BAB 9: Tidak Setia Kawan

Kala sekelompok peserta menunggu malapetaka muncul, justru tak kunjung berlangsung apa pun. Padahal sepenglihat mereka, para peserta lain pun sama gelisahnya.

Akankah mereka berakhir sama seperti dua orang yang tertimbun reruntuhan musala? Atau, kaki dan tangannya bakal terlepas? Atau, tidak bisa kembali seperti tujuh peserta gerak jalan kedua?

Atau, malah lebih buruk dari semua itu?

Terlalu banyak menimbun spekulasi, tak akan mampu membuktikan satu pun jawaban.

Pekerjaan menggali reruntuhan musala menunjukkan resesi. Hasilnya nihil. Meskipun mereka sudah menyingkirkan kepingan yang diduga tembok, pecahan tegel keramik, serpihan genting tanah liat, patahan kayu-kayu, dan benda-benda tak berbentuk lainnya, jasad yang dicari tidak kunjung tampak.

Sebagian putri telah capai, memilih berehat di tepi panggung aula dekat musala. Satu-dua yang rajin menyapu lantai dari debu serta pasir kiriman reruntuhan musala. Beberapa nan menyerah justru meninggalkan pekerjaan, bergabung bersama kumpulan di tikar sekitar Tenda Putri.

Mereka yang masih mengantungi harapan terlihat lebih baik, memeriksa bus di depan Gedung Khusus Panitia yang sempat terabaikan sebelumnya, mengingat cat darah telah kering dan tidak mengganggu. Walau demikian, tetap negatif. Mesin tak memberikan sekecil pun peluang bisa menyala. Sebaliknya, mereka yang juga masih punya harapan, tetapi tak mau bekerja sama, memutuskan bermain gim entah-apa-namanya, duduk melingkar di atas tikar sembari menikmati naungan pepohonan konifer tinggi.

Tepat saat notifikasi secara bersamaan berbunyi dari tiap-tiap gawai peserta perkemahan, masa itulah benih-benih keputusasaan mulai berkecambah di lubuk hati masing-masing remaja.

Perintah kedua telah datang, begitulah yang dikatakan submenu “Perintah” dari menu “Kegiatan” di aplikasi Buper Saba. Entah, apa maksudnya perangkat lunak yang tak dikenali itu; bagaimana bisa terpasang dengan sendirinya, apa tujuan sebenarnya, dan apakah dapat memberi petunjuk keluar dari Bumi Perkemahan? Para peserta tak tahu-menahu. Itu jelas kabar yang amat buruk.

Karena ketakutan terbesar manusia tumbuh dari ketidaktahuan.

“Sepertinya tubuh mereka tak bisa kita temukan.” Alya akhirnya tertular serah. Pesona jaran goyang tak lagi menguar, dikalahkan oleh rasa penat.

Sebagai subjek yang mempunyai virulensi tinggi, Alya menyebarkan hawar kepada teman-temannya, menyebabkan satu per satu remaja terjangkiti dan berujunglah pada endemi menyerah.

“Apa yang akan kita lakukan dengan ini?” Alya mengacungkan gawai, sementara tangan satunya menunjuk layar.

Itu benar. Untuk sementara, ada baiknya berhenti dari kegiatan menggali tanpa hasil sekarang. Usulan Ahim sebelum ini tentang mencari jasad Fifi dan Denok seharusnya tidak usah diikuti. Marilah beralih pada urusan yang lebih urgen. Alya menghipnotis Fathur, maka si Ketua memberikan sugesti kepada teman-teman untuk patuh.

“Baik, teman-teman. Aku mohon kerja sama dari kalian untuk serius mencari cara keluar dari sini. Mau itu petunjuk sekecil apa pun, tolong cari sampai ketemu.”

Perintah kedua mengatakan sesuatu tentang “pengambilan indra pada lima peserta acak”. Penuh teka-teki. Para peserta juga tak mengerti apa yang dimaksud dengan “bakteri” dan “domba”.

Selain itu, kejadian aneh terkait paranormal berlangsung lagi. Ketika orang-orang menelusuri isi Bumi Perkemahan, ada yang menjumpai tumpukan makanan ringan dalam bungkus di Stan Konsumsi, sementara bahan makanan lain tahu-tahu telah raib atau membusuk tanpa sebab. Serta, ada pula yang menemukan papan kayu mirip permainan bingo di seberangnya.  

Ini benar-benar tidak masuk akal.

Sementara putri-putri yang sengsara berdiam diri di tenda, kekacauan tengah berlangsung di Stan Konsumsi. Sejumlah peserta berdebat tentang apakah makanan yang tiba-tiba muncul secara mencurigakan bisa dimakan atau tidak. Sebagian orang khawatir masalah kesehatan, mengingat mereka sekolah menengah atas jurusan sains, tentang bakteri yang menyebabkan keracunan makanan atau sejenisnya.

“Tenang saja, kalau itu ‘kan biasanya di makanan kaleng. Kalau ini ‘kan dibungkus plastik, tulisan tanggal kedaluwarsanya juga masih lama kok. Jadinya, ya, aman, lah dimakan.”

Ucapan barusan keluar dari mulut Laili. Entah tepat atau tidak keputusannya mengatakan demikian. Mungkin orang-orang menganggap dia berotak tumpul karen nutrisi makanan tertimbun di perut serta dagingnya.

Laili tak terlalu memikirkan hal tersebut, pun teman-teman tak mengganggu untuk mengolok. Laili lebih fokus pada nasib teman-temannya yang perlahan terkepung lumpur isap keputusasaan.

Demi memberikan afirmasi, Laili meminta konfirmasi dari si peringkat satu sekelas, tak lupa mengulas senyum hingga pipi tembamnya bersemu merah.

“Benar, kan, Ahim?”

Ahim sibuk memperhatikan papan kayu di seberang Stan Konsumsi. Si cebol langsung menjawab, “Kalau kamu mau ambil risiko, kamu yang jadi kelinci percobaannya saja.”

Tercipta jeda cukup lama dengan ekspresi wajah tetap sama, lalu akhirnya Laili menanyakan maksud.

Intan, mungkin masih menyimpan rasa kesumat, membantu jawab, “Maksudnya, kamu coba dulu, Lel. Kalau aman, baru kita ikut makan.”

Laili memutar bola mata. “Ya sudah deh, aku makan daripada penasaran--"

Sebelum tangan si putri gempal menyentuh salah satu bungkus makanan ringan pada tumpukan, lengan seorang putra sudah menghalangi di udara. Fathur-lah yang mencegah aksi Laili.

“Eh, kenapa, Thur?”

“Jangan dulu. Mending kita memakai cara yang lebih aman saja. Untuk sementara, jangan sentuh makanan dulu, kecuali kalau sudah waktu makan malam--itu kalau kita masih belum menemukan cara keluar dari sini. Paham?”

Laili cukup terpana, terpaku beberapa saat. Itu sebelum seorang putri datang dan menarik Fathur, terlihat begitu intim berbicara berdua.

Pada akhirnya, kebingungan di Stan Konsumsi bisa mereda.

Para peserta berpencar ke posisi preferensi sendiri-sendiri, niatnya menjelajahi lokasi Bumi Perkemahan, barangkali bisa mendapat petunjuk barang secuil pun. Mereka mengingat-ingat saran si Ketua untuk tidak keluar atau melalui gapura, atau nasib tubuh mereka akan berakhir sama seperti ranting atau batu yang hancur berkeping-keping saat dilempar dan menghantam semacam dinding tak kasatmata.

Panca sempat menunjukkan sesuatu kepada Ahim dan Ghani, juga Tiara yang tak sengaja berpapasan, yakni aplikasi Buper Saba pada gawainya. Tiara begitu terkejut kala menyadari bahwa Perintah 1.5 pada ponsel miliknya berbeda dengan ponsel milik Panca. Punya Tiara kosong, sementara punya Panca ada isinya. Panca pun amat terkejut mengetahui hal tersebut, seketika ingatan masa di dalam musala kembali terlintas dan membuatnya nausea.

Sementara itu, Perkumpulan A6--tampaknya konspirasi berusaha memanfaatkan nama jenaka itu--memilih membuat acara sendiri yaitu menari serta bernyanyi seru-seruan di area jalan setapak antara Tenda Putri dan Stan Konsumsi. Mungkin usaha berbakti dengan Sang Pencipta sebelumnya dianggap tak membuahkan hasil, sehingga mereka ambil gerakan menyimpang. Sejumlah peserta turut menonton aksi belok itu.

Di tempat lain, tepatnya Stan Konsumsi kelas XII MIPA 1, seorang putri gempal dengan raut penuh wasangka mendekati tumpukan makanan ringan. Tak ada yang memperhatikan aksinya. Dalam satu gerakan sabet, putri itu merampas satu bungkus bergambar keripik kentang. Air liur meleleh deras dari kedua sudut bibir.

“Laili, stop!”

Fathur berlari cepat, merampas bungkus itu, tetapi tak berhasil. Laili menggeram, raut wajahnya ngeri seiring merebut bungkus makanan. Fathur melawan sekuat tenaga, Laili pun tak mau kalah. Berlangsung aksi tarik-menarik yang membuat peserta bingung harus memihak mana, yang akhirnya hanya bisa menonton.

“Kembalikan! Ini punyaku! Keripik kentang punyaku! Jangan diambil!” derum Laili. Matanya memerah dan berair, ingus keluar dari hidung, garis-garis kerut menghiasi wajah.

“Laili! Sadarlah!” erang Fathur, susah payah. “Woi, bantu, lah!”

Baru teman yang dipelototi ingin menghampiri, tetapi Laili langsung memekik ngeri.

“Tolong … ! Tolong jangan rebut keripik kentangku! Kau tidak tau rasanya menahan keinginan untuk memakan keripik kentang ini … rasanya menyakitkan sekali harus menahannya …. Tolong, biarkan aku memakan keripik kentangku … !”

Fathur bergidik, wajahnya campur aduk antara kasihan, gelisah, dan pasrah. Di sela kelengahannya, Laili menyeringai, berhasil merebut bungkus makanan, sontak membuat Fathur terjungkal keras ke belakang.

Laili tergelak tinggi-tinggi, dengan ganas membuka bungkus dan cepat-cepat memakan keripik amat rakus. Remah keripik bercampur air liur, air mata, air ingus, tanpa acuh langsung dilahap sampai habis. Teman-temannya memandang dengan raut horor, tak terkecuali Fathur yang dibantu berdiri.

Putri gempal itu kembali cerah, kulit wajah yang memerah berangsur-angsur normal sawo matang. Selepas mengusap muka sampai bersih, sejumlah peserta mendekatinya, menenangkannya, memberitahukannya bahwa dia sempat membuat orang-orang takut serta khawatir.

Bahkan Ahim bersama Ghani yang di dekat papan kayu ikut merasa gentar gemetar.

“Kan sudah kubilang kalau makanannya aman,” tukas Laili, penuh bangga.

Teman-temannya pun tertawa kecil sebagai balasan.

Lalu, ekspresi Laili beralih ganjil. Dia terbatuk-batuk, meremas leher yang terasa tercekik. Matanya mendelik ke atas, napas tersengal-sengal. Para peserta di sekitar menjerit ngeri. Ahim juga Ghani terbelalak menyaksikan.

Laili berhenti. Dia mengakak puas. Posisinya balik seperti semula, kemudian lanjut mentertawai kawan-kawannya yang bermuka tak senang.

“Tuh, kan, enggak ada apa-apa ….”

“Dasar Laili, pakai bercanda--”   

Mimik senang Laili berganti jadi tersiksa, pori-pori kulitnya seperti terbuka lebar, kemudian menguarkan semacam asap cokelat pekat. Orang-orang di sekeliling segera menjauh serta menutup hidung, memekik ngeri kala memperhatikan jasad Laili. Tubuh putri itu seakan meleleh, tetapi kulitnya tidak ikut. Kulit tersebut tertinggal, turun bersama pakaian baju serta rok menjadi lipatan tak beraturan. Kemudian cairan nanah mengalir meluas membentuk genangan lumpur, dengan lipatan kulit di tengahnya.

Pemandangan di depan Stan Konsumsi berubah jadi horor.

Para peserta berteriak, menangis, bingung tak keruan menyaksikan jasad Laili yang mengenaskan.

Seakan belum berhenti, terdengar suara mirip retak. Di seberang Stan Konsumsi, papan kayu membelah menjadi sembilan kotak sama besar, lalu muncul tulisan “Ada 3 pengkhianat di antara kalian” bersamaan dengan kotak-kotak itu berputar, menampakkan tiga serigala dan enam domba secara acak. Sekejap kemudian, puluhan duri kecil memelesat dari baliknya, sangat lajak sampai tak memberi waktu menghindar.

Tak beruntung, Ahim dan Ghani tepat menghadap papan kayu itu.

Kebanyakan duri meleset dan tak mengenai peserta lain. Satu duri menancap pada lensa kiri kacamata Ahim, membuatnya pecah tak keruan. Gemetar, Ahim perlahan menoleh. Ghani di sampingnya berlutut, menyembunyikan kepala, kedua tangan meremas mata kanan. Dari sela-sela jari, cairan merah mengucur.

Semua peserta memandang ngeri. Ghani menampakkan mata kanannya yang bersimbah darah.

Belum juga bisa bernapas dengan benar, muncul lagi suara, kali ini dari tiap-tiap gawai peserta. Seusai dibuka, muncul keterangan bahwa perintah telah dilaksanakan. Saat itulah, sejumlah putri memekik dalam kebingungan, membuat para peserta makin ketakutan.

Risma menggaruk-garuk mulutnya yang tak dapat mengeluarkan suara. Alifa meraba-raba udara di depannya pula memohon-mohon. Feni panik tengok kanan kiri dengan raut gelisah. Nana meremas penghidunya sambil menangis takut. Mei ambruk tergeletak disertai seluruh tubuhnya mengejang.

***

Sehabis persoalan akibat insiden-insiden malang yang terjadi secara beruntun, akhirnya keadaan bisa agak sedikit lebih tenang. Beberapa peserta tak terdampak masih tampak ketakutan, satu-dua menolak berinteraksi dengan orang lain. Satu demi satu peserta berpecah belah.

Empat putri korban peristiwa musala terlihat syok kala mengetahui sejumlah kawannya bernasib hampir sama. Katanya, mereka kehilangan indra. Lima orang, masing-masing. Risma raib pengecap, Alifa lesap penglihat, Feni lelap pendengar, Nana lucut pencium, Mei luruh peraba.

Sementara itu, mata kanan Ghani dibalut perban dan telah diobati. Putra jangkung itu memilih diam daripada terlihat kesakitan di mata kawannya, terutama jika di depan Ahim. Si parkit amat merisaukan tiang listrik.

“Ghani …, matamu masih sakit?”

“Tidak apa-apa … sudah tidak apa-apa ….”

Fathur, mengumpulkan lagi mereka ulang kejadian demi kejadian, berusaha menyusun rencana guna membebaskan semua teman-temannya dari ulah kekuatan supernatural Bumi Perkemahan yang tak ada habisnya ini.

Fathur melangkah menuju hadap kedua putra yang duduk depan tenda.

“Ghani, Ahim, aku ingin mengajak kalian bekerja sama.”

***

Intan tidak gentar. Sekalipun, tak pernah gentar dalam hidupnya. Kecuali saat ini, ketika putri ayu itu harus menyaksikan satu per satu ketidakmasukakalan berlangsung tepat di hadapan. Akal sehat Intan sudah terlalu rusak untuk mengatakan bahwa semua peristiwa ganjil terbilang logis untuk bisa terjadi.

Saat itulah, ketika seorang putra berbadan tinggi menghampirinya, menyiratkan bahwa dia sadar ketakutan yang tengah menggerogoti tubuh Intan. Intan pun diajak menuju belakang Gedung Khusus Panitia, tempat yang tidak satu pun orang melihat.

“Intan, kamu kenapa? Kalau ada yang bisa kubantu, bilang saja ….”

“Aku tidak butuh--”

Intan merasakan niat buruk. Dan, dia harus memberi perlawanan.

Putri itu mengeluarkan pisau dapur, yang sebelum ini sudah dia curi dari Stan Konsumsi kelas lain, menancapkannya kala si putra lengah hendak melahap tubuhnya. Putra tersebut terbelalak, tak percaya atas perlakuan Intan yang mendadak. Intan pun tak menginginkan demikian, tetapi situasi mengatakan sebaliknya.

Intan mencabut pisau, kemudian menusukkan ke dada kiri si putra, berulang kali. Tikaman pertama menghasilkan suara cabikan daging. Tikaman kedua menghasilkan suara cabikan daging. Tikaman ketiga menghasilkan suara cabikan daging. Baru di tikaman keempat, terdengar tulang remuk, diikuti lubang menganga pada dada kiri lagi darah memancar kencang.

Intan berhenti, lalu pisau di genggaman lolos. Dia mundur seraya gemetar, meremas kuat kepala, mencakar pipi keras-keras. Tangannya berlumur darah. Pakaiannya berlumur darah. Tubuhnya berlumur darah. Jasad di hadapannya tergeletak lemas, dengan cairan merah bersimbah, menciptakan genangan yang kian meluas.   

“Ini tidak mungkin …. Ini tidak mungkin …. Ini tidak mungkin … !” 

Intan, dengan pupil mengecil dan manik mata gemetar, amat syok menyaksikan tubuh di depan kaki bersepatunya terbaring tak berdaya.

“Ryan!”

###

Total peserta: 22 dari 32 orang

Total peserta mati: 3 orang

Total peserta tak diketahui: 7 orang

###

Kudus, 31 Januari 2021

@

Total peserta waras: 0

Wkwk bercanda. Semoga pembacanya masih waras biar bisa lanjut baca

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top