BAB 22: Berdoa dan Pulang

Total Peserta: 3 dari 32 orang

###

Pernyataan si Ketua tak ayal menyebabkan emosi yang meledak-ledak baik dari Intan maupun Fennia.

“Dasar penipu! Pembohong! Lelaki bajingan! Berani-beraninya menipu kami selama ini! Membiarkan semua orang mati! Apa sebenarnya yang kau inginkan, Thur! Yang kau lakukan itu pengecut, tau!”

“Fathur … ! Tega sekali kamu! Kenapa kamu melakukan semua ini? Apa maumu, Thur!”

Putra yang disumpahi malah memberi air muka datar, menatap tanpa ekspresi kepada dua putri. Fathur pun menanggalkan tas, lalu menelengkan kepala. “Duduk dulu,” ucapnya, santai.

“Hah?”

Tak mengindahkan pandangan kawannya yang kesal, putra itu berbalik, menuju panggung aula yang posisinya paling dekat. Fathur duduk pada tepi, mengangkat betis kanan yang ditekuk, bertumpu di atas paha kiri.

“Mendekatlah. Aku akan menceritakan semuanya.” Tentu Intan dan Fennia tak sudi menurut, posisi masih terpaku di tempat. Fathur pun berdesah seraya menunduk, dan pilih masa bodoh. “Baiklah, tetap di sana saja, yang penting masih bisa dengar.”

Dimulailah pengungkapan kepelikan Bumi Perkemahan.

“Aku mengetahui alasan semua peserta berada di Bumi Perkemahan, sehingga aku berpura-pura menjadi peserta yang normal. Dan, aku juga tau bahwa Ghani bersama Ahim juga mengetahui hal itu. Kami bertiga mengetahui semua kejanggalan di Bumi Perkemahan.

“Bumi Perkemahan itu … seperti dunia gaib yang mempunyai kemauan sendiri, yang bisa melakukan hal-hal tidak masuk akal seperti membunuh orang-orang dengan cara sadis dan kejam. Semuanya berjalan sesuai skenario Bumi Perkemahan, sampai suatu ketika ….

“Ghani memutuskan menjadi tumbal, karena Alya sudah tidak lagi hidup. Aku sangat khawatir akan terjadi apa-apa dengan Shilka sehingga kusuruh dia pergi dari Bumi Perkemahan lewat jalur rahasia. Oh, ngomong-ngomong aku juga yang membakar tubuh Ghani di lapangan apel.”

Penjelasan pun berakhir dengan Fathur yang mengubah pose ke bertopang dagu.

“Jadi, bagaimana? Ayo, menurut saja denganku dan kita pulang bersama-sama … !”

Saat itu, Intan amat geram. Kulit mukanya yang putih jadi merah padam. Sementara Fennia yang terduduk bersimpuh turut naik pitam.

“Aku tidak mau ikut kau, dasar lelaki kampret!” olok Intan.

“Aku juga tidak mau, dasar pembunuh!” sergah Fennia.

Fathur mengikik. “Hahaha! Yang membunuh itu Bumi Perkemahan, bukan aku, dasar tolol!” 

Intan benar-benar sudah hilang kesabaran. “Fathur, aku akan membunuhmu!”

Si putra lagi-lagi tertawa kecil. “Kamu? Bunuh aku? Huh! Sini kalau berani!” tantangnya.

Putri ayu itu memasang kuda-kuda mantap, posisi kaki belakang ditekuk kuat dan kaki depan ditekuk sedikit, kedua tangan terkepal siap bertarung. “Jangan remehkan aku! Aku sabuk hijau dalam karate!” serunya.

“Huh! Lemah!” Fathur tak mau kalah. Dia mengeluarkan belati tentara dari balik saku celana cokelat.

Namun, Intan tak gentar. Dia malah memberi tatapan menantang, “Maju sini!”

Melihat temannya begitu gigih menunjukkan tekad, putri satunya pun bangkit seraya mengangkat sebongkah batu. Dia sempat kesusahan berdiri, tetapi bisa seimbang dengan menyandar batang pohon terdamping.

“Intan, aku juga mau membantumu!” ujar Fennia.

“Fen ….” Intan sedikit khawatir, tetapi membiarkannya ikut berhadapan dengan Fathur. Kini duo putri menentang lekat sambil bersiap memberi perlawanan.

“Hm? Apa ini? Si kaki satu juga berani rupanya?”

Fathur memain-mainkan belatinya, tersenyum sinis, mengerling bergantian. Dia pun ikut bersikap siaga, dengan mata mengilat.

Kala awan-awan gelap memenuhi langit, pertarungan pun pecah.

Intan memekik, melayangkan pukulan, tetapi langsung ditangkis lawan. Fathur melontarkan belati, Fennia melemparkan batu. Serangan Fathur memeleset, luput meluncur begitu saja. Intan memanfaatkan ini dengan memberi pukulan kedua, tetapi dia terkejut menyaksikan kepala Fathur remuk terkena lemparan batu, mengucurkan banyak darah. “Inikah … yang dinamakan the power of friendship--” Fathur mendelik ke atas, lalu ambruk. Intan menoleh ke belakang, melihat jasad Fennia terbujur kaku dengan belati menusuk lehernya dalam, memuncratkan limpahan cairan merah.

Si putri menatap ngeri, menggigit bibir bawah, mengertakkan gigi, menangis pedih. Dia menghampiri jasad Fathur yang tergeletak, mengambil batu berlumur di dekatnya, lalu menghantamkan batu itu ke wajah Fathur sampai hidung patah, muult sobek, dahi berdarah. Dia hantamkan lagi, membuat muka Fathur semakin hancur. Dia hantamkan lagi, sampai merah semua rupa Fathur. Dia hantamkan terus-menerus hingga tengkorak remuk, mengeluarkan cairan merah muda dan ceceran jambon yang tumpah ruah.

Batu di genggaman lolos, mencium tanah. Tangan Intan yang lecet berlumuran darah serta debu lumpur. Putri itu memandang jasad Fennia dengan tatapan pilu, lalu memasangkan topi boni ke wajahnya. Intan mendongak, menyadari angkasa begitu kelam bersama dengan gemuruh. Tempias pun jatuh dari langit, membasahi daratan. Hujan lebat langsung berlangsung, menciptakan titik-titik air menghunjam hebat, menghasilkan suara keras.

Intan berlari ke pintu Gedung Khusus Panitia. Dia berteduh di sana, sambil menyaksikan keadaan di luar. Putri itu bak kehilangan jiwa, tatapannya kosong, kulit pucat pasi. Dia menonton jasad dua temannya terhanyut oleh air limpasan, mengalir dari gapura menuju arah bawah. Sejumlah benda-benda seperti tenda, terpal, tas-tas, potongan kayu, dan material lain turut terbawa arus banjir.

Selepas badai usai dan air limpasan pergi, Intan memberanikan diri keluar dari Gedung Khusus Panitia. Langit telah cerah, matahari masih bersinar malu-malu. Titik-titik air terlihat di beberapa tempat, terpantulkan cahaya pagi. Sepatu hitam Intan menapak tanah yang becek, kemudian menjejak jalan setapak yang terdapat lumpur cokelat.

Langkahnya terseok-seok, badan membungkuk, tangan lemas, leher menunduk. Eskpresinya benar-benar menyerupai orang tanpa kesadaran. Intan beradu di tangga yang menuruni lapangan apel, menjumpai barisan sosok-sosok hitam orang asing berseragam pramuka lengkap yang beratur rapi di sana.

Intan menapak anak tangga, turun sampai lapangan. Serasa terhipnosis, dia menghampiri sesosok siluet berperawakan pria dewasa mengenakan seragam panitia perkemahan, yang langsung berbalik kanan, menghadapnya, kemudian mengalungkan rangkaian bunga serta memberikan papan kertas yang lebar dan tipis, bertuliskan “Peserta Terbaik”.

“Selamat atas penghargaannya!” “Selamat ya telah berjuang selama ini!” “Selamat sudah bertahan hingga sekarang!” “Selamat dalam perjuangan keras Saudari!”

“SELAMAT DAN SELAMAT DAN SELAMAT DAN SELAMAT DAN….”

Sosok-sosok hitam menciptakan dua tapak tangan berbalut sarung putih, segera bertepuk tangan dengan meriah, aplaus paling semarak bertabur confetti yang beterbangan serta dilengkapi bunyi terompet kemenangan.

Intan, dengan wajah tanpa ekspresi, menjelang lapangan apel yang tanpa kehadiran makhluk lain, hanya dipenuhi seragam yang terlipat dan potongan pita warna-warni. Si putri menyadari pakaiannya bersalin menjadi seragam pramuka lengkap; baju kemeja, celana cokelat, topi boni, setangan leher, dan sepatu bertali.

Intan kemudian menuju gapura akses masuk, naik minibus yang menjemputnya, melaju menembus kabut tebal jalanan.

###

Kudus, 13 Maret 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top