BAB 21: Akhir Kegiatan
Total peserta: 5 dari 32 orang
###
“Kalian semua harus mati … !”
Suara geraman dan raungan datang dari berbagai arah. Kerumunan manusia berperawakan remaja, mengenakan seragam pramuka lengkap atau baju kasual, muncul dari balik kabut tebal, berjalan gontai mendekat. Ternyata mereka adalah peserta perkemahan yang telah mati, kini beralih rupa menjadi mayat hidup. Muka tak berbentuk dengan mata-hidung-mulut hancur, tangan dan kaki berada pada posisi salah, juga tubuh serta kepala tampak ada bekas terkoyak-koyak. Terdapat sebentuk jahitan yang menghubungkan bagian badan mereka.
Kepungan mayat hidup kian mendekat, tak memberi jalan keluar. Intan beserta Fennia menjerit, sementara Fathur memekik gusar.
“Ahim, jangan main-main dengan kami!” hardik si Ketua.
“Tolong, jangan bunuh kami, Ahim!
“Apa-apaan ini, Ahim! Apa yang kaulakukan dengan teman-temanmu sendiri!”
Si cebol berkacamata malah menyeringai, tak mengindahkan para peserta yang memohon. Putra bersimbah darah itu berkial mencemooh, merentangkan kedua lengan seraya memelotot dan mengerising lebar-lebar dengan nada mengerikan.
“Nah, ayo, para pasukan zombiku! Bunuh dan makan para pecundang itu demi tuanmu ini yang sudah menciptakan kalian, menjahit dengan susah payah menggunakan kekuatan Buper! Ayo, bunuh mereka semua! Tapi, jangan cepat-cepat, karena aku ingin menyaksikan penderitaan dari siksaan yang kuberikan sampai mereka mati!
“Diam! Diam! Diam! Kalian harus mati mengenaskan lebih dari apa yang kalian lakukan ke Ghani! Kasihan Ghani! Kalian sudah membunuhnya! Tau rasa! Ini hukuman untuk kalian yang sudah berbuat kejam kepada Ghani! Mampuslah kalian!
“AH … ! Mati, mati, mati, mati, mati! Mati kalian semua … !”
Ahim mengeluarkan gunting besar yang berukuran tiga kali lipat tapak tangan mungilnya. Gunting itu dia acungkan ke udara, seiring para mayat hidup yang sudah dekat bersiap untuk menyerang.
Namun, Ryan berdiri menghadap Ahim, menyebabkan mayat hidup yang hampir mengguit tiga kawannya tiba-tiba berhenti. Ahim mendongak, menentang penuh kebencian kepada si putra tinggi.
“Ryan, apa maumu?”
Ryan melayangkan tatapan tekad bulat. “Jangan lakukan ini.”
“Hah? Ngomong apa kau ini?”
“Ahim, Ghani menitipkan pesan terakhir untukmu--tidak, untuk kita semua!”
Serempak dengan itu, Ryan menggamit ujung kaus olahraganya, menggulung ke atas sampai lepas. Tereksposlah tubuhnya yang masif dan fit, penuh jahitan yang memenuhi bagian dada, perut, serta punggung. Hal itu jelas membuat Fathur dan kawan-kawan berkernyit heran, tak terkecuali Ahim yang kebingungan.
Laksana menangkap maksud untuk beri penjelasan, Ryan berbalik menghadap salah satu putri. Intan bergidik tatkala tatapan si putra tertuju padanya.
“Saat aku menghampiri Intan di belakang Gedung yang bersikap aneh, tiba-tiba Intan menyerang dan membunuhku dengan menikam jantungku.”
Pernyataan tersebut seketika membuat Intan terlengar.
“Aku sudah mati saat itu. Tapi, ternyata aku bisa hidup lagi. Setelah aku sadar, ada seseorang di depanku, mengatakan bahwa tubuhku dia jahit dengan memanfaatkan kekuatan Buper. Dia bisa menghidupkanku walau hanya sementara waktu saja.”
Ahim terbelalak tak percaya, mulut agak membuka dan kedua mata memandang tanah di bawah, dengan ekspresi mematung seperti sedang mencerna apa yang barusan dia dengar.
“I--itu berarti ….”
Ryan menganggut. “Ghani-lah yang melakukannya.”
Si cebol mengangkat kepala, kerlingannya melekat, bibir bergetar dan gigi menggigil, “G-Ghani … ?”
“Iya, benar. Ghani berjuang keras mempertahankan wujudku tidak hancur sampai saat ini hanya demi menunjukkannya kepadamu! Ini semua untuk menghentikanmu dari kegilaan yang sedang kau lakukan, Ahim!”
“Tidak mungkin ….” Ahim berpaling gelisah, pupilnya kian menyempit.
“Jadi, tolonglah, hentikan! Jangan lakukan ini! Ghani tidak akan menyukainya! Ghani bisa-bisa membencimu!”
“Tidak! Tidak! Tidak mungkin! Tidak, tidak, tidak, tidak! Ghani! Ghani, maafkan aku! Maafkan aku, Ghani--”
Kedua tapak Ahim meremas pelipis kuat, seiring mulut menganga berteriak, manik mata gemetar, dahi berkedut. Posisi kacamatanya bergeser, kemudian tangannya mengacak-acak rambut, napas tersengal-sengal serta peluh membanjir.
Kemudian, dia berhenti.
Ryan heran, menyebut si cebol--yang bertingkah ganjil.
“Terus kenapa memangnya?”
Nada suara Ahim menjadi dingin, tatapan matanya beku menentang si putra dan kawan lainnya.
“Bunuh dia,” suruhnya. Pelan, tetapi kejam. Bertepatan dengan diacunya gunting besar ke arah Ryan, para mayat hidup bersiah menerjang.
Satu demi satu makhluk mengerikan itu menggempur. Mengerkah, mencakar, menyerbu tubuh Ryan. Si putra tinggi dibuat kewalahan, tangannya koyak, bahunya sobek, perutnya terburai, tungkainya robek. Segenap mayat hidup melingkari, membentuk kerubungan yang menutup seluruhnya.
Serentak dengan darah-darah yang melancut serta suara cabikan dan geraman memenuhi pendengaran, Ahim terbahak-bahak lebar sambil mendepang puas, pundak naik turun seraya gelaknya kian melengking. Sementara itu, Fathur dan dua peserta putri hanya bergeming menyaksikan.
Kerumunan mayat hidup bubar, hanya menyisakan carikan celana dan ikat pinggang berlumur cairan merah. Ahim kembali tertawa keras-keras.
Tiba-tiba, di belakang Ahim terdengar suara yang familier, memanggil namanya. Sontak si cebol berkacamata membatu, mata terbeliak serta mulut membuka lebar. Suara itu menyebut lagi. Ahim lekas berbalik, kemudian langsung menatap horor. Raut mukanya berubah ngeri ketakutan, kedua tangan dengan jari gemetar perlahan menggaruk pipi sampai mengucur darah.
“Ghani--ini--tidak! Jangan--bukan! Tolong--jangan! Ghani--tidak!”
Air mata lolos dari sudut pelupuk, mengalir deras. Ahim mengigau, meracau, lengan mengulur ke depan berusaha menggapai-gapai sesuatu. Melangkah tersendat-sendat, dia kembali mengucapkan kata-kata tak keruan tanpa arti, terus menggerak-gerakkan tangan ke udara.
“Ghani … !”
Ahim menggila.
Tak menghiraukan gerombolan mayat hidup, tak mengacuhkan ketiga peserta lain, tak memedulikan apa-apa lagi, Ahim memasang gunting pada leher, dengan kedua bilah tepat menempel kulit. Masing-masing lengan menggenggam bilah, menekan ke arah berlawanan. Awalnya dia memekik sakit, tetapi tetap lanjut memotong. Sampai darah mengucur pesat, tetap ditekan kuat. Namun, Ahim hilang kesadaran, gunting belum tuntas. Si cebol ambruk, tergolek di atas tanah dengan gunting masih terpasang. Darah melimpah keluar dari leher, membentuk genangan luas.
Namun kemudian, tubuh itu bangkit, lengan mendesak gunting pada leher kembali. Cairan pekat bersimbur seiring daging merah teriris, terus menyembur sampai mata bilah mencapai tulang. Dengan sekuat tenaga, tangan menekan gunting, keluar geraman, wajah merah menahan kesakitan, dan akhirnya leher pun terpenggal. Kepala Ahim jatuh menggelinding dengan ekspresi pedih serta lidah menjulur. Tubuhnya turut roboh, tergeletak. Dari kepala maupun leher keluar darah yang melimpah.
Peserta tersisa hanya bisa menonton. Intan menatap ngeri dengan tanpa ekspresi, mata terbeliak, napas memburu, tangis membanjir tanpa suara. Sedangkan, Fennia menyembunyikan wajah di balik telapak tangan, tidak kuasa melihat. Fathur membisu, topi boni membentuk bayangan gelap yang menutup separuh wajah bagian atas.
Terdengar bunyi semacam benda padat melebur serta menghasilkan gas ke udara. Semua mayat hidup terurai dan berhamburan menjadi bubur hitam kecokelatan yang menguarkan uap menyengat, membuat ketiga peserta harus menutup penghidu.
Para peserta bungkam. Kesenyapan lagi-lagi menguasai Bumi Perkemahan.
Di saat yang bersamaan, mereka menyadari satu hal: tubuh kawan-kawannya tidak bisa dibawa pulang.
***
Langit hitam mulai tercemar biru, tetapi masih gelap. Kapas-kapas kelam lebam memenuhi angkasa, yang mengguruh dan ditemani embusan angin kencang. Fathur, juga Intan yang memapah Fennia, sudah tidak ingin berlama-lama lagi di tempat terkutuk ini. Mereka membawa tas besar berisi barang-barang serta baju yang telah disiapkan sebelumnya, berjalan diiringi nyanyian dahan-dahan konifera, lengkap dengan pemandangan Bumi Perkemahan yang mengerikan.
Langkah ketiganya tertuju pada gapura yang terbuka lebar. Itulah pintu eksit untuk membebaskan diri dari Bumi Perkemahan yang telah merenggut berpuluh-puluh nyawa tak berdosa, nyawa kawan-kawan mereka. Sudah tidak ada canda tawa, suasana sukaria, ataupun kenangan manis antarpelajar sekolah menengah atas. Yang menanti mereka hanyalah sendu pilu, dukacita, serta kepelikan tak masuk akal lainnya.
Ketika baru sampai di jalan setapak antara panggung aula bercat darah dan Gedung Khusus Panitia, Fathur beradu sejenak, memperhatikan minibus berwarna merah pekat yang teronggok di halaman, diikuti dua peserta. Tatapannya sedu, tetapi di saat yang serentak mengandung enigma.
“Ahim itu orangnya mirip bocah, sifatnya aneh juga tidak jelas. Kadang dia suka mengoceh dan aku tidak paham sama sekali yang dikatakannya. Tapi, otaknya pintar dan dengan cepat mengetahui apa yang harus dilakukan saat itu juga. Jujur, selama di sini aku sangat terbantu berkat solusi yang diberikannya. Sangat disayangkan dia mati bunuh diri mengenaskan begitu.”
Sementara Intan dan Fennia tetap menyimak, Fathur melanjutkan.
“Ryan itu laki-laki yang kuat, dia rajin berolahraga makanya tubuhnya kekar begitu. Dia banyak membantu pekerjaan berat selama ini, dan dia sangat setia kawan, makanya aku merasa begitu sedih kehilangan dia.”
Fathur berjeda sejenak, kemudian menjelaskan tentang rute keluar setelah gapura berupa jalan raya berkelok-kelok, dan kemungkinan bisa saja bertemu penduduk setempat atau kendaraan yang lewat, sehingga mereka bisa meminta tumpangan untuk kembali ke daerah asal. Setelah itu, dia mengajak Intan juga Fennia lanjut melangkah.
Intan merasa aneh hanya dua orang terakhir yang dibahas di momen ini. “Fathur, bagaimana dengan Shilka?” tanyanya.
“Ah, selain Ghani dan Ahim, yang bisa menggunakan kekuatan Buper itu Shilka. Tapi, dia mati ketika bunuh-bunuhan di lapangan apel.”
Fathur menoleh. Dua putri di belakangnya tahu-tahu berhenti. Pegangan tas lepas, seiring meremang menentang si putra.
“Eh, kenapa kalian memandangku seperti itu?”
Intan dan Fennia menatap dengan mimik waswas, pupil menyempit, mulut menganga, dahi berkernyit.
“Fathur, bukannya Shilka itu hilang? Bagaimana bisa kamu tau dia bisa menggunakan kekuatan Buper?” soal Intan, kali ini dengan nada curiga.
“Iya, Thur. Bukannya yang dikasih tau Ghani itu Ryan, ya? Sementara kita ‘kan baru tahu kekuatan Buper bisa dipakai pas tadi,” sahut Fennia.
“Eh? Itu …. Iya! Ghani kasih tau aku sebelum dia mati!” dalih Fathur.
“Kenapa tidak kasih tau ke kami soal terpenting kayak itu?”
“Aku lupa!”
“Bohong!”
Fathur hening.
Intan menjadi berang. Wajah ayunya yang sudah kusut jadi memerah. “Aku tau kau juga meng-uninstall aplikasi Buper Saba sebelum dikasih tau Tiara, kan! Sejak awal kau sudah melakukannya dan merahasiakannya dari kami!”
Fathur gelisah.
“Jangan-jangan yang menaruh kertas perintah paling akhir di Stan Konsumsi itu Fathur juga?” Fennia kian menaruh syak.
Fathur kelabakan.
“Ayo, Fathur! Cepat Jawab! Kalau aku dan Fennia keluar dari sini, apakah kami bisa selamat sampai rumah!”
“Fathur, kasih tau ke kami, cepat! Buruan jawab!”
Suara kikik tercipta, membuat para putri mengeriap.
“Kalian menuduhku selama ini berbohong … ?”
Wajah Fathur berubah aneh. Mata memandang cabul, mulut menganga, lidah dijulurkan.
“Kalau iya, memang kenapa?”
Kedok si Ketua terungkap, akhirnya semua kepura-puraannya terbongkar.
###
13 Maret 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top