Tragedi-Ketujuh
Peserta lainnya sibuk memberesi tenda-tenda yang telah terbakar serta memindahkan barang-barang mereka yang selamat ke tenda yang masih utuh dan kondisinya baik. Mereka amat terburu-buru dan gelisah. Karena, pada jam 16.00, batas satu jam akan segera habis. Dan, tinggal beberapa menit lagi, salah satu di antara mereka akan ada yang mati.
Kemudian, pada beberapa menit terakhir, ketua kelas-Fathur, mengadakan rapat.
***
Ahim melihat ke arah riak air yang tertiup angin.
Menjauh-
mendekat-
menjauh-
mendekat-
menjauh-
mendekat-
.
.
.
.
.
Tubuh dua orang.
Dua sosok mayat terapung di tengah danau dengan posisi badan mereka menghadap ke dasar. Suara angin yang sunyi dan riak air yang mendebur menemani kematian keduanya. Mereka adalah Feniana dan Risma.
"AAAAAHIIIIMMMM-!" Mei datang berlari kencang dengan mengacungkan pisau dapur ke arah Ahim. Wajahnya amat menakutkan sekali. Di belakangnya diikuti Herlina dan Dilla yang juga memegangi pisau dapur.
Sementara yang lainnya pun berdatangan ke arahnya. Ada yang menunjukkan ekspresi marah dan dendam serta ada yang menunjukkan ekspresi ketakutan.
***
"Seperti yang aku katakan tadi, jika nanti tidak ada yang mati, maka Ahim telah melakukan bunuh diri. Tetapi, jika salah satu atau lebih di antara kita mati, maka Ahim tidak melakukan bunuh diri dan dia memang pelakunya. Maka dari itu kita sendiri yang akan melakukannya, mengerti?" ucap Fathur, sembari menggenggam pisau dapur.
"Kau paham, Herlina?" kata Mei yang lalu memberikan pisau dapur ke Herlina.
"Ya," balas Herlina.
"Kau juga, Dil." Mei menawarkan pisau dapur ke Dilla.
"Tapi, tapi aku tidak...." Dila berniat menolak. Tetapi, Mei memaksanya memegang pisau dapur.
"Sudah hampir waktunya," kata Nana.
Tinggal 1 menit lagi. Semua orang melihat ke jam tangan yang mereka punya. Yang tidak punya melihat ke temannya yang punya.
"Perhatikan semua teman kalian!" perintah Fathur.
Yang lain mengawasi temannya dengan awas dan perasaan deg-degan, amat ketakutan.
5...
4...
3...
2...
1...
"Hah!!!" Semuanya terkejut.
"Risma dan Feniana hilang!" seru Fifi.
Lalu mereka serentak menuju danau kecil. Di sana mereka melihat Ahim yang berdiri mematung melihat ke tengah danau. Di sana terdapat dua mayat, tidak salah lagi itu pasti Risma dan Feniana. Mei pun langsung berlari menuju Ahim, disusul Herlina dan Dilla.
"Tunggu, tunggu Mei!" Dilla mencoba mencegah Mei.
"Cih, apa yang kau lakukan?! Minggir, Dil-!" Mei amat marah.
Tetapi, Dilla menghadang Mei dengan berada di depan Ahim. Sementara Ahim hanya terdiam di pinggir danau sambil ketakutan tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Minggir kau, Dil! Apa kau mau kubunuh juga!" Mei mengancam Dilla dengan ngeri.
"Mei, kau menjadi tidak waras! Sadarkan dirimu!" kata Dilla.
"Aku akan sadar setelah Ahim mati!"
Tiba-tiba...
Ngeeeennnnggggg.... nggguuuunggggg.... nngggggiiiiingggg.... nnngggeeeennggggg....
Nnnnngggnnngggg....
Suara bising yang berasal dari berbagai tempat secara bersamaan memekakkan telinga semua peserta.
"Suara apa itu!?" teriak Yudha.
Itu adalah suara batang pohon yang tergergaji secara melingkar sempurna di dekat pangkalnya. Suara bising gergaji mesin, batang pohon yang terkikis, serbuk kayu melimpah yang bertebaran, dalam sekejap hal itu terjadi. Pohon-pohon pun tumbang satu per satu.
Para peserta berhamburan berlari untuk menjauhi pohon yang berjatuhan. Suara teriakan dan jeritan pun bermunculan.
"Awwww!" Batang pohon kecil mengenai tangan Panca, tetapi Panca berhasil menghindar dari tindihan pohon itu.
"Awww aduhhh...." Pohon yang agak besar mengenai kaki kiri Uyut. Uyut merintih kesakitan.
Scraaakkkttt- Batang pohon yang besar menindih tubuh Herlina. Teman-temannya dapat melihat kepala dan wajahnya. Ekspresi yang terkejut dan berusaha meminta pertolongan akibat hantaman keras yang menghancurkan seluruh tubuhnya. Isi perut seperti usus, lambung, dan hati berceceran keluar. Tak lupa darah pun turut mengalir.
Satu pohon ambruk lagi. Pohon itu menuju Mei. Mei yang berlari tak karuan pun menjauhinya. Namun pohon itu mengubah arah jatuhnya sehingga tepat mengenai kepala Mei dan menindihnya. Otak berceceran dan darah pun menyebar.
Ada satu tubuh lagi. Yang ini hanya terlihat telapak kaki yang tertutup sepatunya. Dia adalah Dilla. Darah merah mengalir meluas dari tubuhnya.
Sementara Ahim hanya terpaku di posisinya, berdiri di pinggir danau kecil. Matanya menunjukkan bahwa ia tak percaya atas apa yang telah terjadi. Ia melihat tiga pohon yang telah menindih teman-temannya, Shilka yang membantu Uyut dari tindihan batang pohon, dan wajah teman-teman tersisa yang amat ngeri menunjukkan ekspresi horor, tak percaya atas apa yang telah terjadi.
"Aaaaaaa!!!" Suara Shilka yang terkejut ketakutan membuat yang lain menoleh ke arahnya.
"Fa-Fathur SUDAH...!!!" Shilka menunjuk ke arah sesuatu yang diikat pada suatu tiang.
Fathur telah disalib pada batang kayu. Tangan dan kakinya dipaku, perutnya sobek, matanya ditutupi kain putih, serta tubuhnya penuh luka tusuk. Terdapat tulisan satu kalimat di atas tanah.
"WHEN THE CAT'S AWAY, THE MICE WILL PLAY".
" SAYANG ... SAYANG ... SAYANG.... KENAPA?! KENAPA?! KENAPA huaaaa...." Shilka menangis dan merengek sampai tenaganya habis. Pacarnya kini telah mati. Separuh jiwanya telah pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top