Tragedi-Kedua
***
Para siswi putri yang sedang makan meski tak lapar, terhenti saat terdengar teriakan laki-laki dari tenda mereka.
"Ada apa itu?" tanya Fennia, mendengar suara teriakan dari tenda yang agak jauh.
Lantas mereka pun menuju ke tenda mereka, untuk kemudian ketakutan, menangis, berteriak, dan sangat panik serta benar-benar kebingungan, tak tahu atas apa yang telah terjadi.
***
Leli yang shock mencoba menenangkan diri dibantu Nanda dan Nana. Ahim yang juga masih shock duduk mematung di dekat pohon besar.
"Tadi kepalanya Ebe meloncat dan jatuh ke tanah, darah-darah muncrat ke mana-mana.... Astaghfirullah astaghfirullah...." Leli penuh dengan perasaan merinding.
Tubuh dan kepala Ebe dipindahkan oleh Ghani dan Yudha ke belakang dan ditutupi selimut. Lalu Ebe dibuatkan kuburan seadanya, dikubur di sana. Yang lainnya turut mendoakan jasad Ebe.
"Semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya. Aamiin," kata Yudha, pemimpin pemakaman.
"Meskipun kita masih shock dan tidak tahu akan apa yang terjadi, untuk sementara kita pindah ke sangga 7 dan 8, yang dekat dengan stand konsumsi," instruksi Qiqit, yang merupakan wakil ketua, dengan raut wajah yang lesu.
Siswi-siswi memindahkan barang-barang mereka dengan amat ngeri. Bau anyir darah menyertai mereka. Beberapa dari mereka yang barangnya terkena darah langsung dicuci. Keenam murid saksi tadi juga membersihkan badan mereka dan mengganti seragam SPL-mereka.
"Tidak ada orang lain yang datang selain kita. Kemungkinan ... kita terjebak di area perkemahan ini. Kabut tebal di luar menutupi pandangan, dan jauhnya tak terhingga. Saat jalanan ditelusuri kami malah kembali ke area perkemahan ini. Kemungkinan kabut itu mencegah kita untuk keluar dari sini," jelas Fathur.
"Thur, kamu itu nggak usah nakut-nakuti kami, pakai ada acara kembali ke area perkemahan lagi. Apa maksudnya? Lalu apa penyebabnya? Kok tiba-tiba kita bisa ada di area perkemahan aneh ini? Dan apa-apaan kabut itu?" Fifi penuh gelisah.
"Penyebabnya adalah makhluk gaib, tepatnya kekuatan supranatural. Kalian harusnya tahu itu," kata Ahim agak kesal, entah mengapa. Semua peserta menoleh dan heran.
"Makhluk gaib? Maksudmu kutukan? Ulah setan?" ujar Dilla.
"Yang terpenting ... adalah menentukan apa yang kita akan lakukan selanjutnya," tuntas Fathur.
"Kalau begitu aku akan menghilangkan kabut supaya kita bisa keluar," ucap Fifi dengan kesal.
"Percuma lah. Begini. Cek HP kalian dan panggil 110. Aku pikir kalian sudah mencobanya 'kan?" tanya Fathur.
"Sudah tapi tak tersambung...," kata Risma.
"Aku juga mengecek WA, Line, Facebook, dan sosmed lainnya tapi juga tak tersambung," ujar Nana.
"Meski sinyalnya penuh begini...." Tiara heran.
Tiba-tiba Ghani mengeluarkan suara dan memberi usul.
"Thur, bagaimana kalau kita berpencar. Masing-masing keluar dari arah yang berbeda. Tentu saja ada yang harus melompati tembok."
"Lalu untuk apa?" tanya Fathur yang sedikit tertarik.
"Mungkin saja, ya, mungkin. Jika kata Ahim benar, karena supranatural, maka bisa jadi tempat ini punya titik kelemahan." Ghani menjelaskan dengan semangat.
"Hmmm ... ide bagus. Yang lainnya?"
Murid yang lain hanya terdiam sambil saling memandangi yang lain. Mereka tampaknya setuju dengan usulan Ghani.
***
Leli tertinggal di tenda sangga 7 bersama Mei dan Qiqit. Mereka beristigfar bersama-sama. Sementara, Ahim di sangga 8. Ia mendongak ke atas dengan tatapan kosong sambil beristigfar juga.
"Sabar ya. Lel, kejadian tadi memang mengerikan," kata Qiqit mencoba menenangkan Leli.
"Kasihan Ebe. Meski agak menjengkelkan dia itu sebenarnya anak yang baik."
"Tapi aku curiga sama laki-laki," kata Mei yang memecah ketenangan.
"Lah kok bisa?" Qiqit menoleh heran.
"Nggak. Cuma pilihan kedua aja, selain kata Ahim."
Leli yang buyar dari lamunannya mengatakan, "Bagaimana, bagaimana jika setan itu, mengambil nyawa salah satu di antara kita lagi?" Ia menakuti dua yang lain.
"Hush jangan macam-macam!" cegah Qiqit.
"Pohon."
...
Para perempuan itu menoleh terkejut ke arah sumber suara.
"Jika kita memanjat pohon, mungkin kita bisa tau arah jalan keluar dari atas!"
Lantas Ahim langsung memanjat pohon jati yang tinggi dan bercabang-cabang. Perempuan yang lain menontonnya sambil sesekali menyemangati.
Ahim meraih cabang satu demi satu. "Sedikit lagi. Sedikit lagi. Sedikit lagi!"
"Aghhhh!!!" Ahim meraih pucuk pohon dan menaikinya. Ia sangat bersemangat sekali.
"Dengan begini, semua orang-"
Laki-laki itu tak percaya atas apa yang ia lihat. Yang ia lihat adalah sebuah area dipenuhi kabut tebal dan dingin. Ia tak bisa melihat apa-apa selain area perkemahan dari atas itu. Percuma saja.
"Gagal," kata Ahim sembari turun dari pohon. Badannya menjadi lemas lesu.
Perempuan lain yang mendengarnya sangat kecewa.
Sudah tak ada harapan lagi.
***
Panca dan Yudha berpencar bersama. Panca seharusnya tidak melihat ke HP.
"Yudh, kata Risma tadi tidak bisa nyambung sosmed ya? Lha tapi tadi kita bertiga main VG bisa-bisa aja tuh." Panca mengeluarkan HP-nya dan membuka aplikasi VG.
"Gilang dkk juga ikut main. Lihat nih-" Perkataan Panca terhenti dan matanya terbelalak.
----------
Gilang: Ca ayo main.
Gilang: Ca noob kamu.
Aji: Ca yee aku menang!!
Aji: :v
Panca: Pfftt....
.
.
.
...dst
-Announcement-
Gilang and Aji both are Player666.
Player666: Kau sudah menyadarinya hehe...
----------
Yudha pun ikut terbelalak sembari merinding. Panca dan Yudha tidak menyadari jika mereka telah bermain dengan entah-siapa, yang mereka kira adalah teman bermain mereka seperti biasanya.
"Ya Allah apa-apaan! Pasti bercanda nih! Ayo bilang ke Fathur!"
***
"Bagaimana?" Fathur menanyakan ke teman-temannya yang berdatangan.
"Kok bisa begitu? Aku dan Nanda sudah melewati tembok selatan tapi kembali lagi. Lalu kami mengulanginya tapi juga kembali lagi," ujar Dilla.
"Aku sudah mencobanya sendirian. Di tembok utara sebelah kanan. Sekali saja tapi," kata Fennia. "Kok bisa kembali ke sini lagi, sih?"
"Mana aku tahu!" kata Fathur masa bodoh karena ia memang tak tahu.
Tiba-tiba datang Yudha dan Panca. Mereka menunjuk-nunjuk HP mereka sambil berbisik-bisik dengan Fathur. Fathur terlihat agak gelisah.
"Apakah tidak ada yang menemukan suatu petunjuk? Seperti jalanan yang tanpa kabut?" Semuanya terdiam dan saling pandang.
"Setelah ini kita mencari di dalam area perkemahan. Siapa tahu ada petunjuk."
"Ya Allah, Thur, kita itu lagi capek habis jalan," keluh Fifi.
"Ya benar tuh." Beberapa membenarkan ucapan Fifi.
"Baiklah kalau begitu kita kembali ke tenda saja."
***
Di tenda, mereka disambut oleh Leli, Mei, Qiqit, dan Ahim.
"Hey teman-teman. Mari kita membaca surat Yasin untuk meminta pertolongan supaya kita bisa keluar dan bisa menyelesaikan masalah ini. Setelah itu kita salat hajat untuk memohon kepada Allah," usul Leli yang merupakan bekas anak pondokan. "Bagi yang membawa mushaf bisa dikeluarkan dan dibaca."
Lantas mereka semua menyiapkan HP dan beberapa yang lain menggeledah tas mereka untuk mengambil Al Quran. Lalu tikar di jalanan digelar, dan para peserta duduk untuk doa bersama, dipimpin oleh Leli.
"Audzubillahiminassyaitonirrajim...."
Suatu lembar mushaf putih nan anyar milik Feniana.
"Bismillahirrahmanirrahim...."
Craat-!
Mushaf itu terkena noda cairan. Cairan merah ... darah. Semuanya bergidik ngeri.
Beberapa dari mereka langsung berdiri dan menjauh dari sumber cipratan. Yang lainnya duduk dengan mata terbelalak, tak percaya atas apa yang mereka saksikan.
Kepala Leli meledak dan darah serta otaknya menyebar ke mana-mana. Ke tikar, ke jalanan, ke baju, ke wajah, ke badan, ke mushaf, ke HP. Darah mengucur dari tenggorokannya.
"Aaaaaaaaaaaaaa...."
Satu kelas menjerit dan bertakbir serta beristigfar dengan lantang. Ada yang menangis, mual, muntah, terjerit-jerit, dan lainnya.
"Bagaimana, bagaimana jika setan itu, mengambil nyawa salah satu di antara kita lagi?" Adalah fakta bagi mereka bahwa pernyataan itu benar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top