BAB 19: ⚠️BB-3⚠️
Total peserta tersiaa: 6 dari 32 orang
Total peserta mati: 25 orang
###
Intan dan Ryan bertinggung di belakang Gedung Khusus Panitia sebagai tempat perlindungan, karena letaknya tersembunyi, tidak dapat dilihat dari kejauhan. Suasana di situ cukup gelap, diliputi keheningan. Tak ada yang berbicara, hanya suara embusan napas pula detak jantung terdengar.
Si putra menganjurkan tubuh tingginya mendekati Intan. Seolah dia merasakan rasa histeris berbaur syok yang tengah menggerogoti psikis putri tersebut. Intan bergidik, mimik ngerinya menoleh gelisah.
Ryan menatap risau. “Intan? Kau tidak apa-apa … ?”
Putri yang ditanyai bergidik, tetapi kemudian merasa sedikit tenang. “Ryan …,” panggilnya, lemah. Pasti tenaganya terkuras habis akibat segala hal tak masuk akal nan terus terjadi.
“Tenang dulu, oke? Aku ada di sini, jadi jangan khawatir. Kalau ada sesuatu yang berbahaya datang, aku akan selalu melindungimu. Jadi, tenang saja, Intan,” ujar Ryan, berusaha jadi pria sejati di waktu yang tepat.
Intan berterima kasih. Barangkali guncangan di hatinya bisa mulai reda. Akan tetapi, saat menyadari suatu hal, mendadak serangan panik menyerang. Tenggorokan tersekat, aliran pernapasan tercekik, mulut megap-megap. Dahi berkernyit, hidung berkedut, mata menyempit.
Di hamparan tanah hitam di depannya, Intan melihat sesosok jasad putra tergeletak, berkaus olahraga dan celana cokelat pramuka. Jasad itu bersimbah darah melimpah, dengan luka sayatan serta tikaman memenuhi kepala, perut, dada, lengan, tungkai. Wajah sosok itu mirip Ryan. Itu memang Ryan.
Intan mengerjap, memicing mata. Merasa pemandangan berdarah yang dilihatnya tak nyata. Namun, saat dia mengangkat kedua tapak tangan, tahu-tahu cairan merah berlumur banyak, memenuhi sampai lengan bawah.
Pupil Intan terkonstriksi seketika. Si putri menjerit histeris, meronta-ronta, memukul-mukul udara, menendang tanah lempung. Ryan yang ada di dekatnya jadi kelimpungan, ingin mendekat, tetapi terkena terjangan.
“Tidak! Tidak! Aku tidak salah! Aku tidak salah! Aku tidak salah!”
Ryan ikut teriak seiring menangkis hantaman lawan. “Intan! Intan! Tenang, Intan!”
Putra itu berhasil mencekal lengan Intan, lalu menindih pahanya supaya tak meronta. Intan pun bisa mulai tenang, teriakan mereda, ekspresinya jadi lebih takngeri.
“Aku tidak salah …. Aku tidak ….”
Ryan menatap lekat, penuh perhati. “Intan … ?”
Si putri tergemap, celingukan coba mencerna sekeliling. “Ryan? Ryan ….”
Setelah meyakini sesuatu, Intan menemukan sosok Ryan tepat di hadapan, tengah berjongkok dengan tumpuan pada pahanya, menatap serius sambil memegang tangannya. Sadar telah melakukan sesuatu, Ryan bergidik, pipinya bersemu, lantas segera bangkit ke posisi berdiri seraya buang muka.
Intan rupanya masih di alam halusinasi, coba memastikan satu hal. “Aku tidak membunuhmu, kan, Ryan?”
Ryan seketika membisu. Dia benar-benar tak paham apa yang dikatakan Intan. “Bicara apa kau ini?”
Tatkala penjelasan situasi Intan baru hendak diluruskan Ryan, seruan putra yang dikenal terdengar dari tempat lain, memanggil seraya memberi pengumuman nan terasa penting. Ryan memutuskan urung niat mempermasalahkan soal sebelumnya, mengajak Intan menuju sumber suara yang makin tidak jauh.
***
Fathur mencari kesempatan tepat guna mengendap-endap, menghindari panggung aula yang disarang segerombolan makhluk aneh berkaki banyak menyerupai tungkai manusia. Putra itu sukses kabur dengan tidak ketahuan sedikit pun. Setelah merasa aman, dia lekas bergerak menjauh, mengusahakan sepatunya memijak tanpa suara.
“Syukurlah, aku selamat.” Fathur berucap lega dalam hati.
Ketika putra tersebut berlari menyusuri jalan setapak, tiba-tiba seorang putri berkulit pucat hampir menabraknya, datang dan berteriak histeris. Setelah mengonfirmasi kehadiran Fathur di hadapan, dia bisa sedikit tenang.
“Ebe? Apa yang kau lakukan? Apa kau barusan melihat sesuatu?” tanya Fathur. Dia memperhatikan penampilan Ebe yang acak-acakan. Muka ngerinya penuh peluh bercampur debu. Pakaian santai amat kusut. Mata si putra terbeliak tatkala menjumpai noda darah yang masih baru membasahi sedikit bagian baju Ebe.
Sesenggukan, si putri membalas, “Fi--Fina habis dibunuh … sama makhluk besar … a--aku tidak tahu … itu seperti saat Tiara mati tadi ….”
Fathur ikut khawatir. “Baik, kamu tenang dulu, kita coba cek ke sana lagi. Ya?” Meski masih ragu, Ebe mengangguk.
Keduanya sampai di area belakang Stan Konsumsi, dekat lapangan apel, di bawah naungan pohon-pohon konifera. Fathur bergidik ngeri menyaksikan genangan darah dan ceceran daging memenuhi satu bagian di tanah. Sobekan pakaian di situ membuktikan bahwa memang Fina habis dibunuh secara mengenaskan.
“Tadi Fennia juga ada di sini, tapi saking takutnya, aku tinggalkan dia. Kakinya yang seperti itu … aku tidak yakin dia bisa kabur menjauh.”
Ebe mengatakannya seolah sudah siap mendapat balasan setimpal dari tindakan yang menurutnya hina. Meninggalkan kawan sendirian dalam bahaya. Akan tetapi, Fathur malah tampak diam, serius berpikir sembari menempelkan jemari kanan ke dagu.
“Aku … aku mau cari Fennia dulu,” ucap Ebe yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya atas reaksi Fathur.
“Tunggu, Fennia masih baik-baik saja.”
“Eh?” Langkah si putri terhenti.
Meskipun hal satu ini bukanlah profesionalitasnya, Fathur tetaplah ketua yang harus bertanggung jawab sebagai pemimpin. Dia akan mencoba segala cara demi menjamin keselamatan setiap anggotanya.
Saatnya Fathur membaca suasana.
Dilihat dari situasi saat ini, ada satu hal yang perlu diwaspadai: barongan di panggung aula. Fathur kembali mengingat-ingat keganjilan yang terjadi sebelumnya, kemudian menyusun dalam satu kerangka berpikir.
Pertama-tama, muncul kertas berisi perintah yang nyata berbeda dengan perintah-perintah terdahulu, apalagi isinya yang sulit dipahami. Kedua, Tiara dibunuh oleh kekuatan supernatural, yang kebetulan tepat saat dia ingin mengatakan sesuatu. Ketiga, kekuatan tersebut rupanya menjelma sosok besar mirip monster, yang kemudian Fathur ketahui berwujud barongan dengan kaki-kaki manusia.
Ini bagian yang penting. Ada jeda waktu setelah penyerangan, yaitu sekarang, yang kemungkinan besar membebaskan para peserta perkemahan untuk bertindak leluasa.
Fathur agak ragu. Namun, setelah mempertimbangkan peluang keberhasilan yang besar, dia bisa berani bertaruh. Memantapkan tujuan, putra itu bergegas gerak cepat, seraya menyerukan imbauan dengan suara lantang.
“Semuanya! Tolong dengar aku! Saat ini, kita sedang berhadapan dengan barongan berkekuatan supernatural yang membunuh kita secara acak! Tapi, tenang saja! Sepertinya mereka memiliki jeda waktu, jadi ini saatnya keluar dan mencari cara untuk menghentikan serangan barongan itu!”
Ebe pun mengekori si putra, yang terheran sekaligus sedikit waswas dengan tindakan yang terbilang nekat itu. Beberapa saat kemudian, datang Ryan dan Intan--yang bermuka lesu--dengan cepat meminta kejelasan lebih lanjut mengenai situasi ini.
“Fathur, apa maksudnya ini? Barongan? Apa kau yakin melihatnya? Lalu, bagaimana cara menghentikannya?” tanya Ryan bertubi-tubi.
“Iya, makhluk berwujud binatang buas mirip ular raksasa berkaki, mungkin bisa dibilang mirip naga, yang saat ini sedang berkumpul di panggung aula. Sepertinya mereka sedang menunggu waktu berikutnya untuk mengincar kita.”
“Jadi kita seperti sedang diburu oleh mereka, begitu? Ini jadi seperti petak umpet saja ….”
Perkataan Ryan barusan tak ayal mendatangkan ide cemerlang di otak Fathur. Benar sekali! Petak umpat! Mengapa tidak terpikirkan dari awal? Barongan itu adalah “yang berjaga”, sedangkan para peserta sebagai “yang bersembunyi”.
Lantas, di manakah tempat yang dijaga para barongan itu? Apakah panggung aula? Fathur berpikir keras. Sepertinya bukan. Sebelumnya Fathur sudah mendatangi tempat tersebut, tetapi tak ada perubahan yang terjadi. Lalu, bagaimana cara untuk menghentikan barongan?
“Teman-teman, aku perlu bantuan dari kalian,” pinta Fathur dengan tatapan mata mengilat.
Ryan mengangguk mantap. Ebe mengiakan. Sedangkan, Intan ikut-ikut saja.
***
Di lapangan apel, Ahim berdiri sambil linglung, sementara Fennia duduk bersimpuh di tempat sekiranya bersih, masih bertanya-tanya tentang keberadaan jasad teman-temannya.
Tak lama kemudian, datang rombongan Fathur dari arah Stan Konsumsi, menuruni undakan pendek sebelum memasuki area rerumputan. Mereka tampak amat terkejut menyadari bahwa keadaan lapangan sepi, bekas adegan bunuh-membunuh sudah lesap bahkan bersama tikar pula terpal yang digunakan untuk menutupi.
“Ke mana tubuh-tubuh teman kita?” gusar Ryan seiring terus melangkah.
Fennia menyambut mereka dengan seruan cukup keras, membuat keempat peserta menoleh, lantas menghampiri. Ebe langsung memeluk putri itu, meminta maaf sambil menangis tersedu-sedu.
Fathur tampak selesai membuat spekulasi. “Ini Cuma dugaanku saja, kalian boleh percaya atau tidak. Sepertinya, barongan itu menggunakan tubuh-tubuh teman kita untuk bisa menjadi wujud menyerupai barongan.” Sontak pernyataan itu membuat teman-temannya tercengang bukan main.
Terdengar semacam bunyi besi yang berdenting. Fathur gelisah entah karena sebab apa. Merasa tak ada waktu lagi, si Ketua langsung menyuruh pesanan segera dilaksanakan. Para peserta bergegas menyiapkan barang-barang. Mereka mengumpulkan sejumlah ranting, batang kayu, sisa kebakaran, yang rencananya akan disatukan di tengah lapangan apel. Sebelum itu dilakukan, Fathur menancapkan pasak di pusat, menyambungkan tali pramuka kuat-kuat, lalu membuat lingkaran dengan pasak sebagai pusat, berjari-jari sekitar tiga meter.
Setelah selesai, tumpukan kayu pun dibuat di senter. Bahan bakar dalam botol yang diperoleh secara kebetulan disiramkan ke tumpukan kayu itu, kemudian korek api dinyalakan. Terciptalah api besar yang berkobar, menyinari keenam peserta yang melingkarinya, saling membelakangi guna mengawasi sekeliling. Api unggun tersebut tampak memesona, bahkan di malam nan mencekam ini.
Beberapa saat berlalu, terdengar geraman dari arah jauh, mengepung di berbagai penjuru. Seluruh peserta merinding, badan menggigil, saling menggengam satu sama lain dengan erat. Fathur merasakan hawa mengerikan datang bersamaan bulu kuduknya yang meremang hebat.
Ebe mengejam mata, menggigit bibir. Dalam hati, dia berharap dengan kuat. “Semoga ini berhasil, semoga ini berhasil, semoga ini berhasil!”
Gerombolan barongan setinggi dua meter datang, keluar dari kegelapan pekat. Kaki berbentuk tungkai manusia mereka bergerak perlahan, mendekat sambil menguarkan aura intimidatif. Api unggun menyibak sosok itu, membeberkan penampilan yang seperti dilihat Fathur sebelumnya. Jumlah barongan itu ada lima, mengelilingi para peserta yang mulai naik level ketakutan bahkan kewalahan menahan histeria.
Tak lama kemudian, satu per satu barongan terbakar seluruhnya, mulai dari kulit, kepala, kaki, ekor, menampakkan kerangka yang mirip beruang atau sejenisnya, dengan daging terpanggang, gosong lalu berubah jadi abu. Setelah menit-menit berlalu, semua barongan lesap.
Menyaksikan pemandangan itu, Ebe bersorak girang. Dia langsung keluar dari lingkaran api unggun, berlari lalu berbalik seraya berucap bangga. “Lihat, teman-teman! Kita berhasil! Kita berhasil melakukannya!”
Dalam sekejap, tubuh Ebe beralih rupa menjadi ledakan cairan merah beserta ceceran daging, disusul patahan tulang pula sobekan kain yang terbang ke segala arah. Mengenai para peserta yang terbelalak seketika, sebagian masuk api anggun lalu terpanggang. Genangan darah bercampur onggokan gumpalan merah tercipta di hadapan.
Intan dan Fennia menjerit histeris, Ryan berteriak marah, sementara Fathur membisu frustasi dengan wajah menatap ngeri. Lalu Ahim menghampiri onggokan tersebut, kemudian lambat laun menghilang seakan terisap tanah.
“Tenang saja, yang tadi itu terakhir. Barongan sudah berhenti. Kita semua aman.” Si cebol berkacamata itu bertutur dengan muka datar, menatap keempat temannya yang berdukacita.
***
Kini kelima peserta perkemahan tersisa duduk mengelilingi api unggun yang bahan bakarnya habis setengah. Mereka sudah tak merasakan hawa mencekam lagi, benar kata Ahim bahwa barongan telah berhenti.
Fathur sebagai ketua merasa segala hal yang berlangsung di Bumi Perkemahan ini hampir membuatnya putus asa. Namun, dengan menjaga teman-temannya yang masih bertahan hidup sampai sekarang, putra itu beranggapan tanggung jawabnya sebagai pemimpn masih ada, maka itulah yang menyebabkannya terus berjuang sampai akhir nanti.
“Dengar, teman-teman,” kalimat pembuka Fathur dalam perbincangan yang seakan berujung bahasan mendalam. Mungkin saja ada yang berpikir ini mirip jurit malam.
Teman-temannya mendengarkan dengan saksama, seiring wajah mereka memantulkan cahaya api nan menemani malam nan panjang ini.
Fathur menceritakan tentang bagaimana dia memutuskan menjadi ketua rombongan, yang di awal sempat merasa tak mampu mengurus teman-temannya yang memiliki berbagai karakter, tetapi dengan spirit dan keinginan bisa membimbing mereka menjadi peserta perkemahan yang baik, Fathur pun mulai berusaha serius. Putra itu juga menjelaskan mengenai bagaimana teman-temannya melawan kekuatan supernatural dengan segenap jiwa, bahkan tak menyerah sampai akhir hayat.
Tentang hal-hal berharga. Tentang pesan yang dititipkan. Tentang jiwa-jiwa damai.
“Ada satu hal terpenting yang harus selalu kita ingat. Yaitu untuk tidak menyia-nyiakan harapan teman-teman kita yang sudah gugur di Bumi Perkemahan terkutuk ini.”
Selepas obrolan yang semacam pidato itu, para peserta membangun tempat tidur dan tenda sementara di lapangan apel, melalui tengah malam dengan tidur setengah nyenyak yang diisi pikiran berlebihan. Tentu ada jaga bergilir, dua atau satu (Fathur sendirian) orang tiap bulan di langit bergerak sepertiga jalan. Menanti pagi tiba bersama sinar matahari yang menyirami daratan dengan kehangatan pula bibit-bibit harapan baru.
Nantinya pada keesokan hari, tubuh Ghani diikat pada tiang kayu, ditancapkan tepat pada api unggun nan telah padam. Dengan kondisi jasad hangus tak berbentuk, hitam belaka, bekas pakaian pun menghitam.
###
Kudus, 5 Maret 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top