BAB 20: Titik Darah Penghabisan
Bab 20: Titik Darah Penghabisan
###
Ini sudah pagi. Hari bersedia mengusir malam, barangkali saat ini ia sedang pergi memanggil surya, selagi halimun pekat menjaga angkasa. Pemandangan pertama yang Fathur sambut setelah lepas dari jerat kenikmatan bunga tidur adalah sesosok jasad peserta perkemahan bertubuh jangkung dan seumuran, yang diikat pada tiang kayu setinggi dua meter lebih.
Itu Ghani. Dengan kondisi luka bakar hampir sembilan puluh persen.
Jasad Ghani yang dia lihat sudah tak berbentuk lagi wajah, tubuh, maupun bagian yang bisa digunakan untuk identifikasi mayat--semua lesap hangus. Kain baju yang membungkus badan tinggal hitam, kain lengan habis. Kain celana setengahnya terbakar, tinggal hitam pula. Kerangka topi boni, ujung setangan leher, dan sabuk masih tampak terpasang. Sementara sepatu bertali meleleh jadi bubur beku.
Fathur terbelalak, mata tak berkedip, menunjukkan ekspresi tercengung. Lalu tangan kanannya mengepal, memukul lengan satunya untuk memastikan bahwa ini sudah tidak lagi di alam mimpi. Namun, kulit sawo matang jadi memerah, tanda reaksi biokimia dalam tubuh yang berlangsung. Masih belum yakin, Fathur memukulkan dahi ke tanah berumput, beruntung ada batu kecil tertanam sebagian, berulang kali sampai dia puas. Awalnya kening lecet, kemudian bengkak, lalu terbentuk tato merah, baru mengucurkan darah yang merembes sampai membasahi tanah pula sedikit bagian seragam putra itu.
“Ghani … !” Teriakan lantang tercipta seiring mukanya berurat, merah padam, memenuhi seluruh penjuru Bumi Perkemahan yang sekaligus menjadi pelesit pemanggil bagi kawan-kawannya yang terlebih dahulu memencar.
Di tempat lain, satu peserta cebol tampak bergumul di bawah rimbunnya pepohonan dan di dalam tebalnya kabut, sibuk melibatkan diri dengan sesuatu yang banyak, sampai membuat baju pula kulit bersimbah cairan pekat. Tangannya bergerak menjauh mendekat, seperti sedang menarik suatu benda. Hal itu dia lakukan berulang kali, bahkan sampai jari bengkak akibat terlalu lama memegang suatu benda.
Di tempat lain pula, gerombolan peserta perkemahan berjumlah tiga orang terlihat serius mengamati kendaraan minibus yang terdapat di depan Gedung Khusus Panitia. Sebelumnya, mereka sempat menilik panggung aula, lantas terkejut bukan main dan terserang nausea kala menyaksikan kondisi panggung yang bersimbah darah merah kental, bagaikan mengecat seluruh permukaan tempat itu, pada lantai, pada langit-langit, pada tiap dinding.
Suasana sekitar begitu senyap, diliputi kabut pekat yang menyelimuti batas pandang. Mungkin saja suara-suara lemah tidak terdengar karena partikel-partikel halimun menyerap semuanya. Langit pun suram, tak ada tanda-tanda matahari akan terbit sejenak.
“Bagaimana, teman-teman? Kalian sudah mengingatnya?” Ryan bertanya dengan mimik benar-benar mantap, bagaikan meyakinkan dua peserta lain di hadapannya untuk percaya.
“Aku masih belum yakin, karena ingatanku seperti diaduk-aduk ketika mencoba memikirkannya,” timpal Intan, yang memapah Fennia. Kondisi penampilannya mungkin terbilang awut-awutan habis bangun tidur.
“Aku juga sama, rasanya sulit untuk percaya, tapi aku juga merasa kalau itu memang benar yang terjadi,” balas Fennia.
“Tidak apa-apa, nanti kalian akan pelan-pelan mulai mengingatnya. Karena sesuai kata Fathur, efek kekuatan supernatural Bumi Perkemahan sudah menghilang, jadi kalian bebas meninggalkan tempat ini kapan saja.”
Kedua putri masih ragu-ragu, saling tatap, kemudian mencoba percaya dengan perkataan Ryan.
Fennia pun menyimpulkan satu hal, “Jadi … tubuh Ghani yang ada di lapangan apel itu ….”
Ryan mengangguk. “Ya, itu sebagai tanda bahwa penumbalannya berhasil.”
“Sungguh mengerikan ….”
Baru mereka hendak berbalik pergi, seorang peserta muncul dari balik kabut. Fathur seakan disiram harapan tatkala menjumpai kawan-kawannya masih baik-baik, lantas berlari kecil guna menghampiri. Ryan pun menceritakan beberapa hal yang ditemukan bersama dua putri lainnya, termasuk panggung aula, yang membuat Fathur amat terkejut dan sedikit ketakutan. Sementara itu, Intan dan Fennia terfokuskan pada gestur pula perubahan mimik si Ketua, lalu saling pandang dengan tatapan serius, bertanya-tanya.
Fathur yang sudah mendapat kejelasan lantas menyuruh yang lain membereskan barang-barang sebelum menyusun rencana untuk keluar dari Bumi Perkemahan, melalui gapura masuk yang berada di utara. Namun, baru berjalan sebentar, rombongan Fathur bertemu dengan Ahim, si cebol berkacamata, yang penuh noda cairan merah. Para peserta terutama putri bergidik ngeri, apalagi saat menyadari ekspresi wajah yang dilayangkan Ahim begitu penuh dendam.
Si Ketua menghampiri cebol itu, dengan nada senang mengajaknya. “Ahim! Pas sekali, kami sednag mencarimu. Karena sudah lengkap lima orang, ayo kita siap-siap, kumpulkan bawaan dan persediaan. Kita akan segera keluar dari Buper terkutuk ini!”
Ahim mengangkat kepala, menunjukkan mimik penuh kebencian, tetapi cenderung datar. “Itu tidak perlu.”
“Eh?”
“Karena aku akan membunuh kalian semua!” jeritnya seraya mengeluarkan sebilah pisau dapur dari balik saku.
“Ahim!” pekik peserta lain.
Fathur merentangkan tangan kanan ke samping. “Ahim, ada apa denganmu? Jangan macam-macam! Kami berempat, kamu sendirian. Jangan lakukan hal yang aneh-aneh! Ayo, cepat kemari dan turuti apa perkataanku.”
“Tidak sudi! Tidak mau! Dasar pembunuh! Ghani mati karena perbuatan kalian! Ghani mati karena kalian tidak menghentikannya! Kalau saja …. Kalau saja …. Waktu itu kalian menghentikannya, mungkin Ghani masih ada di sini. Tapi! Kalian membiarkannya!”
Mata Ahim mengilat, menjadi seram, lalu melirik satu per satu orang di depannya.
“Katakan! Siapa di antara kalian yang melakukannya! Yang meletakkan tubuh Ghani di lapangan apel lalu membakarnya sampai hangus itu! Siapa! Cepat katakan!”
“Ahim, coba tenangkan dirmu dulu--”
Cebol itu tertawa keras. “Tenang, katamu? Setelah semua ini yang terjadi, kau menyuruhku tenang?! Dasar Ketua sialan, bisa-bisanya melakukan semua ini ke aku dan Ghani! Mati aja kamu!”
Ahim menyeringai, tangannya siap, badan memasang kuda-kuda guna meluncur menyerang Fathur. Akan tetapi, saat serangannya hampir dimulai, seorang putra tinggi menghadang. Ryan berdiri menghadap Ahim, seolah bersedia menjadi lawannya.
“Kenapa, Ryan? Kamu mau jadi yang pertama mati, ya? Oke, akan kulayani.”
Bersamaan dengan itu, gerombolan mayat hidup berupa teman-temannya sendiri berdatangan dengan langkah gontai, menggeram, siap menggigit siapa pun manusia di sana. Membuat dua peserta putri dan Fathur bergidik ngeri serta menjerit takut.
Di sisi lain, Ryan menatap mantap. “Tidak, aku ingin mengatakan sesuatu tentnag Ghani. Ini pesan terakhirnya.”
###
Kudus, 7 Maret 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top