Tragedi-Ketiga Belas
Tubuh Yudha yang berserakan di tanah diambil dan dibersihkan menggunakan pengki dan karung seadanya. Tubuhnya yang agak besar membuat kesusahan kelima teman yang tersisa. Mereka menatap getir kuburan Yudha. Satu-satunya harapan terbesar mereka telah menghilang.
"Yudha ... Hiks.... Mengapa kau mati seperti itu... Hiks...." Qiqit menangisi kematian Yudha.
Fifi yang melihat temannya menangis mencoba memulai perkataan. "Gerbang masuk itu pasti memiliki suatu rahasia yang tersimpan rapat. Mungkin saja arwah Yudha masuk ke dalam dunia lain," ucapnya.
"Apa maksudmu?! Dunia lain? Ini kan dunia lain! Dunia lain dalam dunia lain gitu?!" Denok menjadi emosi.
"Tenang.... Tenang.... Jika memang begitu, maka itu akan jadi hal yang rumit," ucap Fifi.
"Gerbang itu ... memiliki portal. Aku merasakan itu. Seperti dugaan yang dikatakan Fifi, portal untuk masuk ke dalam dunia area perkemahan ini ada di gerbang masuk itu," ujar Ahim.
Denok tak percaya dan membuat kesimpulan sendiri. "Tidak mungkin.... Apa berarti Yudha sudah keluar? Yudha sudah bertemu dengan teman-teman kita yang lain? Tapi bagaimana kita menyusulnya?"
"Tidur!" kata Uyut.
"Kita tidak boleh tidur," cegah Ahim.
"Kenapa?"
"Kalian ingin mati?"
Denok, Fifi, dan Uyut ketakutan mendengarnya.
"Selain itu, kemungkinan besar Yudha tak sampai ke dunia kita yang sebenarnya. Karena tubunya masih di sini. Jadi yang terkirim hanya jiwanya. Yudha tidak lengkap maka dia tidak berhasil."
"...." Ketiga temannya hanya terdiam.
Qiqit yang sedari tadi meratapi kuburan Yudha pun mulai bangkit dan memberi semangat kepada teman-temannya. "Kita tidak boleh membuang-buang waktu!" serunya, "Sepuluh teman kita sedang menunggu di luar sana!"
Keempat temannya menoleh ke arah Qiqit. "Lalu apa yang kita lakukan?" tanya Denok.
"Ah! Tas teman-teman!" seru Uyut yang tiba-tiba mendapatkan ide cemerlang. "Kita belum memeriksa tas milik teman-teman, 'kan? Maka ayo kita lakukan! Siapa tahu kita dapat menemukan suatu petunjuk!"
"Ah, benar itu! Pintar juga kau, Yut!" seru Denok.
"Kenapa kita tidak kepikiran dari tadi! Ah!" kata Fifi.
Tetapi Ahim menunjukkan ekspresi tak senang. "Apa kau yakin?"
"Apa maksudmu, Him?" tanya Qiqit.
"Apa itu berarti kita akan mencurigai salah satu teman kita lagi?" kata Ahim serius.
Uyut menyalahkan, "Bukan begitu! Mungkin saja salah satu teman kita mempunyai suatu benda yang dapat kita gunakan sebagai petunjuk!"
"Kalau begitu mari kita lakukan," ujar Ahim. Semua teman Ahim hanya menatapnya dengan aneh.
Setelah itu, kelima peserta mulai menggeledahi tas teman-teman mereka, baik yang telah mati maupun yang masih tersisa, yang berada di beberapa tempat berbeda, demi mendapatkan suatu petunjuk yang entah akan mereka dapat atau tidak.
"Ayo cari, semuanya!" seru Qiqit mengajak teman-temannya. Mereka berlima pun sibuk berkutat menggeledahi tas-tas yang berukuran besar itu.
***
"Bagaimana?" tanya Qiqit yang telah selesai menggeledahi beberapa tas.
"Nihil," jawab Fifi.
"Aku pun," kata Ahim.
"Denok pun tidak dapat sesuatu yang menarik," ujar Denok.
Tinggal Uyut yang terdiam di antara tumpukan tas-tas. Ia membelakangi teman-temannya.
"Uyut! Apa kau menemukan sesuatu? Apa itu?" tanya Qiqit.
"Entahlah. Mungkin ... bom?" ujar Uyut.
"Darimana kau mendapatnya?!" Denok menjadi gelisah.
"Ini ... tas milik Feniana...," jawab Uyut.
"Hah?!" Keempat temannya terkejut.
***
15.55
Risma dan Feniana jongkok di dekat batu besar yang terhalang dari pandangan orang lain.
"Apa ini akan berfungsi?" tanya Risma.
"Iya. Ini pasti berfungsi. Aku sudah membacanya di internet," ujar Feniana.
"Lalu akan kita apakan bom ini, Fen?"
"Entahlah. Aku pikir ini akan berguna. Kita taruh di mana ini?" tanya Feniana bingung.
"Bagaimana kalau teman yang lain tahu? Akan mereka gunakan untuk apa?"
"Entahlah...."
Tiba-tiba terdengar teriakan Fathur yang mengatakan untuk berkumpul.
"Ayo, Ris, cepat, ke sana." Feniana menjadi gelagapan. "Taruh ke mana bom ini?"
"Masukkan saja ke tasmu."
"Hah? Ya sudahlah." Feniana pun menyimpan bom rakitan dan pengendalinya ke dalam tas.
***
"Feniana seorang teroris!" seru Denok.
"Denok!" Uyut memarahinya.
"Ah, lupakan. Maaf. Tapi bagaimana dia mendapatkannya?" tanya Denok.
Fifi pun mengingat sebuah isu. "Aku mendengar bahwa salah seorang di dalam kelas kita adalah anggota baru dari aliran agama rahasia. Apa itu Feniana?"
Qiqit menjadi agak kesal. "Bodoh. Yang lebih penting, akan kita apakan bom ini?"
Tiba-tiba Ahim merebut bom itu dari genggaman Uyut, lalu ia memandangi bom itu. "Bom rakitan. Skala ledaknya tidak terlalu besar," katanya.
"Ah! Aku tahu! Bagaimana kalau kita bom saja gerbang masuk itu!" seru Denok.
"Lalu dengan begitu kita akan menemukan sebuah portal? Ide bagus," kata Ahim yang kemudian menyerahkan bom dan pengendalinya kepada Qiqit.
"Kalo begitu ayo cepat segera kita lakukan!" ajak Qiqit.
Qiqit dan Denok pun segera berjalan cepat menuju gerbang masuk. Setelah sampai di sana, mereka segera meletakkan bom itu pada gapura gerbang masuk.
"Bagaimana cara menyalakannya?" tanya Denok.
"Kan ada remote untuk menyalakan dari jauh!" kata Qiqit sambil menunjukkan remote yang dimaksud.
"Oh, ya! Benar juga kau, Qit," ujar Denok.
"Ayo kita menjauh!" ajak Qiqit.
Mereka berdua pun berlari menuju teman-teman yang lain. Lalu Qiqit menyiapkan pengendali bomnya.
"Semuanya, tutup telinga-!" perintah Qiqit. Denok, Fifi, Uyut, dan Ahim pun menutup telinga mereka.
"Dengan ini kita pasti akan bertemu dengan sepuluh teman lainnya!"
Klik!
Duaarrrrr-!
Gapura gerbang masuk pun hancur berkeping-keping. Namun, tak ada hal aneh yang terjadi. Tak ada portal, atau apalah itu, yang membawa mereka kembali menuju dunia sebenarnya dan bertemu kesepuluh teman yang lain.
Scrriinggg...!
Tiba-tiba! Ingatan mereka menjadi campur aduk. Seperti ada yang menjejali pikiran mereka. Kondisi kesepuluh teman lainnya....
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Mati.
Ya, mati.
***
Fina, Alifa, Alya, Dina, Ryan, Emak, Intan, Kuntum, Atun, dan Fardhan.
Mereka bersepuluh berada di atas atap gedung tertinggi dari Saba. Mereka saling bergandengan tangan. Mereka bersiap untuk jatuh.
Braaakkkkk-!
Jatuh. Mereka jatuh. Darah mengalir dan memenuhi tanah tempat murid-murid itu jatuh.
***
Suasana hati mereka menurun drastis. Semangat yang membara berbalik menjadi rasa keterpurukan yang mendalam. Mereka menjadi pasrah.
Diliputi oleh rasa putus asa, kelima peserta yang tersisa menuju stand konsumsi. Batas waktu selanjutnya tinggal dua menit lagi. Maka, mereka pun duduk, untuk menunggunya.
"Teman-teman kita ... mati...."
"Tak ada yang dapat kita lakukan lagi...."
"Tidak ada yang menanti kita di sana...."
"Tak ada harapan lagi...."
21.00
Kelima peserta tak ingin memastikan dan memerhatikan siapa yang akan mati selanjutnya. Keputusasaan melahap dan menelan mereka.
Medadak Uyut tertarik ke sebuah pohon berkayu. Cabang pohon itu berada di belakang punggungnya.
"Ah! Aku bergerak sendiri!"
JROOSHH-!
Cabang itu tertancap di tengah-tengah dada Uyut. Darah mengalir dari tubuhnya.
"Toloongg! Aaaa!" Uyut meronta-ronta.
Ahim berlari dan menarik tangan Uyut. Tangan Uyut langsung tertarik dan ... terlepas. Darah keluar dari lengan serta bahu Uyut.
Denok, Fifi, dan Qiqit bergidik ngeri. Ahim menggenggam tangan Uyut.
Tubuh Uyut tertarik keluar.
JREESHH-!
Tubuhnya tertancap lagi. Darah keluar lebih banyak.
Tubuhnya tertarik dari cabang.
JRAAASSHH-!
Tubuhnya tertancap lagi.
Dan, tertarik lagi.
JREESSHH-!
Tubuhnya tertancap lagi. Terdengar ringkikan suara Uyut.
Dan, tubuhnya tertarik lagi.
Empat teman Uyut hanya melihat dengan penuh kengerian. Air tangisan mengalir dari mata mereka. Ahim masih memegangi tangan Uyut.
Tubuh Uyut merendah sedikit. Cabang pohon itu kini berada di belakang kepalanya.
JRσσσSSHH-!
Kepalanya tertancap cabang itu. Cairan otaknya mengalir keluar. Bisa dipastikan kini Uyut telah mati. Namun hukuman belum berakhir.
Kepala Uyut tertarik.
JREEESHH-!
Kepalanya tertancap lagi.
JRAASSH-!
JRUUSSH-!
JREEESHH-!
Kepalanya tertancap lagi. Dan, tertarik lagi.
Akhirnya hukuman pun berhenti. Keempat peserta yang tersisa bergidik ngeri. Kelopak sayu mereka menghitam.
Semua peserta tersisa tertelan dalam rasa putus asa. Ahim mengambil pisau yang ditinggal Mei, mengarahkan ke lehernya.
Ia mengatakan ke lainnya, "Tak ada gunanya kita berusaha. Kita semua akan mati satu per satu. Maka, lebih cepat kalau kita menghabisi diri sendiri saja."
Lalu, Qiqit pun mengambil pisau yang ditinggal Dilla. Fifi mengambil pisau yang ditinggal Herlina. Ahim melihat Denok, lalu melempar pisau ke tanah di depan Denok. Ahim lalu mengambil botol, memecah sebagian, lalu mengarahkan ke lehernya.
"Semua siap?" Semua peserta mengarahkan benda tajam masing-masing ke leher.
Tiba-tiba, muncullah seekor bajing.
"Apa kalian yakin?"
Mereka pasti telah depresi hebat sehingga mengalami halusinasi.
"Apa kalian yakin akan mati tanpa mengetahui kebenarannya?" lanjut bajing itu.
"Kebenaran apa yang kau maksud?" tanya Ahim yang lalu menjauhkan botol dari lehernya. Yang lain pun mengikuti Ahim.
"Kebenaran, Kawanku. Kebenaran yang menyebabkan kalian semua terjebak ke area perkemahan ini, dunia aneh yang menghabisi kalian satu per satu."
"Apa itu?"
"Kalian akan segera mengetahuinya." Mata bajing itu mengeluarkan sinar menyilaukan.
Tiba-tiba, mereka berempat melihat kegiatan kemah blok, melihat anggota kelas mereka, XII MIPA 1, dengan peserta 22 siswa, 5 putra dan 17 putri, termasuk diri mereka sendiri.
"Apa ini?"
Pupil mereka menyempit. Tubuh mereka bergetar hebat.
"INI KAN...?!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top