Penyimpangan-VI
Hari Keenam Sekolah
Setelah pulang sekolah, beberapa anggota irmas mengadakan rapat untuk lomba pada hari berikutnya. Alya, yang tidak mengikuti penyembelihan, memimpin rapat tersebut.
Pada akhir rapat, Alya bercerita tentang suatu kisah pada masa lalu.
"Teman-teman, aku ingin kalian untuk mendengar kisah ini, dan menemukan hikmah yang dapat dipetik dari kisah tersebut."
***
Suatu malam, di dalam gubuk kecil, seorang anak perempuan melihat ibunya yang mencampurkan susu dagangannya dengan air.
"Ibu, kenapa lagi-lagi ibu melakukannya? Tidak baik mencampur susu ini dengan air," kata seorang anak perempuan kepada ibunya.
"Apa kau tidak berpikir, nak, bahwa kita sedang kekurangan uang?! Sejak ayahmu meninggal, penghasilan kita amat menurun. Bahkan dari hari ke hari rasanya semakin berat saja. Aku sangat khawatir kita akan kelaparan!"
"Tapi, Bu! Khalifah telah melarang keras semua penjual susu mencampur susu dengan air!"
"Ah! Kenapa kau dengarkan Khalifah itu?! Setiap hari kita selalu miskin! Kita tidak akan berubah kalau tidak melakukan sesuatu!"
"Ibu! Hanya karena kita ingin mendapat keuntungan yang besar, lalu ibu berbuat curang pada pembeli?!"
"Hah! Tidak akan ada yang tahu ibu mencampur susu dengan air! Tengah malam begini mana ada yang berani keluar! Khalifah pun tak akan tahu perbuatan kita!"
Tiba-tiba khalifah yang dibicarakan membuka pintu secara paksa dan menyerobot seperti seorang polisi.
"Khalifah...."
Ibu itu terkejut.
Khalifah itu mulai menasehati ibu.
"Bu, meskipun tidak ada seorangpun yang melihat dan mengetahui Ibu mencampur susu dengan air, tapi Allah tetap melihat! Allah pasti mengetahui segala perbuatan Ibu serapi apapun Ibu menyembunyikannya!"
"Aku... Aku hanya... Hiks...."
Ibu itu bersujud di hadapan khalifah.
"Maaf... Maafkan diriku khalifah...! Maafkan diriku...! Aku berjanji... Aku tak akan melakukan hal itu lagi! Maafkan aku...!"
Khalifah itu terdiam sebentar.
Lalu ia mengatakan,
"Ibu telah mengakui dosa Ibu."
"Sudah sepantasnya Ibu mendapat hadiah!"
Khalifah itu kemudian beranjak pergi dengan bersenandung riang melalui pintu gubuk yang kecil. Anak perempuan itu memandangnya dengan aneh.
Ibunya terdiam sejenak. Lalu ibunya pergi ke kamar dan menutup pintunya. Sedangkan anak perempuannya membereskan dagangan susu milik ibunya.
Pada tengah malam, ibu keluar rumah, menuju kediaman khalifah yang juga merupakan rumah yang kecil. Ibu itu mengetuk pintu, dan keluarlah khalifah. Ia mengajak ibu itu untuk masuk, lalu ibu itu pun masuk ke dalam sambil menutup pintu.
Keesokan harinya, anak perempuan mengetuk pintu kamar ibunya. Tetapi ia tak mendapat jawaban.
"Ibu?"
Anak itu menjadi khawatir dan mencoba mengetuk lagi.
Tetapi ia tak mendapat jawaban.
Ia menjadi sangat cemas.
"Ibu, ibu, ibu, di mana ibu???"
"Ibu, ibu, ibu, ibu, ibu, ibu, ibu!!!!"
Anak perempuan itu bergegas berlari keluar, melihat sandal ibunya yang tidak ada. Anak itu lantas berlarian menuju pasar dan jalanan yang ramai, memanggil nama ibunya berkali-kali.
"Ibu, ibu, ibu, di mana ibu???
Ibu, ibu, ibu, ibu, ibu, ibu, ibu!!! Ibu, ibu, ibu, di mana ibu???
Ibu, ibu, ibu, ibu, ibu, ibu, ibu!!!!"
Tetapi tak ada satupun yang menghiraukannya.
***
Seorang wanita tua terbaring kaku di atas ranjang. Mulutnya tak dapat berhenti berkomat-kamit mengeluarkan kata "ibu". Dia adalah seorang anak yang kehilangan ibunya saat usianya masih remaja. Di sebelah ranjang duduk tetangganya yang memandang pasrah ke arah wanita tua itu.
"Ibu... Ibu...."
Di detik-detik terakhirnya, wanita tua itu tetap tak berhenti memanggil ibunya. Ajal telah menjemput. Tak ada yang bisa dilakukan oleh wanita tua. Pada akhirnya ia pun tak dapat menemukan keberadaan ibunya yang ia sayangi.
***
Alya membuat kesimpulan, "Begitulah kisah pada masa lalu yang begitu menyentuh dan mengharukan. Hikmah yang dapat dipetik dari kisah di atas adalah...."
Dari luar nampak Emak yang melewati musala.
***
S.P. Emak
Setelah aku berbincang-bincang sedikit dengan temanku, aku memutuskan untuk pulang melewati musala. Ketika aku melihat ke dalam, sungguh terkejutlah aku. Kulihat Alya di sana berbicara dengan mulutnya penuh busa yang mengalir deras.
***
S.P. Penulis
Malam itu, hampir seluruh anggota irmas datang ke Saba. Mereka berkumpul di lapangan sepak bola dengan jubah dan penutup kepala serba putih. Masing-masing dari mereka membawa sebuah lilin yang menyala.
Mereka membentuk sebuah pentagram raksasa. Mereka melakukannya dengan tujuan untuk memanggil arwah si ibu dan si anak perempuannya agar mereka dapat bertemu kembali serta si anak dapat menemukan ibunya yang selama ini ia cari.
Mereka menghadap ke pusat pentagram, mengangkat lilin, dan kemudian mengarahkannya ke kedua mata mereka. Mata mereka terasa panas dan kemudian melepuh, ada yang sampai meleleh. Semua mata mereka menjadi kemerahan, mereka semua buta. Lilin-lilin tersebut kemudian dimatikan dan dibuang.
Kemudian mereka mengeluarkan gunting dari saku mereka, lalu mengarahkan di depan dada kiri, dan menancapkannya sehingga tepat mengenai jantung.
Setelah menahan rasa sakit, masing-masing dari mereka tumbang satu per satu, menyisakan lapangan yang penuh darah merah.
Tiba-tiba suatu cahaya biru terang muncul di tengah-tengah pentagram. Cahaya itu terbagi menjadi dua cahaya, yang satu nampak seperti sosok ibu dan lainnya nampak seperti sosok anak perempuan. Mereka adalah dua orang yang anggota irmas telah mencoba untuk memanggil. Ternyata usaha irmas berhasil, tak sia-sia mereka semua mati.
Cahaya mirip sosok ibu itu menatapi cahaya satunya. Cahaya satunya yang mirip sosok anak perempuan memandang ibunya dengan bahagia, kemudian ia mengeluarkan api raksasa dari mulutnya yang kemudian membakar habis cahaya mirip sosok ibunya, yang berteriak keras dan mengerikan.
"HEHEHHEKHEKHEHEHEH!!!"
Cahaya mirip sosok anak perempuan itu tertawa puas, telah membalaskan dendamnya selama hidup di dunia dulu.
***
Hari Ketujuh Sekolah
Hari ini akan diadakan satu lomba dalam rangka memperingati Idul Adha. Lomba tersebut adalah kaligrafi.
07.30
Lomba kaligrafi segera dimulai. Para peserta lomba bersiap diri. Ada yang membawa kanvas, cat, kuas, membawa krayon, pensi warna, alat tulis, dan lain-lain.
Seorang perempuan membawa kanvas dan sebuah wadah yang berisi cairan kental berwarna merah. Ia duduk di antara peserta-peserta lainnya. Cairan itu berbau amis. Jadi sebenarnya cairan merah kental itu adalah darah segar.
Ia mulai mencelupkan kuasnya dan menorehkannya pada kanvas putih. Garis merah pun terbentuk. Lalu ia melanjutkan melukis sampai menghasilkan bentuk kaligrafi yang amat menakjubkan. Para peserta yang lain melihatnya dengan melongo menunjukkan rasa takjub. Ia adalah Fina, peserta dari XII MIPA 1. Fina mengayunkan kuasnya dengan congkak dan angkuh.
Karena merasa iri, peserta yang lain pun mencoba meniru gaya Fina. Tapi, mereka tak memiliki cairan merah kental seperti punya Fina. Tidak, mereka memiliknya. Beberapa dari mereka mulai mengambil benda yang agak tajam, misalnya batang kuas, penggaris besi, atau kayu tajam, kemudian menancapkan pada salah satu bagian tubuh mereka, menampung cairan yang mengalir, dan kemudian memulai melukis. Sementara yang lainnya karena tak memiliki benda tajam, mereka mulai menggaruk-garuk pergelangan tangan mereka, sehingga kulit mereka memerah, lecet, darah menetes, dan akhirnya memancar. Mereka pun mengambil "cat" mereka dan memulai melukis kaligrafi.
Wah! Hasil lukisan mereka semua tak kalah bagus dari punya Fina. Merah, mencolok, indah, dan menarik.
Mereka pun melanjutkan melukis, terus, diulang-ulang sampai tebal dan pas bentuknya sehingga menarik dan estetis. Lanjut terus, hingga kulit mereka menjadi pucat, tubuh-tubuh mereka terkulai lemas, tak bisa dikendalikan, dan akhirnya tersungkur di atas tanah. Darah dari pergelangan tangan ataupun bagian tubuh mereka yang lain mengalir membanjiri tanah berpaving.
***
Lomba kaligrafi telah selesai. Karya milik juara 1 pun diletakkan di depan musala yang telah dibersihkan. Kaligrafi itu adalah karya milik Fina, sebagai satu-satunya peserta yang masih hidup. Karya itu sangatlah indah. Warna merah yang mencolok dan menarik mata siapapun yang lewat. Tak dapat dipungkiri lagi, memang itulah karya yang berhak menjadi juara 1.
***
S.P. Kuntum
Setelah pulang sekolah.
Aku melewati musala dan melihat sebuah karya yang bertulis kaligrafi dipajang di depan musala. Sungguh terkejut bukan main diriku, sebab yang kulihat bukanlah sebuah kaligrafi, melainkan sebuah lukisan seseorang yang memegangi pelipisnya, sambil berteriak. Berteriak dan menunjukkan wajahnya yang mengerikan. Aku bergidik ngeri dan bergegas menuju tempat parkir motor.
***
S.P. Bu Rina
16.47
Aku meronta-ronta mencoba melepaskan tali yang mengikatku di atas brankar ini. Ia mengikat leherku, kedua tanganku, badanku, dan kedua kakiku. Ia juga mengikat kuat mulutku dengan kain.
Ia adalah Miftah, berdiri di belakang pintu lab biologi membelakangi diriku. Tangan kanannya memegangi sebuah jangka besar yang biasa digunakan pada papan tulis. Sementara tangan kirinya memegangi kertas-kertas. Aku yakin itu adalah kertas ulangan, yang telah kubagikan hari Senin kemarin.
"Apa yang dia inginkan?" pikirku dengan cemas.
Pikiranku menjadi tak karuan. Aku sangat ketakutan saat ini, menghadapi muridku yang menyeringai kejam dan kini melangkah menuju ke arahku.
"Bu Rinaa~" sapanya santai dan kejam.
"Apa maumu, dasar murid kurang ajar!" batinku.
"Hei? Apa Bu Rina tahu? Apa ini?"
Ia menunjukkan kertas ulangan itu.
Lalu ia mulai membacakannya satu per satu.
"Fina 42. Cih."
Ia melempar sembarangan kertas itu.
"Alifa 36."
"Alya 40."
Ia melemparnya lagi.
"Atun 42."
"Fitri* 38."
(*atau Emak)
"Dina 56."
"Kuntum 56."
"Miftah 62."
Lalu secara cepat membaca,
"Intan 60, Ryan 68, FARDHAN 71...."
"Huhhh...."
Ia menghembuskan napas.
"Apa Bu Rina tahu maksud dari itu?"
Kalau tentang nilai-nilai yang jelek, itu hanyalah nilai, bukan nilai yang sebenarnya. Saya sudah memperhatikan satu per satu murid dan itulah nilai kalian. Kau, kaulah Miftah, dengan nilai tertinggi!
Jleeeppp!
Sebuah jarum jangka yang besar dan tajam menusuk pahaku. Rasanya sakit sekali. Darah pun keluar dan mengalir, membasahi rok yang kupakai.
"Aaaaaaahh!"
Aku merintih kesakitan.
"Kalau... Kalau saja kau membuka kain pada mulut ini! Kau pasti akan mengerti!!!"
"Fina, Alifa, Alya, Atun, dan Emak berusaha sebaik mungkin dengan belajar sungguh-sungguh malam sebelumnya. Dan, apa ini? Mereka mendapat nilai segitu?
Ah biarlah, Bu Rina memang tidak pernah tahu kalau mereka berjuang keras."
"Tidak!! Salah! Saya tahu kalau mereka belajar dan berusaha untuk tidak mencontek!"
"Dan lihatlah ini.... Hmmm...."
Ia mengambil kertas ulangan milik Fardhan.
"Fardhan, 71."
"Heh heh... Hehe... Hehe heh... Hehehehehehehehehe HEHEHEHE HAHAHAHAHH!!!!"
"Bu Rina. Ini tidak dapat mebuatku berhenti tertawa."
Tatapannya kembali serius.
"Bu Rina, Fardhan yang membuka buku terus saat ulangan, dan Ibu seharusnya sudah tahu itu, ia mendapatkan nilai 71, sungguh lucu."
"Tidaakk!! Itu hanyalah nilai! Itu tidak menunjukkan bagaimana diri kalian itu! Tidak! Berhenti! Percayalah pada Ibu! Ibu tidak-"
Jllleeebbbb!!!
"Aaaaaakkkkk!!!"
"Cukup sudah. Aku tidak bisa menahan diriku sejak tadi."
"Selamat datang, Bu. Dan selamat tinggal...."
Jleeeebb!!
Ia menusuk mata kiriku. Lalu mencabutnya.
"Ah tidaak!! Itu rasanya sakit sekalii!!!"
Aku gemetaran ketakutan.
Ia melempar mataku, lalu menusuk mataku yang satunya, dan mencabutnya, lalu dilempar begitu saja.
"Aaaa sialannn!!! Rasanya sakit sekaliiii!!! Apa kau tidak tahu, murid goblok!!!"
Aku menjadi tak dapat melihat apapun. Tapi aku merasa ia mulai mengayunkan jangka, dan memulai menusukiku secara berulang-ulang.
Jleeebb!!!
Mulai dari pipi,
Jlleeebbb!!
dada,
Jlleeeeebbbbb!!!!!
perut,
Jlebb!!
lengan atas,
Jlleeebbbb!!!
lengan bawah,
Jleb!
telapak tangan,
Jleeeeppp!
paha,
Jleeeb!!
betis,
Jleeebbb!!
Ia memuntir-muntir jangka itu dan menariknya dengan paksa.
Rasanya sakit, darahku tak berhenti keluar dan menetes ke lantai.
"Ah... Sakit sekali... Sialan...!"
"Sungguh murid biadab!"
"Tidak... Tidak tidak...."
Jleebb!!!
"Ahh ah hah hah...."
Aku mulai merasa pusing dan badanku menjadi dingin. Aku kehabisan darah.
"Hah hah...."
"Oh tidak."
Miftah tak henti-hentinya menusuki tubuhku secara berulang-ulang.
"Tidak... Tidak... Hentikan... Hentikan...
HENTIKAN DASAR MURID SETAN!"
Namun Miftah masih melanjutkan kegiatannya.
"Sialan... Selamat tinggal dunia...."
Aku tak dapat menahannya lagi.
"Dasar penipu kau, A-...."
***
S.P. Penulis
Miftah memandangi gurunya yang telah ia siksa. Bu Rina bernapas dengan tersengal-sengal. Badan beliau gemetaran. Beliau amat ketakutan dan syok. Hingga akhirnya tak bergerak lagi. Bu Rina telah mati. Darah-darah yang mengalir menuju lantai lab biologi, darah yang menempel pada jarum jangka, dan darah yang terciprat mengenai pakaian Bu Rina dan pakaian Miftah. Miftah hanya mengamati sebentar, lalu bergegas pergi membawa jangkanya untuk kemudian dibuang ke tempat yang aman.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top