Penyimpangan-Akhir

Setelah dua jam lebih berada di bumi perkemahan, kesepuluh siswa XII MIPA 1 memutuskan untuk kembali ke sekolah mereka. Sebab, mereka khawatir apa yang akan terjadi setelah sarang parasit itu dimusnahkan. Perjalanan mencekam itu ditemani oleh awan mendung yang sangat gelap.

Setelah perjalanan yang melelahkan, akhirnya mereka pun sampai di Saba. Tempat itu tampak sepi dan gelap. Setelah memarkirkan motor, mereka menuju ke lapangan sepak bola. Sungguh terkejutlah mereka karena tempat itu kini penuh akan kuburan.

"Ini karena ulah kita...?" Intan menjadi ngeri.

Mereka mencoba untuk berkeliling. Lingkungan Saba menjadi hening sekali, menandakan tak ada seorang pun di sana. Musala, kosong. Kantor guru, kosong. Kelas-kelas, kosong. Mereka pun menutuskan untuk menuju ke lantai dua. Tempat tujuan pertama mereka adalah ruang serbaguna yang luas-beberapa hari lalu digunakan untuk bunuh-membunuh. Emak dan Ryan meneguk ludah mereka. Pilihan pertama itu adalah pilihan yang sangat tepat.

Setelah sampai di depan pintu, mereka bersepuluh terperanjat tak percaya melihat pemandangan di dalamnya. Seluruh warga Saba yang tersisa melakukan gantung diri massal di sana. Plafon-plafon ruang serbaguna penuh dengan ikatan tali. Ruang serbaguna kini berubah menjadi ruang memajang mayat gantungan. Kesepuluh siswa menjadi takut, sedih, bingung, maupun ngeri. Mereka bersepuluh pun bergegas berlari ke lantai satu, dan kemudian menuju ke kelas mereka.

Kelas mereka tak berubah. Mayat Pak Gatot masih tergeletak di sana. Begitu pula dengan tulisan 1 JAM = 2 HARI. Mereka mencoba menerka-nerka apa maksud tulisan itu.

Alifa menggoreskan ujung jarinya ke arah tulisan darah. Ia kemudian terkejut, lalu mengambil air dan menyemprotkannya ke arah papan tulis. Tulisan itu tetap, namun di bawahnya muncul tulisan lain yang lebih kecil.

"Semuanya, lihat ini!"

ini bukan dunia kalian

"Apa maksudnya?" tanya Kuntum.

"Jadi dunia ini bukan dunia kita yang asli?" Alya bertanya-tanya.

"Lalu bagaimana dengan Leli dan dengan teman-teman yang lain? Apa mereka berada di dunia yang asli?" tanya Intan.

"Menurutku, mungkin dua-duanya adalah dunia palsu. Dunia ini, maupun dunia itu," kata Atun.

Ryan berujar, "Lalu maksud dari tulisan itu.... Sejak dari kegiatan kemah kita sudah di sini selama 14 hari. Itu berarti ... di sana sudah 24x2x14= 672 hari.... Hampir dua tahun!"

Tetapi, Atun menyalahkannya. "Aku pikir kau salah. Lihat ini." Atun menunjukkan kalender. Hari itu adalah tanggal XX (19 hari setelah kegiatan kemah).

"Apa maksudnya?" tanya Fina.

"Maksudnya yaitu sudah lima hari sejak kita meninggalkan Saba menuju bumi perkemahan," jawab Fardhan yang mulai paham.

Tiba-tiba Dina berseru, "Teman-teman! Lihatlah! Ini adalah jam 9 pagi! Ini sudah pagi! Padahal tadi di bumi perkemahan masih malam!"
Teman-temannya pun baru menyadarinya dan kemudian tercengang.

"Jadi itu benar. Berarti di kiri adalah waktu pada dunia teman-teman kita yang lain dan di kanan adalah waktu pada dunia ini," ujar Atun.

"Jadi maksudnya 2,5 jam selama kita di bumi perkemahan menjadi 5 hari di sini? Heh-he he he he...."
Ryan meremas kepalanya yang menjadi terasa sakit.

"Jadi setelah 19 hari di sini berarti 9,5 jam berlalu di sana," ujar Fardhan.

"Masalahnya mulai kapan- Mulai jam berapa dunia di sana itu dimulai?" tanya Atun.

Tiba-tiba....

Ngiiiiiiiiiiiiiiiiingggggggg-!

suara bising sirene muncul dari speaker. Suara itu menggema ke penjuru Saba, kelas XII MIPA 1, bahkan memenuhi kepala kesepuluh murid.

Temna-tmean kalina sudha MATI
Guur klaian sduah MATI
SUDAH MATI
SEMUA ORANG SUDAH MATI
SEKOLAH INI SUDAH MATI
MATI
MATI
MATI

Bbbrrrttttt-!

Maaf, Fina!
Maaf, Alifa!
Maaf, Alya!
Maaf, Dina!
Maaf, Ryan!
Maaf, Emak!
Maaf, Intan!
Maaf, Kuntum!
Maaf, Atun!
Maaf, Fardhan!

Suara teman-teman tercinta mereka. Teman-teman itu telah sekarat, sedang di ambang kematian.

MAAFKAN KAMI-!

...

Kesepuluh siswa menatap speaker kelas dengan tatapan kosong.

"Kemarilah...."

Seorang anak perempuan kecil memanggil mereka. Ia berlari. Rambut hitamnya terurai. Baju putihnya melambai.

Kesepuluh siswa itu pun mengikutinya dengan berjalan gontai. Lorong sekolah dan jalanan-jalanan menjadi gelap gulita. Mereka terus mengikuti jejak anak itu yang kini sosoknya telah menghilang. Hingga, mereka sampai di depan sebuah tangga. Mereka pun menaikinya. Kini mereka berada di atap gedung tertinggi sekolah itu. Mereka bersepuluh saling bergandengan tangan. Fina, Alifa, Alya, Dina, Ryan, Emak, Intan, Kuntum, Atun, dan Fardhan.

"Jadi inilah akhirnya," kata Fardhan dengan tegar sambil menghirup udara segar.

Braaakkkkk-!

Kesepuluh murid itu terjatuh ke tanah. Tubuh mereka hancur. Darah memenuhi tanah tempat mereka tergeletak.

~

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Terdengar lagu yang dinyanyikan, keluar dari speaker-speaker yang terdapat di Saba.

Terima kasihku kuucapkan

Pada guruku yang tulus

Ilmu yang berguna selalu dilimpahkan

Untuk bekalku nanti

Setiap hariku dibimbingnya

Agar tumbuhlah bakatku

Kan kuingat selalu nasihat guruku

Terima kasihku ucapkan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top