BAB 12: ⚠️ TPS-2 ⚠️
Herlina bersembunyi di antara batang pohon konifera berhabitus tinggi. Putri tanpa lengan kanan itu menahan pekik ketika menyaksikan para putri disiksa bahkan dibunuh sadis oleh temannya sendiri. Entah apa yang menyebabkan mereka kerasukan seperti orang sinting begitu, tetapi Herlina yakin ini pasti ada hubungannya dengan aplikasi terkutuk Buper Saba.
Kelopak mata Herlina kian terbelalak, pupil kian mengecil, badan kian gemetar, saat menampak tubuh putri tinggi berkacamata dilempar ke sebarang tempat, dengan kondisi kepala terbacok kuyup cairan merah serta wajah ekspresi kesakitan. Herlina hanya bisa berdoa dalam hati, teman putrinya itu bisa mati dalam keadaan jiwa tenang.
Sedari tadi Herlina tak menangkap sosok peserta putra. Pada aplikasi Buper Saba juga tampaknya menyatakan hanya para putri yang berpartisipasi. Berarti, jika Herlina berhasil menyelinap tanpa ketahuan, dia harus meminta bantuan kepada para putra, guna menghentikan teman-temannya yang menggila dan bunuh-membunuh.
Tidak sebelum putri bersimbah darah datang dari belakang.
Herlina menjerit ngeri, hendak melarikan diri, tetapi tanpa satu lengan membuatnya hilang keseimbangan, jatuh terjerembap. Putri bersimbah darah di hadapannya menyeringai, menampakkan barisan gigi nan mengilap tajam, pula ekspresi senang berlebih, mengeluarkan sejumlah pasak tenda dari balik punggung.
“Tidak! Ebe! Ebe, tolong! Tolong, Ebe, jangan bunuh aku!” pinta Herlina seiring bergerak mundur dengan pantat, membuat tanah serta debu mengotori badan dan pakaian. Dia tak peduli menabrak batang pohon atau menginjak buah konifera sehingga harus mengambil jalur lain, yang penting bisa menjauh.
Ebe tak merespons, terus berjalan perlahan seraya memamerkan benda berujung tajam di genggaman. Herlina berteriak, menangis, beringus, memohon, tetapi Ebe sinambung melangkah maju. Mendapat ide, Herlina kemudian bangkit menerjang, berhasil melawan Ebe karena diuntungkan ukuran tubuh lebih besar. Putri itu merenggut segenap pasak yang berjumlah tiga dari tangan Ebe, lalu membuangnya jauh-jauh.
Ebe awalnya diam, tetapi seringainya makin lebar, matanya makin mengilat, lalu keluar bunyi terkakak-kakak dari mulutnya. Lengan putri berkulit putih simbah darah itu mengulur ke batang pohon terdekat, menyobek kulit lapisan terluar yang tampak kasar lagi tajam.
Ebe menancapkan kulit pohon tersebut ke leher depan Herlina, terbenam hingga mengucurkan banyak darah, terus begitu sampai kulit patah. Ebe hendak teriak, tetapi mulutnya muntah darah. Tapak Ebe yang berlumur cairan pekat beralih meraih buah konifera runjung di sekitar, mencacakkannya ke leher Herlina, berulang kali, terus-menerus, tikam, tancap, tusuk. Hingga leher itu berlubang menganga, memuncratkan darah melimpah, menodai baju, kulit, serta tanah dan batang pohon di sekeliling.
Si putri pun berdiri, bersenandung seiring menyeret jasad Herlina yang kepalanya hampir putus, menuju lapangan apel nan dipenuhi jeritan serta tangisan berdarah.
Rumput kuning bersalin rona merah pekat, tanah lempung diwarnai cairan abang kental, langit biru seakan-akan bersulih marun kelam, pepohonan rindang menari-nari sambil menyanyikan kidung kematian.
Ebe menonton para putri memukuli dan menyiksa jasad-jasad peserta “Yang Dieksekusi” dengan bengis lagi bergairah, diliputi laung kenikmatan pula kepuasan. Mereka mengambil spot sendiri-sendiri, memisah guna fokus ke pekerjaan masing-masing. Jasad yang akan dijadikan “bahan” dilepas setangan leher dan topi boni, ditanggalkan baju pramuka serta rok cokelatnya, atau baju luar serta celana panjang, menyisakan pakaian dalam. Sebagian putri “Eksekutor” yang tak sabaran malah langsung membacok lalu memutilasi korban.
Ada putri yang mengurusi tubuh bermuka hancur, sambil menimbang-nimbang harus mulai dari mana pembedahan anggota gerak menggunakan pisau dapur. Selepas mantap, dia mendekatkan mata pisau ke sendi peluru bahu, lalu menetak dengan sekuat tenaga. Tercetak irisan lebar disertai muncratan darah. Masih belum puas, dia menetak bahu lagi. Masih belum, bahu ditetak sekali lagi. Hampir berhasil, bahu ditetak lagi. Walhasil, lengan pun putus walau potongan tak rapi.
Putri itu melakukan hal yang sama ke lengan satunya beserta kedua tungkai. Tetak, potong, tarik. Didapatlah dua tangan dan dua kaki. Tak lupa dia juga memenggal leher sehingga diperoleh satu kepala utuh.
Satu putri yang membawa jasad buntung, dan kepala tersambung tulang belakang saja, serta-merta memenggal-menggal berikut lengan kanan, lengan kiri, tungkai kanan, tungkai kiri, dada, perut, selangkangan. Ada pula putri yang memegang peserta yang masih hidup dengan wajah berdarah-darah, meronta-ronta minta dilepas. Namun, si Eksekutor menusukkan tongkat pramuka ke belakang kepalanya, tembus hingga ujung mencuat dari mulut, membuat peserta menggelepar-gelepar, lalu lemas. Berikutnya, tubuhnya dikerat-kerat jadi potongan-potongan.
Ebe menyeret jasad Herlina ke tengah lapangan merah, mencampakkan tanpa belas. Putri Eksekutor itu meminjam pecahan kaca dari kawan di sebelah, lalu mulai memotong-motong tubuh Herlina menjadi bagian yang diperlukan, berupa tangan, kaki, torso (dibagi jadi dada dan perut), kepala, serta selangkangan. Cairan merah pun menyembur ke mana-mana sampai membasahi sekitar.
Seusai para Eksekutor beres memutilasi para peserta putri, mereka start merundingkan susunan anggota tubuh guna menjawab soal pola gambar yang diberikan. Bahan-bahan yang dimaksud tergeletak sebarang di atas rerumputan kering, berlumur darah pekat, kemudian diambil satu demi satu sampai jawaban yang benar berhasil dibuat.
Pada soal nomor 1, pola yang dirangkai ialah satu torso berupa dada ditaruh di tengah, kemudian dihubungkan oleh empat potongan tangan di setiap sisi. Jawabannya D.
Pada soal nomor 2, pola yang diterap yaitu dua tungkai diletakkan tegak lurus, lalu antarujung terdekat dihubung dengan tangan. Jawabannya E.
Pada soal nomor 3, satu kepala ditaruh di tengah, kemudian disiram dengan darah yang ditampung dari ember, kemudian disambung dua usus besar secara berlawanan arah. Satu ujung dijalin kepala, ujung lainnya selangkangan. Jawabannya 2.
Soal nomor 4 dilewati, langsung ke nomor 5. Empat potongan tangan dihubungkan membentuk segi empat, lalu dibangun lagi segi lima menggunakan lima kaki, berikutnya genangan darah dibuat pada ruang di luar segi empat. Setelah itu, disusun segi lima kecil dari potongan tangan di sebelahnya. Jawaban C.
Nomor 6 dilompati, lanjut ke nomor 7. Lima belas torso tersisa, dada dan perut, diatur berjajar membentuk formasi tiga kali lima. Sembilan torso disiram dengan darah merah. Jawabannya C.
Selesai menjawab lima soal, terdengar bunyi notifikasi dari tiap-tiap peserta di sana. Para putri bersorak girang, berdansa riang, saling peluk, saling menyelamati. Keributan tercipta tatkala dilaksanakan perayaan keberhasilan.
***
Ruang dalam Gedung Khusus Panitia beralih suram. Genangan darah tampak memenuhi meja di tengah, membasahi tikar serta seragam lima putra. Fathur tercengang seketika badannya berdigik, membuang napas berat, bebas digerakkan. Dia langsung berdiri, mengamati cairan pekat di hadapnya dengan tatapan pilu, mengusap penghidu pula mata yang berair. Setelah itu, dia mengajak keempat kawannya angkat kaki, meninggalkan tempat.
Tak lupa, Fathur berujar, “Semoga Alya bisa mati dalam keadaan tenang.” Kemudian berusaha mencari tahu apa yang tengah terjadi di luar.
Menurut aplikasi Buper Saba, para peserta putri diperintahkan membuat pola jawaban dari tubuh teman sendiri. Itu artinya, telah terjadi pembunuhan besar-besaran. Ditandai dengan kondisi Bumi Perkemahan yang dipenuhi genangan darah di sana-sini, disertai bau anyir yang membuat nausea.
Lebih lanjut, Fathur menerangkan bahwa penyebab yang membuat peserta putra membatu barangkali karena mereka tak diperkenankan ikut serta. Ketika mereka bisa bergerak, itu artinya perintah telah dilaksanakan. Kemungkinan terburuknya, teman-teman putri saling bunuh hanya demi menuntaskan perintah. Fathur berharap itu tak terjadi.
Namun, itu memang terjadi.
Setelah sampai di lapangan apel, kelima putra terbelalak bukan main menyaksikan enam orang putri dan satu putri berkaki sebelah menggila di sana. Mereka menari-nari, dengan pakaian bersimbah darah, membawa potongan tubuh manusia, menjerit serta berteriak seperti kera.
Melihat itu, Fathur diliputi perasaan amarah memuncak.
“Stop! Stop! Berhenti! Stop semuanya… !”
Mukanya memerah, urat tercetak di dahi, mata melotot. Mulutnya terus menganga seiring teriakan panjang terdengar lantang.
Mendengar suara putra itu, para putri yang asyik berjoget tiba-tiba berhenti. Ekspresi mereka mendadak berubah seratus delapan puluh derajat. Muka yang awalnya senang, puas, bergairah, kini berganti takut, ngeri, merinding, mual, bahkan ada yang muntah-muntah. Ketujuh putri tersebut menjerit ketakutan, melompat-lompat tak tentu, mengelap tangan berlumur darah. Sadar bahwa seragam pramuka, topi boni, setangan leher, pula sepatu bertali mereka bersimbah cairan merah, mereka histeris bukan main.
Beberapa putri compang-camping sambil memasang muka horor, menjauh dari lapangan apel yang dipenuhi bangkai jasad terpotong-potong. Tanpa sadar, dua orang menyentuh batas Bumi Perkemahan tak kasatmata, tubuhnya hancur seketika berkeping-keping jadi ceceran daging plus organ dalam dan muncratan darah.
Para putri tersisa menyaksikan pemandangan itu dengan ngeri, bergeming di tempat sambil dirasuki rasa ketakutan dan bersalah nan tinggi. Fathur dan putra lainnya menghampiri mereka, seraya memberikan tatapan bingung bercampur geram.
“Kalian … apa yang sudah kalian lakukan … ! Cepat ke sini dan jelaskan apa yang terjadi!” perintah si ketua kelas dengan garang.
Fathur sudah menyiapkan putusan nan setimpal bagi semua putri tersisa.
Hukuman bagi para pembunuh.
###
Kudus, 8 Februari 2021
(A/N)
Hello, Jeruk di sini.
Semoga adegan gore-nya bisa mengena ya. Aku sebenernya ada ide awal mau masukin kanibalisme ke cerita ini, tapi setelah kupikir-pikir bakal jadi tambah aneh, maka akhirnya gak kupakai. Anyway, kalau mau baca kanibalisme, boleh mampir ke Bandeng Duri Lunak dan Semangka tanpa Biji yang judul babnya ada (G)-nya. Thanks, all
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top