Tragedi-Keenam

***

Lanjutan Diskusi: Fennia, Bila, Tiara, Nanda, Mei

"Lalu siapa teman kita yang menginginkan hal tersebut?" tanya Bila.

"Menurut kalian siapa orang yang paling bersikap aneh setelah kejadian ini terjadi?" tanya Nanda.

"Mmmm ... siapa ya?" Bila bingung.

"Ahim," jawab Mei.

"Ah, iya, menurutku Ahim yang paling mencurigakan!" ucap Nanda.

"Iya betul!" kata Bila, "Selain itu si Ahim juga anak yang paling aneh dari kelas kita!"

"Bagaimana yang lain?" tanya Mei.

Tiara dan Fennia nampak pikir-pikir dahulu. Dan, akhirnya mereka memutuskan.

"Ahim," jawab Tiara.

"Iya Ahim," jawab Fennia.

***

"Cukup sudah, Ahim!" Mei membentak Ahim dengan wajahnya yang mengerikan. "Cukup sudah! Hentikan membunuh kami satu per satu! Apa maumu ha!?" Yang lain melihat Mei dan Ahim yang saling berhadapan.

"Apa maksudmu, Mei?" Ahim ketakutan dan kebingungan.

"Ini pasti ulahmu, kan?!" Mei menuduh Ahim.

"Ulahku? Aku tidak melakukannya! Mana mungkin aku bisa melakukannya!"

"Tentu saja kau yang melakukannya!" Mei berbalik menghadap teman-temannya.

"Asal kalian tahu! Sebelum kita semua pingsan, aku, Bila, Tiara, Fennia, dan Nanda melakukan sebuah diskusi! Apa ada yang tahu?!"

Yang lain saling tatap. "Diskusi apa yang kau maksud?" tanya Qiqit.

"Apa kalian tahu tentang cerita Alas Roban?"

"Aku tahu," kata Ahim. Mei menatap Ahim dengan tambah curiga.

"Ceritanya adalah sebuah bus pariwisata yang tiba-tiba tersasar dari jalanan ke tengah hutan. Dan asal kalian tahu, bahwa sopirnya mengatakan bus tersebut tersasar karena ulah makhluk halus!" Teman-temannya mulai meneguk ludah.

Mei melanjutkan ceritanya. "Tetapi setelah ditelusuri, ternyata bus tersebut bukan tersasar melainkan salah jalur karena si sopir tidak tahu arah jalan yang benar. Tetapi, Nanda menyimpulkan bahwa bus tersebut tersasar karena keinginan sopirnya. Si sopir tidak tahu jalan yang benar sehingga ia menginginkan bus tersebut tersasar untuk mengalihkan ketidaktahuannya. Dan, kemudian untuk membuat semuanya masuk akal, hal tersebut dihubungkan dengan ulah makhluk halus! Ya, dengan alasan tersebut maka masalah akan selesai!"

"Jadi intinya apa, Mei?"

"Intinya adalah kejadian bus tersasar tersebut terjadi karena keinginan sopir itu sendiri. Maka, jika kalian menghubungkannya dengan kejadian tempat aneh ini, maka SESEORANG DI ANTARA KITA PASTI MENGINGINKAN KITA SEMUA BERADA DI TEMPAT INI UNTUK MATI SATU PER SATU!" Mei mengucapkan sebagian kalimat terakhir dengan agak berteriak dan dengan wajahnya yang mengerikan.

"Apa itu maksudnya! Mana mungkin kita menginginkannya!" sergah Qiqit.

"Ya, benar! Itu adalah suatu hal yang gila!" kata Dilla.

"Sekarang coba pikir teman-teman, SIAPA YANG MENJADI BERTINGKAH ANEH SETELAH KEJADIAN INI TERJADI?
Tentu saja kami telah mendiskusikannya. Dan, orang yang kami curigai dan menjadi tersangka utama adalah...."

Tentu saja semua temannya sudah tahu. Mei menatap Ahim dengan mengharapkan pengakuan darinya, sambil menyeringai kejam.

"Apa tidak mungkin kalau jangan-jangan kau yang melakukannya? Kau kan yang terakhir bersama mereka...," kata Ahim yang mencoba membela diri dengan menuduh lawan bicaranya.

"Tentu saja tidak." Mei langsung membalas. "Akan aku ceritakan kejadiannya."

...

"Setelah Tiara dan Fennia menjawab Ahim adalah orangnya, tiba-tiba terdengar suara aneh seperti tabung gas bocor. Lalu tercium bau yang aneh juga, dan lalu aku tersungkur ke tikar. Fennia, Tiara, Bila, dan Nanda seperti gelisah dan berusaha membangunkanku tetapi aku sudah terlelap menutup mataku."

"Hanya itu saja? Apa kau tidak tahu hal selanjutnya yang terjadi?" tanya Fathur.

"Sayang sekali tidak. Aku tidak tahu kejadian selanjutnya setelah aku pingsan tertidur. Padahal itu akan menjadi petunjuk yang penting. Ya kan, Fathur?" kata Mei.

"Em." Fathur mengiyakan cuek.

"Ngomong-ngomong teman-teman, aku ingin meminta pendapat kalian. Apakah kalian setuju Ahim adalah orang yang membuat keinginan kita semua berada di sini?"

"Mana mungkin cerita itu benar! Itu kan cuma pendapatmu dan Nanda saja!" bantah Ahim.

"Kalau memang cerita itu benar, maka aku akan ikut. Lagipula kita tidak punya petunjuk lain lagi kan...," kata Nana.

"Nana, mengapa...?" Ahim tercengang.

"Yang lainnya, siapa yang setuju angkat tangan." Mei bertanya ke lainnya lalu mengangkat tangannya.

Beberapa yang lain mulai mengangkat tangan. Nana, Fathur, Yudha, Fifi, dan Denok angkat tangan. Diikuti Qiqit. Dan, terakhir Panca yang telah memutuskan pilihannya.

"Yang lain, mengapa tidak memilih? Apa ada orang lain yang dicurigai?"

Risma, Feniana, Herlina, Uyut, dan Shilka terdiam. Sementara Dilla terlihat agak geram, seperti ia ingin melakukan sesuatu.

"Mengapa diam saja? Risma, kenapa kau tak memilih Ahim?! Jawab!" Mei agak marah.

"Jawab, Ris," kata Feniana kepada Risma.

"Aku tidak tahu, ya, yang mana yang benar dan yang mana yang salah. Maka dari itu aku tidak memilih siapa pun," jawab Risma. Meskipun demikian tubuhnya sedikit bergetar dan ada keraguan dalam dirinya. Sebab, ia juga menganggap Ahim adalah orang yang aneh.

"Huh, ya sudah." Mei masa bodoh.

"Mei, serius ya kalau cerita itu benar. Kalau salah awas!" ancam Fifi. Mei hanya terdiam dengan tatapan wajahnya yang suram.

"Ahim bukan pelakunya!" Suara dari salah seorang teman-temannya. Dan dia adalah Dilla.
"Ahim bukan pelakunya. Aku tahu itu!"

"Ha? Apa maksudmu, Dil?" Mei terheran-heran. "Berikan kami buktinya kalau begitu!"

"Uh kalau bukti aku tidak punya. Tapi ... tapi.... Aku punya firasat kalau Ahim bukan pelakunya!" kata Dilla.

"Hah? Firasat apa itu?" tanya Fathur.

"Entahlah. Tapi sedari tadi ada suara-suara seseorang, yang seperti mencoba berbicara denganku. Suara seorang perempuan yang seumuran dengan kita! Dia terus berkata 'Ahim bukan pelakunya! Ahim bukan pelakunya! Ahim bukan pelakunya!' dengan suaranya yang lembut. Aku tidak tahu suara siapa itu, tapi aku merasa seperti mengenalnya!"

"Hah tidak masuk akal...," olok Fathur.

"Dilla ... terima kasih...." Ahim merasa lega dan senang sebab masih ada yang mendukungnya.

"Tapi itu masih tidak bisa menyalahkan kemungkinan kalau Ahim adalah pelakunya," ujar Qiqit.

"Ya, benar," kata Mei sambil menatap Dilla suram. Sementara Dilla hanya terdiam memandang ke arah tanah.

"Kalau begitu, ayo kita kubur Tiara, Bila, Fennia, dan Nanda terlebih dahulu. Setelah itu kita mencari petunjuk lainnya," perintah Fathur.

"Kita tinggalkan saja Ahim di sini. Biar tahu rasa dia," ucap Mei.

Lalu Fathur berkata, "Oh aku punya ide cemerlang. Kalau misal, Ahim memang pelakunya, maka kematian akan terus berlanjut. Benar, salah seorang atau lebih di antara kita akan ada yang mati. Tapi kalau nanti saat jam 4 Ahim melakukan bunuh diri, maka tidak akan ada yang mati, bahkan bisa jadi kematian akan terhenti! Bagaimana? Ide yang bagus, 'kan?"

"Apa-apaan itu? Pemikiran macam apa itu? Mengapa aku harus mati?! Aku 'kan sudah bilang kalau aku bukan pelakunya!" Ahim benar-benar ketakutan sekarang.

"Sudahlah, diam saja kau. Ahim, kau tahu cara yang bagus untuk mati?" kata Fathur.

Ahim malah terpengaruh perkataan Fathur dan dengan penuh gelisah melihat sekeliling. Yang ia lihat adalah pohon-pohon besar*.

(*gantung diri pada batang pohon)

"Ahim, apa kau tahu pisau di stand konsumsi? Apa kau berani melakukannya?" ucap Fathur mengintimidasi Ahim.

"Pisau...?! Mustahil...." Ahim ketakutan.

"Nah, 'kan. Hei, kau tahu danau kecil di lapangan itu? Maka mengapa kau tidak menenggelamkan dirimu saja? Rasanya lebih damai daripada menahan rasa sakit luka pisau," kata Fathur dengan nada ngeri.

"Tidak-! Tidak! Tidak mau!!!" Ahim menolak dengan ekspresi ketakutan.

"Ide bagus, Thur. Ayo, Him, kita ke sana," paksa Mei.

Fathur, Shilka, Mei, Qiqit, dan Fifi memaksa Ahim menuju danau kecil. Sementara Ahim pasrah mengikuti kemauan teman-temannya. Padahal, ia tidak ingin mati.

"Ayo cepat pergi ke tengah danau!" perintah Fathur.

"Tidak-! Tidak mau!!!" tolak Ahim.

"Sudahlah, Yang*. Bisa saja Ahim bukan pelakunya," kata Shilka ke Fathur.

(*Sayang)

"Cih, dasar penakut.... Ya sudah mari kita tinggalkan saja Ahim sendirian." Fathur mengajak Shilka dan yang lain pergi meninggalkan Ahim yang tengah diam terpaku di pinggir danau kecil. "Jangan menemui kita lagi," tambah Fathur sembari melangkah pergi.

***

Fathur dan lainnya bergabung dengan rombongan di dekat gerbang masuk. Lalu, beberapa dari mereka menggotong keempat mayat dan kemudian membuatkan mereka kuburan. Teman-teman Ahim mengikuti pemakaman dengan perasaan yang berbeda dari sebelumnya, sebab hanya beberapa yang masih terisak dan menangis. Para pengubur merasa enggan sebab agak jijik dan lelah menguburi teman-teman mereka.

Sementara, Ahim yang telah dilarang untuk mengikuti pemakaman duduk di tepi danau dan melamun. Pikirannya kacau dan telah kosong. Ia merasa semua temannya telah membencinya.

Ahim melamun untuk beberapa lamanya. Kini ia telah berada di negeri jauh. Di sana ia melihat Ghani, dan seorang lagi, perempuan, lebih pendek, dan berkacamata. Mereka terlihat sangat mesra sekali.

Siapa gadis itu?

Tiba-tiba pandangannya menjadi silau. Ahim melihat ke permukaan danau yang menyilaukannya, termasuk sesuatu yang mengambang di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top