BAB 2: Kedok Palsu

Kaum hawa punya cara tersendiri dalam menikmati masa istirahat. Peserta putri bernomor absen ganjil sarangnya di Tenda Sangga 1 Putri, sedangkan peserta putri bernomor absen genap berkandang di sebelahnya, Tenda Sangga 2 Putri. Kedua tenda tersebut paling dekat dengan Monumen Tunas Kelapa.

Sebagian peserta telah mengantre di depan kamar mandi yang tersebar di beberapa sudut Bumi Perkemahan, sedangkan putri yang lain bersantai-santai di atas tikar nan digelar di sekitar tenda. Sisanya bersiap di stan konsumsi, jaraknya ratusan meter dari tenda dan dekat lapangan di selatan.

Hanya segelintir putri yang berkampung di stan konsumsi kelas XII MIPA 1. Tak ada kehadiran orang lain. Mereka tengah menyiapkan makan siang sambil mengobrol di atas tikar. Babu masak memotong bahan masakan, babu dalam menyiapkan alat dan merapikan tempat makan, sedangkan majikan tidur-tiduran sambil memberikan curahan hati kepada kacung-kacungnya.

Bercanda, tidak ada sistem kasta di sini.

Juru masak kali ini adalah seorang putri berkacamata yang kerudungnya memanjang hingga di bawah pinggang. Namanya Alya. Sayangnya, dia begitu memesonakan, bahkan masih terasa hawa pakai jaran goyang. Walau belaka putri-putri saja di sini, bukan berarti Alya ganda putri, bukan.

Alya terlalu biasa sampai kebablasan pakai terus. Bahkan Ahim si anak aneh pun ikut terpincut. Jikalau di kelas, mereka berdua minimal menghabiskan lima jam dalam jarak zona satu meter.

Ya, memang karena sebangku. Mengingat jumlah putra dan jumlah putri ganjil.

“Alya, masakannya sudah jadi?” Temannya bertanya. Alya manggut. Oseng tempe dan nasi hangat sudah siap.

Teman-teman di stan konsumsi pun membantu menyiapkan. Tidak tak termasuk si majikan. Puluhan wadah dari daun pisang tersaji berisi nasi menguar uap, lauk pauk lezat bergizi diletakkan dalam anyaman rotan beralas kertas minyak.

Beberapa saat kemudian, peserta putri lain yang juga berseragam pramuka lengkap datang. Ada yang memilih duduk di atas tikar tambahan, ada pula yang duduk di pinggir jalan setapak.

Mereka bertanya-tanya. Mengapa orang lain tidak ada? Ke mana Bantara, guru, dan kelas lainnya? Mengapa Bumi Perkemahan begitu sepi? Kapan peserta lainnya kembali dari gerak jalan? Lalu, temannya menjawab, bahwa paling-paling mereka bakal datang terlambat. Nanti pasti sampai. Masih banyak waktu tersedia.

Sementara itu, Alya ikut membagikan makanan kepada teman-temannya yang cuma putri. Kalau para putra barangkali masih di tenda. Putri berkerudung besar tersenyum dan solahnya halus, apalagi suaranya nan lemah lembut. Bisa-bisa ada sesama yang jatuh cinta kepadanya.

“Terima kasih, Alya!” Itu adalah putri terakhir.

“Sama-sama!” Seringai kepuasan terukir.

Walau hawa pesonanya menguar, Alya tetap menguasai diri. Dia tak akan menyelak lawang bagi orang lain.

Karena Alya sudah punya tajuk mahkota Ghani.

***

Sepi nyenyat,
Dilamar akhir hayat.

Beriringan menyisir jalan setapak terasa rindang apalagi berkat naungan pepohonan konifera di Bumi Perkemahan. Sepatu bertali leluasa menapak tanpa khawatir comot karena jalan sempit ini dilapisi aspal.

Sudah serasa milik sendiri.

Tujuh peserta putra melangkah menuju Stan Konsumsi yang jaraknya hanya ratusan meter. Mereka tidak berbaris atau berdekatan, melainkan memisah-misah menurut minat. Sebelumnya, tenda putri Sangga 1 dan 2 kosong tanpa orang, artinya ini saatnya makan siang.

Peran utama selanjutnya adalah putra dengan gaya rambut juga rupa khas artis Hollywood India, namanya adalah Fathur. Dia berjalan di sisi Ghani yang diam bengong dan Ahim yang asyik berdadung. Fathur memiliki sifat skeptis bahkan dengan hal pelik sekecil atom pun. Kadang kala tatapan merendahkannya membuat orang-orang mengacir.

“Kamu kenapa sih?” Sasaran kali ini yaitu si cebol.

Orang yang ditanyai belum berkoneksi, masih asyik menyanyi tanpa lirik.

“Tadi, lo, teriak-teriak enggak jelas gitu di tenda?”

Kabel saraf sensorik dan motorik milik Ahim pun menyambung.

“Oh, tadi tuh aku lihat Ghani pas melamun, ruhnya kayak ditarik gitu ke atas, sama enggak tau apa. Aku ‘kan jadi takut gitu, terus manggil-manggil namanya biar ruhnya balik. Enggak mungkin ‘kan aku cium dia kayak adegan si gendut menyelamatkan si cewek di film IT.”

Fathur menepuk jidat. Ghani, temanmu satu ini tidak normal.

“Him, imajinasimu ketinggian. Aku enggak sampai.”

Kalau soal tinggi badan memang Fathur bisa mencapainya, tetapi kalau membahas fantasi, dia kalah telak. Memang khayalan Ahim terlalu tinggi, tidak seperti tubuhnya yang cebol.

Ahim menggerutu. “Aku tuh takut kalau Ghani ditarik ke dunia lain. Kan, enggak lucu kalau aku ikutan acara Masih Dunia Lain dan tempatnya di sini terus ketemu ruhnya Ghani.”

Fathur mengangkat sebelah alis. “Emang kamu berani ikutan Masih Dunia Lain?”

“Paling baru tiga menit sudah menangis,” timpal Ghani.

“Berani, lah! Kemarin itu aku nonton yang pesertanya reporter yang cerewet bahkan ajak hantunya bercanda, terus berhasil sampai satu jam dan dapat hadiah. Kalau aku mungkin bakal menggelar piknik terus ajakin hantunya makan kukis sama minum susu hangat. Enak juga kalau hantunya pakai telekinesis bantu nyiapin piring sama cangkirnya.”

Fathur tercengang. “Kenapa sih, Ghan, kamu bisa punya teman aneh enggak jelas kayak Ahim ini?”

Mata Ghani mengerling. “Entahlah.” Kapan sampainya sih?

Ahim berputar-putar seraya bersenandung, lalu tersandung, lalu belendung. Tangannya membersihkan debu pada pakaian cokelatnya, berikutnya memijit dahi. “Kita itu teman sejak TK!” Kemudian, mulutnya tak henti mengoceh lagi.

Ya ampun. Jaraknya cuma dekat, kenapa rasanya seperti berjalan dari Anyer ke Panarukan? Lagi-lagi, Ghani mengeluh. Tak acuh dengan temannya yang meracau, sedang satunya marah-marah.

Fathur putus asa. Minatnya beralih pada putra berbadan tinggi di depan, yang sibuk memperhatikan jam tangan. “Itu jam tangan baru, ya, Yan?” Putra berkaus olahraga yang ditanya mengangguk, kemudian membiarkan barang bagusnya dilihat.

Putra yang dipanggil Ryan itu beruntung karena dia ada di barisan front, bisa sampai dahulu daripada teman-temannya. Sesampai di Stan Konsumsi, Fathur menyaksikan bahwa Ryan berlari, mencoba merampas makanan yang dibawa oleh satu putri ayu dan bersolah karismatik bak Putri Solo--bernama Intan.

“Ryan! Ambil sendiri sana!” Sayangnya, Intan galak. Lagi pula, siapa yang tidak geram saat makanannya direbut orang?

“Pengin coba aja!” Ryan berkilah sambil mencicipi oseng tempe.

Harusnya dia makan dengan posisi duduk. Peduli setan! Pemilik aslinya sudah mendidih darahnya, memunculkan tanduk juga taring--bukan secara harfiah.

“Kamu kenapa ada di sini! Kenapa enggak Jumatan? Jumatan sana! Jumatan!”

“Iya, iya! Nanti habis ini!”

Intan memukul-mukul bahu bidang Ryan, lalu berusaha merebut wadah daun pisang di tangan si putra yang tergenggam erat. Aksi tarik-menarik pun terjadi. Intan memekik kesal, sementara Ryan terbahak-bahak lepas. 

Mereka pasangan serasi.

Entah bagaimana respons peserta lain yang menonton, tetapi Fathur yakin itu kalimat yang seratus persen benar.

Tak berselang lama, datang tiang listrik-burung parkit--julukan pasangan Ghani-Ahim--disusul tiga putra lain. Mereka bersemangat melihat para putri sudah mulai menikmati makan siang, sehingga tanpa buang waktu segera menghampiri Stan Konsumsi. 

Namun, suatu keganjilan bocor.

"Bau apa ini?" Putra tinggi kurus bertanya sembari menutup hidungnya menggunakan setangan leher. Teman-teman yang sadar akan adanya bau aneh turut melindungi penghidu.

###

Kudus, 16 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top