BAB 18: ⚠️BB-2⚠️
Semua peserta bergidik menyaksikan tubuh yang hancur dalam sekejap itu. Gumpalan merah pekat mirip remah-remah tampak tersebar tak merata di antara tulang-tulang yang remuk. Genangan darah bercampur ceceran daging dan organ dalam berserakan bersama dengan pakaian kaus serta celana yang koyak-moyak.
Para putri menjerit, para putra berteriak ngeri, seiring mata terbeliak serta badan gemetar. “Tiara!” pekik mereka. Tubuh serasa kaku membeku di tempat dengan kaki-tangan menggigil, punggung meremang, bulu kuduk berdiri. Ingin segera melarikan diri, tetapi apa daya tak ada kuasa.
Tatkala rentetan kepanikan bersama keganjilan menyerang satu per satu peserta, terasa hawa berbahaya di balik tempat gelap seberang sana. Barangkali berasal dari area di utara Stan Konsumsi, mungkin di tenda-tenda kemah. Sosok yang membawa rasa ngeri itu makin mendekat, datang sambil menunjukkan hawa kehadiran yang tersembunyi dalam kegelapan.
Satu orang memulainya menjadi pelatuk yang memicu orang-orang tertular histeria massal. Fathur lari ke tempat di bawah pepohonan, disusul teman-temannya, yang kesulitan dibantu bergerak, yang linglung ditarik paksa menjauh.
Si putra bertopi baret pontang-panting dengan tungkai berlari tak keruan, beberapa kali hampir tersandung, lengan berayun-ayun kacau, wajah berekspresi ketakutan. Langkah tak terarahnya membawa sampai di area dekat kamar mandi luar yang lampunya menyala. Putra itu berusaha menenangkan diri, menekan napas yang tersengal-sengal dan detak jantung yang kencang. Meneguk ludah, mengelap dahi dengan setangan leher, Fathur mencoba berpikir apa yang baru saja terjadi.
“Kenapa Tiara tiba-tiba tubuhnya hancur jadi berkeping-keping begitu? Padahal tidak ada apa-apa sebelumnya … ! Apa jangan-jangan itu karena kekuatan supernatural Buper? Ya, bisa jadi …. Tapi, apa yang membuatnya harus mati dengan cara seperti itu? Hukuman? Memangnya Tiara habis melakukan apa?”
Berbagai pemikiran saling tabrak di dalam kepala, tak menentu saking acaknya, membuat Fathur sulit menentukan kesimpulan. Namun, masa sebuah memori terlintas, Fathur tercengung.
“Bukankah Tiara yang memberi tahu untuk mencopot pemasangan aplikasi Buper Saba? Ya, kemungkinan besar itulah penyebabnya ….”
Akan tetapi, satu hal mencengangkan berujung pada kebingungan si putra. Di belakang onggokan tubuh Tiara yang hancur tadi, dia merasa seakan-akan ada sosok misterius yang mengerikan, sewaktu-waktu mampu mengubah badan Fathur menjadi berkeping-keping seperti Tiara.
Sebenarnya, apa-apaan itu?
Ini tidak baik. Semuanya tidak beres. Sebelum kemungkinan terburuk terjadi, Fathur harus mengambil tindakan pencegahan. Ketika menampak barisan tenda gelap di seberang, putra itu mendapat ide menyedihkan yang patut dicoba. Bersembunyi di dalamnya, membiarkan bahaya mengintai di luar.
***
Fina dan Ebe berjalan setengah mati sambil memapah Fennia yang tunadaksa. Dua putri itu kewalahan menghindar dari sumber kengerian, pernapasan memburu dan kelelahan menghinggap sampai melebihi batas wajar. Sampai di tilam rumput yang dirasa aman, mereka bertiga pun beradu.
Rupanya ini berada dekat lapangan apel, di bawah rimbunnya pepohonan konifera. Pemandangan langit malam berkabut berkolaborasi bersama keheningan nan berkuasa menciptakan suasana mencekam luar biasa.
Fina tak bisa menyembunyikan ketakutannya, menangis sejadi-jadinya meratapi nasib sang kawan, Tiara, yang mati secara mengenaskan. Begitu pun dengan Ebe yang begitu geram, tetapi merasa sangat ngeri. Sementara Fennia amat syok sampai tak bisa berkata apa-apa lagi.
“Tiara …. Kasihan sekali dia …. Sangat mengerikan …. Aku sudah tidak kuat lagi dengan semua ini ….”
“Sabar, Fin, kita pasti bisa keluar dari Buper terkutuk ini,” ujar Ebe, mencoba menghibur.
Fina mengusap wajahnya yang bersimbah air mata, juga liur dan ingus. “Ebe, bagaimana kamu bisa sekuat ini menghadapinya? Bukankah kamu juga terkena kutukan sampai kerasukan tadi?”
Ebe mengulas senyum tegar. “Sebenarnya … ibu dan ayahku selalu sibuk, jadi aku yang mengurusi adik-adikku di rumah. Mereka masih kecil dan butuh penjagaan, jadi ya begitu. Aku yakin mereka semua pasti menunggu kepulanganku … maka dari itu, aku tidak akan menyerah dan terus berjuang mencari cara keluar dari sini!”
Kalimat itu dilontarkan dengan menggebu-gebu, membuat semangat Fina dan Fennia ikut menggelora.
“Kalau aku … ibuku pasti menungguku di rumah, juga kakakku, dan ayahku. Tapi, aku tidak tahu bagaimana reaksi mereka melihat keadaanku sekarang ini,” ujar Fennia, yang mulai mau bicara.
“Aku sebenarnya ingin jadi pelukis. Setiap hari aku latihan melukis sepulang sekolah. Aku bertanya-tanya, apakah cita-citaku ini bisa berhasil terwujud nantinya … ?”
“Kalian yang semangat, Fen, Fin! Aku yakin pasti kita semua bisa keluar dari sini! Jangan menyerah! Pasti ada jalan!”
Fina memberikan senyuman tenang karena suntikan semangat dari Ebe. Ebe pun turut senang karena bisa membantu teman-temannya.
Namun, seketika sesuatu jatuh dari angkasa, amat besar lagi berat, langsung menghancurkan tubuh Fina sampai berkeping-keping. Tengkoraknya remuk, hancur menjadi remah-remah, diikuti cairan otak yang meleleh. Dada serta perutnya meledak, memuncratkan ceceran organ bersama patahan tulang rusuk dan tulang belakang. Lengan juga tungkainya meletup lalu pecah, menghamburkan potongan-potongan daging merah yang tersebar tak merata. Dalam sekejap, cairan pekat membentuk genangan yang luas.
Ebe dan Fennia turut terkena cipratan darah pula ceceran daging, terbelalak ngeri menyaksikan pemandangan tersebut. Ebe langsung cabut, melarikan diri ke arah Stan Konsumsi. Sementara Fennia tertinggal, dengan satu kakinya yang tak mau berhenti gemetar, tangan tremor, badan bergidik. Dia pun jatuh ke posisi selonjor, lengan menumpu tanah.
Sosok yang berdiri di atas jasad Fina nan hancur tak dapat terlihat jelas, tetapi samar-samar Fennia sedikit bisa menebak wujudnya. Mirip monster, berkepala besar, dan bertubuh panjang. Karena gelap, dia tak mampu menampak lebih dari itu. “To-tolong ….”
Sosok raksasa tersebut seolah bergerak mendekat, memajukan wujud tubuhnya semakin dekat dengan Fennia. Si putri berpakaian kaus merangkak menjauh, menggunakan kedua tangan dan satu kaki. Terus bergerak cepat, diliputi kepanikan, teriakan, tangisan. Di belakang, sosok besar semakin dekat.
“Tolong jangan bunuh aku! Aku masih mau hidup, tolonglah!”
Gerakan merangkak Fennia terhenti ketika wajahnya bertemu dinding tinggi, sementara di sisi kanan dan kiri terdapat semak-semak serta pepohonan. Putri itu menjerit ngeri, menerus memohon sambil menggeleng dan menangis histeris.
“Tolong, kekuatan paranormal Buper atau apalah, biarkan aku hidup! Tolong!”
Kemudian, dari balik sosok gelap yang mendekat, tiba-tiba muncul sesuatu dari area gulita milik sosok itu. Kepala putri berkacamata yang menatap Fennia dengan datar. Berikutnya, kepala putri bertopi boni yang seakan penasaran ada apa yang dilihat putri berkacamata. Kini dua kepala putri tersebut berdampingan, memandang datar Fennia.
“Tiara … ? Bila … ? Itukah kalian?”
Dua kepala itu berubah, mata membelalak dan mengilat, mulut melebar menampilkan barisan taring tajam, wajah memanjang membentuk moncong. Mereka meraung dan menggeram, melolong serta mengaum, membuat Fennia menjerit ngeri, bergerak menyeret tubuh guna menjauh.
“Seseorang, tolong selamatkan aku!!!”
Saat dua kepala buas itu sudah dekat, Fennia hanya bisa menutup mata sambil berdoa.
Mendadak, segalanya senyap. Fennia memberanikan diri buka mata. Tidak ada lagi sosok raksasa mengerikan, dua kepala buas, juga hawa yang berbahaya. Semuanya lesap begitu saja.
Tahu-tahu, seseorang berjalan menghampiri. Fennia terlonjak kaget, menjerit kuat. Ternyata Ahim ada di belakangnya, tampak linglung, tetapi menatap si putri penuh kesadaran. Bersamaan dengan itu, bunyi aneh semacam besi berdenting terdengar, membuat Fennia gelisah dan mencari sumber.
Namun, suara Ahim langsung membuyarkannya. “Kenapa diam saja di situ? Ayo, berdiri dan ikut aku,” ajak si putra berkacamata.
Meski Ahim bertubuh cebol, tetapi dia tetap saja putra, kekuatannya lebih tinggi. Dia menuntun lalu memapah Fennia yang sedikit lebih besar, berjalan menuju arah berlawanan Stan Konsumsi.
***
Fathur masih berdiam di dalam tenda yang tadi pertama dijumpainya. Di dalam cukup gelap, hanya bisa mengandalkan insting supaya tak menginjak atau tersandung benda-benda di bawah. Fathur mengintip dari celah tempat masuk, di luar sama kelamnya, kecuali area yang disirami lampu Bumi Perkemahan.
Tiba-tiba, ada suara berisik di luar. Fathur menajamkan pendengaran. Itu bukanlah bunyi mesin generator yang selama ini menemani sejak malam dimulai. Sesuatu yang lebih besar dan kacau. Apakah itu? Suaranya terdengar lagi. Fathur memberanikan diri menengok ke luar. Namun, tak ditemukan apa-apa.
Maka si putra pun keluar dari tenda sambil mengendap-endap, dari balik tenda sembunyi ke balik tenda lain, jika merasa bahaya mendekat langsung masuk tenda terdekat. Setelah jauh jarak terlampaui, sampailah dia di sumber suara.
Mata Fathur terbeliak menemukan satu-dua tenda tampak hancur secara acak. Dia tak bisa melihat lebih lanjut karena suasana remang-remang. Putra itu pun menghampiri salah satu tenda yang rubuh dan jadi rata. Apa yang terjadi dengan tenda ini?
Dalam hitungan detik, tenda di belakang Fathur terangkat dan terbang, lalu jatuh begitu saja sampai hancur rubuh. Hawa mencekam seketika menguasai sekeliling. Fathur merasa keberadaannya ketahuan, maka dia berlari sekencang-kencangnya. Melewati tenda demi tenda, batang pepohonan, semak-semak.
Hingga sampailah dia di belakang panggung aula. Tiba-tiba terdengar suara mirip besi berdenting. Fathur pun menengok ke arah aula. Aneh sekali, terdapat pencahayaan dengan nyala terang. Padahal Fathur ingat betul belum menghidupkan lampu saat berkeliling bersama Ryan.
Lalu, Fathur lekas terperanjat tatkala melihat suatu pemandangan yang mencengangkan di atas panggung aula. Sejumlah sosok entitas seukuran beruang tampak bergerak lincah, menari-nari memutari pentas. Sosok-sosok tersebut berjumlah banyak, kemungkinan lima atau lebih. Mereka memiliki kepala binatang buas besar dengan surai menyelimuti wajah dan leher, kepala bulat melotot, serta moncong bertaring tajam. Tubuhnya panjang sekitar dua meter, dilapisi oleh semacam sisik berkilauan, warna-warni. Mereka juga mempunyai ekor berbulu.
Itu adalah sebuah pertunjukan barongan.
Yang paling penting bagi Fathur adalah kaki-kaki milik sosok tersebut yang berjumlah dua pasang. Ada yang bersepatu hitam bertali, atau sandal, atau tanpa alas kaki; mengenakan rok pramuka, celana pramuka, celana kasual. Itu adalah kaki teman-temannya. Fathur yakin sekali, melihat dengan jelas, itu adalah teman-temannya yang sudah mati.
Sementara itu, di lapangan apel, ada Ahim dan Fennia. Fennia amat tercengang menemukan bahwa semua tubuh yang dibungkus terpal telah ilang, menyisakan bekas darah saja di rerumputan dan tanah.
Fathur menyaksikan dengan begitu ngeri. Yang ada di atas panggung aula adalah gerombolan barongan yang mempunyai kaki-kaki temannya sendiri.
Barongan Bumi Perkemahan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top