke dengan tatapan intens ke arah Anilla.
"Ya, saya tau itu."
"Kenapa? Apa yang membuatmu tidak betah di sini?" tanya duke sembari menumpuk tangannya di atas meja.
"Semua orang. Istri Anda, anak Anda, para pelayan di sini. Semuanya tidak membuat saya nyaman."
"HEI!" Felix langsung menggertaknya. Hal itu membuat Anilla terkekeh.
"Anda bisa melihatnya sendiri kan, Tuan Duke?"
"Anilla." Duke melepas kacamatanya setelah menghela napas. "Sudah sepuluh tahun sejak kamu memasuki keluarga ini."
Tunggu ... sepuluh tahun? Itu artinya, tahun ini Anilla akan memasuki perayaan kedewasaan. Pertunangan sudah diadakan dan pernikahan terjadi sebentar lagi? Tidak salah kalau aku ke luar sekarang, tapi ini akan semakin sulit, pikir Anilla yang jadi tau berapa usianya sekarang dan posisi bab novel yang dia masuki.
"Aku tidak tau apakah kamu juga mengetahui hal ini, tapi tidak mudah untuk menapakkan kaki di kediaman ini. Hanya mereka yang berhasil membuktikan hasil kerja kerasnya melalui ujian ketat, yang bisa memasuki gerbang kediaman Keluarga Latena."
Mendengar itu, Anilla terdiam. Bukan hal baru lagi memang mengenai Keluarga Duke. Keluarga dengan posisi tinggi tepat di bawah kekaisaran tentu memiliki kekuasaan yang tidak main-main. Wilayah yang berada di bawahnya bahkan hampir menyamai kekaisaran. Sudah dari generasi ke generasi bahwa Duke Latena menjadi kaki tangan kaisar. Bahkan bukan hal mengejutkan lagi kalau seorang permaisuri lahir dari keluarganya.
"Setelah mengadopsimu, aku tidak ragu-ragu untuk mendanaimu sebagai putri dari keluarga ini. Aku bahkan memperbolehkanmu untuk memakai uang dengan boros, tapi aku tidak yakin jika kamu telah membuktikan kerja kerasmu sebagai seorang Latena selama sepuluh tahun kamu berada di sini." Duke kembali menghela napas. Mungkin alasan Anilla ingin pergi dari sini adalah atas apa yang terjadi hari ini. "Aku sudah mendengar soal keributan hari ini."
Anilla celingukan setelah merasakan hawa dingin yang membuatnya merinding. Suasana cerah di ruang kerja duke tiba-tiba gelap dan tidak nyaman. Kala melihat ke arah duke, pupil Anilla melebar. Dia menemukan malaikat maut yang berdiri di belakang duke.
"Tidak ada kesempatan kedua kalau kau pergi dari tempat ini. Aku memerintahkanmu untuk mengubah nasib Anilla, bukan kabur dari takdirnya."
Hah? Anilla mengerutkan keningnya. Dia tak mengerti dengan jalan pikiran malaikat maut itu. Padahal dengan pergi dari tempat ini, semuanya akan menjadi lebih mudah. Anilla tak akan melewati masa-masa kelam di sini kalau dia pergi.
"Keluargamu menunggumu, Sesillia."
Malaikat maut itu menampilkan layar di mana tubuhnya sedang di operasi dan seluruh keluarganya menunggu. Kini hidupnya sedang di ujung tebing. Kalau dia melawan malaikat maut, bisa-bisa operasi itu akan digagalkan dan kesempatan hidup kedua yang dia minta akan berakhir.
Tidak! Jangan! batin Anilla.
"Lakukan dengan benar," ucap malaikat maut.
Sekarang Anilla bisa menyimpulkan bahwa malaikat maut bukannya ingin takdir Anilla berubah, melainkan nasib buruknya. Sesil harus bisa menyelesaikan dan menghadapi masalah-masalah Anilla. Begitu, kan?
Oke-oke, tenang ... sekarang aku harus memperbaiki situasinya, pikir Anilla.
"Tapi kalau kau memang--" Ucapan duke terpotong kala melihat Anilla yang bersujud.
Brak!
"I--ini kesalahan saya, Ayah!"
Ayah?
Duke dan Felix sama-sama terkejut dengan panggilan yang ke luar dari bibir Anilla. Selama ini walau gadis itu berusaha menjadi Anilla dan mencari perhatian kakak dan ibu angkatnya, tak pernah sekali pun dia berani memanggil duke dengan sebutan ayah. Sebab di tempat ini, duke adalah satu-satunya yang paling Anilla takuti. Sehingga bibirnya tak sanggup menyebut pria itu ayah.
"Maafkan saya yang telah tidak tau diri dan membuat keributan. Kejadian tadi pagi juga dikarenakan kelalaian saya dalam memperlakukan pelayan saya. Saya akan sangat merenungi tindakan saya ... Ayah."
Duke Latena tak lagi bisa mengalihkan pandangannya dari Anilla. Jantungnya berdebar hebat kala mendengar cara Anilla memanggilnya. Entahlah, seperti ada kupu-kupu di perutnya. "Ka--kamu ...."
Bukan hanya duke yang tercengang, Felix bahkan tidak lagi bisa berkata-kata atas perubahan gadis itu.
"Saya tau selama ini saya telah bersikap kekanak-kanakan, tapi jika Anda memaklumi saya hanya untuk kali ini ... saya akan melakukan yang terbaik untuk membuktikan kerja keras saya sampai perayaan hari kedewasaan saya datang."
Bodoh, bodoh, bodoh! Aku nggak boleh diusir dari sini! Duh, kenapa baru sekarang malaikat maut datang? pikir Anilla sambil memejamkan mata. Dia masih berlutut di bawah, berharap Duke Latena akan bersimpati.
"Jadi, saya mohon maafkan saya hanya untuk kali ini ... Ayah."
Kini Felix berganti menatap duke, dia penasaran dengan reaksi apa yang akan dikeluarkan ayahnya.
"Aku ... mengerti apa yang kau katakan. Berdirilah."
Anilla bangkit dan menegakkan tubuhnya dengan sopan. Dia sudah lemas setelah membayangkan nyawanya dicabut malaikat kala operasi. Semoga saja tindakannya barusan bisa menghapus ingatan duke tentang permintaannya untuk pergi dari tempat ini. Apakah duke akan memberinya kesempatan?
"Perkataan seorang Latena harus dipertanggung jawabkan, Anilla."
Anilla kembali menatap duke. Dia merasa seperti sedang mengucap sumpah jabatan OSIS.
"Jangan sampai kesempatan yang kamu dapatkan hari ini terbuang sia-sia."
"Baik, Ayah."
Anila menghela napas lega di dalam hatinya.
-- P R A N A L A --
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top