BAB 14: Berpura-pura Aktif
Lihat Bumi Perkemahanku
Lihat Buper-ku ♫
Penuh tangisan darah ♫
Ada yang menjerit, dan ada yang teriak ♫
Setiap peserta, diliputi putus asa ♫
Putra dan putri, semuanya mati~! ♫
###
Satu hal pasti yang diketahui Ahim saat ini: kaos tengah terjadi di benak tiap-tiap peserta.
Jika penuturan Dilla benar adanya, berarti hanya tersisa enam putri dan lima putra, dengan satu orang masih dinyatakan hilang. Sudah banyak yang tewas mengenaskan gara-gara paranormal Bumi Perkemahan yang dimediasi aplikasi Buper Saba.
Kini para putri tinggal mengumpul di Stan Konsumsi yang bebas bekas adegan berdarah (kecuali stan kelas mereka sendiri), terpaku menanti kaum putra selesai berunding di dekat penampungan air.
Mereka masihlah remaja, belum bisa tegar menghadapi semua tragedi penuh keputusasaan semacam ini. Ada yang ingin pulang ke rumah, merindukan kasih sayang ayah dan ibu, terpikirkan adik-adik yang masih butuh penjagaan. Ada yang khawatir bahwa bala bantuan tak akan pernah datang, atau baru tiba setelah semua peserta dihabisi di sini.
Putri-putri itu diliputi trauma seusai dirasuki kekuatan supernatural, membunuh kawan mereka sendiri, kecuali satu orang.
Ahim datang bersama Ghani,Fathur, dan Ryan. Panca rupanya sedari tadi menemani Dilla di tempat terpisah. Menyadari para putra kembali, Intan berjalan menghampiri.
“Aku tadi pingsan, dan kalian tinggal sendirian di sana. Lalu saat menyusul di lapangan apel, aku melihat pemandangan yang mengerikan,” tuturnya. Ahim lupa dia baik-baik saja saat di dalam Gedung Khusus, begitu pun putra yang lain, mungkin karena syok habis menyaksikan kematian teman.
Ahim masih merisaukan keadaan sahabat karibnya, Ghani, yang diam seribu basa, seperti menahan kesakitan luar biasa. Dia tak ingin menduga duri kecil yang mengenai mata kanan Ghani mengandung racun. Apalagi tenggelam dalam pemikiran negatif yang benar-benar tak ingin terjadi.
Jika Ghani mati, Ahim tak memiliki siapa-siapa lagi.
Demi menepis segala kemungkinan buruk, Ahim mau-mau saja ketika diminta Fathur bekerja sama guna mencari jalan keluar dari Bumi Perkemahan. Meski belum secuil pun petunjuk berguna didapatkan, Ketua masih bersikeras secercah harapan masih ada. Oleh karena itu, kesebelas peserta tersisa harus tetap berjuang mencari jawaban.
“Teman-teman, aku tau kalian sudah capai dengan semua hal tidak masuk akal ini, tapi jangan sampai menyerah dan membiarkan aplikasi terkutuk itu mengalahkan kita! Kalian pasti ingin keluar dari sini, ‘kan? Kalau begitu, ayo kerahkan semua hal yang bisa kita lakukan untuk mencari jalan keluar!”
Begitulah pidato yang diberikan Ketua, membuat raut muka masam diliputi putus asa beralih menjadi sedikit semangat.
Maka, di bawah langit petang, segenap peserta perkemahan memulai pencarian.
Ahim mematung, diam menyaksikan teman-temannya berpencar menelusuri isi Bumi Perkemahan. Dia tertinggal bersama Ghani. Parkit menunggui tiang listrik. Keduanya masih mengenakan seragam pramuka lengkap, karena bekas cairan merah yang sempat menodai telah kering, dan itu tak terlalu mengganggu--menurut Ahim.
“Ghani … ?” Si cebol mendongak, raut risau masih menghiasi.
Putra jangkung di sebelahnya bergeming, memasang ekspresi ganjil yang sulit dideskripsikan, membuat Ahim jadi ketakutan. Matanya memicing seolah disulut kebencian, tetapi juga menyurat kesedihan. Hidung, dahi, pula alis berkedut, mencetak garis-garis kasar. Bibir melengkung ke bawah, tak memberi kesan ramah.
Ahim pun memasang tingkah aktif, seraya berseru riang yang dipaksakan. “Ghani? Hei? Di sini Apollo 884 sedang mencoba menghubungi rekan terdekat, ganti. Aku ulangi, di sini Apollo 884 berusaha mencari jaringan terdekat dari rekan seperjuangan, ganti.”
Tak mendapat respons, Ahim jadi murung. Hening beberapa saat. Ketika mendapat ide, si cebol pun tersenyum.
“Sekarang lo nyesel, kan? Nyesel, kan? Mutusin gue!”
Suaranya dibuat-buat, sangat fales dan tidak maskulin, tetapi malah cocok menyerupai vokal penyanyi aslinya.
Tawa kecil pun tak terbendung dari Tiang Listrik. “Kenapa malah lagu itu,” gelak, “yang muncul?” Tawa kecil lagi.
“Akhirnya kau kembali ….”
Air muka Ahim tulus mengutarakan sukacita, mata berkaca-kaca, mulut senyum lebar, dekik tercetak di pipi. Ghani agak menunduk, memasang wajah yang tersirat permohonan.
“Maaf, tadi aku terlalu memikirkan begitu banyak hal, kepalaku serasa mau pecah. Aku benar-benar tidak tau harus bagaimana lagi setelah ini. Tapi, terima kasih sudah bersedia peduli.”
“Ghani, kau benar-benar aneh!”
“Lebih aneh mana kalau dibandingkan dengan kau?”
Mereka berdua pun diliputi suasana hangat, tertawa bersama. Kecanggunggan sebelumnya mencair begitu saja seperti es krim yang jatuh di atas aspal siang hari. Persahabatan yang sempat rusak sedikit demi sedikit mulai dibangun ulang. Membicarakan obrolan santai bertopik acak, memukul dan menepuk tubuh kawan dengan tenaga yang main-main, adalah hal yang begitu menenteramkan. Tentu Ahim berusaha sebaik mungkin menutupi pemicu tendensi negatif, menyimpannya rapat-rapat ke dalam peti harta, menguburnya dalam-dalam sampai inti bumi.
Ahim bersama Ghani pun mengambil langkah awal pencarian di Bumi Perkemahan. Menurut Ghani, tempat yang paling aman adalah Stan Konsumsi, oleh karenanya barang-barang dari tenda sudah betul dipindahkan ke sana oleh teman-teman. Ketika sampai di depan gapura, halimun memenuhi lingkungan di luar Bumi Perkemahan, tak melalukan sedikit pun pandangan menelaah ke kejauhan. Penelusuran berlanjut ke Gedung Khusus Panitia. Di sana, mereka mengumpulkan barang-barang yang dirasa berguna, terutama untuk menghadapi malam hari yang akan datang, seperti matras, selimut, dan senter.
Tak lama berselang, Ahim dan Ghani bertemu rombongan Fathur. Mereka semua saling bertukar informasi, menghasilkan usul tentang cara menguji tempat keluar dengan memanjat dinding pembatas Bumi Perkemahan atau dengan memanjat pohon-pohon konifera. Itu usul yang bagus, tetapi terlalu berisiko jika dilakukan.
Fathur mengakhiri sementara diskusi dengan membagikan makanan yang didapat dari Stan Konsumsi kelas lain, barang-barang penghangat tubuh, juga sedikit nasihat sebagai penyemangat. Menit tersisa tinggal menghitung waktu, semua peserta mempersiapkan segala kemungkinan terburuk yang bakal terjadi.
Saat bibit harapan mendapat kesempatan untuk tumbuh, saat itulah virus-virus putus asa bertindak menghancurkan segalanya.
Bunyi notifikasi berbunyi dari masing-masing gawai peserta yang berkumpul di Stan Konsumsi. Tiap-tiap insan diliputi oleh keterpurukan paling luar biasa. Ahim pasrah menyadari gawainya mati, lantas menoleh ke samping. Ghani yang awalnya tersenyum, menjadi terbelalak tak percaya saat membaca tulisan pada layar gawainya.
Napasnya tersekat, jantung serasa terhenti. Waktu seakan-akan stop saat itu pula.
“Aku harus mati,” tutur Ghani.
“Eh?”
Ucapan itu benar-benar tak dapat dimengerti oleh Ahim.
###
PERINTAH #4
Kegiatan: Pesta bunuh diri
Waktu: 17.30-17.45
Peraturan:
Semua peserta tersisa diharap melakukan bunuh diri sebelum batas waktu berakhir. Apabila saat batas waktu tercapai perintah belum dilaksanakan, hukuman yang akan diberikan adalah dikuliti sampai mati.
SISA WAKTU: 14 menit
###
###
Kudus, 18 Februari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top