9. Interaksi Batin

harusnya itu lagu pas buat bab 8, tapi tak apa mereka masih di dalam kereta juga
😚😚

maaf updatenya lama 😚

Note :

Sebelum masuk ke ceritanya, aku pengin cuap2 bentar. Ada yg bilang ceritaku ini mirip sama lapaknya si A. Miripnya dari mana, ya? Dari segi cerita kurasa jauh berbeda.
😚😅

Aku memang bukan jebolan sastra, tapi menikmati proses belajar tentangnya.

Setahu aku, ada 2 teknik bercerita tentang roman fiksi sejarah (classic romance) yaitu roman sejarah yg settingnya murni waktu di masa lalu dan roman konvensional setting waktunya terbagi 2 yaitu masa lalu dan masa sekarang. Ini bisa tanya pakdhe google, kok.

Untuk cerita ini aku pakai teknik bercerita roman konvensional dimana ada keterkaitan pada masa lalu dan masa sekarang.

Kalau ada kemiripan itu karena pakai teknik bercerita yg sama, untuk ceritanya sudah pasti beda.

Tak apa2, kalau di cerita ini ada yg melenceng kasih kabar aja. Aku senang saran dan kritik selama penyampaiannya sopan dan ada dasar yg kuat.

😊😊😊

Terengkyu ...

💋💋💋

====

Demak. 1791

Dari arah selatan jalanan terdengar derap belasan pasukan berkuda menuju pendapa. Gemuruhnya menderu membelah jalan masuk tanpa berniat mengurangi kecepatannya. Beberapa orang yang tengah berkumpul di pendapa menghambur keluar hendak melongok asal muasal sumber suara, sebagian lainnya nampak mengusap keris yang tersemat di pinggang. Berjaga-jaga apabila pasukan itu bukan berasal dari kadipaten. Aksi Kumpeni yang mengincar daerah-daerah pesisir seperti Demak, membuat kami mesti senantiasa waspada bila suatu saat pasukan mereka juga bertamu ke kediaman Arya Prawoto.

Semula aku yang duduk bersila tengah berunding dengan beberapa pekerja perihal perkembangan perkebunan jati, ikut menghambur bersama ayahanda. Berselang kemudian ayahanda menghembuskan napas lega, begitu pula denganku. Rupanya derap pasukan berkuda tadi merupakan rombongan paman Wikromo Timoer dari Jepara. Ayahanda menyambut kedatangan sahabatnya itu dengan gembira serta mempersilakan rombongannya memasuki pendapa.

Beliau mengisyaratkan para pekerja perkebunan jati agar kembali bekerja sebab perundingan telah dirasa usai.

"Kau terlihat makin dewasa, Kumara," sapa paman Wikromo Timoer sambil meletakkan kedua tangannya di pundakku.

"Karena waktu berjalan maju, Paman. Termasuk peningkatan usia memengaruhi pula terhadap penampilan seseorang," ucapku seraya menyilangkan satu tangan di dada sebagai tanda penghormatan.

"Kau benar. Aku ingin berbincang dengan ayahmu mengenai kerjasama komoditi perniagaan yang akan dikirim lewat pelabuhan Jepara. Mana Wira? Lama tidak kulihat perawakan anak itu," tanya paman Wikromo Timoer mengedarkan pandang.

"Wira sedang ke kadipaten, Paman. Ada sedikit urusan pemerintahan yang perlu melibatkan dirinya. Sekarang Wira menggeluti dunia kemiliteran. Dia lebih tertarik bergabung dengan pasukan kadipaten daripada mengurus perkebunan," jawabku.

"Jadi kau lebih tertarik pada urusan perkebunan dan perniagaan, Kumara?"

Aku mengangguk. "Iya, Paman." 

Paman Wikromo mengikuti langkah ayahanda menuju pendapa, aku pun demikian. Namun suara derap kuda tunggal mencegah aku mengikuti langkah ayahanda dan paman lebih jauh. Saat kepalaku tertoleh, aku mendesah lega. Orang kepercayaan yang aku kirim untuk mengintai keganjilan dari sikap ayah Gayatri kala itu, sudah tiba di pelataran pendapa.

"Ada kabar apa, Paman?" tanyaku sesudah memisahkan diri dari ayahanda dan paman Wikromo.

Penunggang kuda itu pun turun lantas setengah membungkuk sambil menyilangkan tangan kanannya di dada begitu menghadapkan badannya padaku. 

"Ampun, Den. Saya sudah mencari informasi tentang Ki Gandrung. Seorang cadhong terpercaya, pedagang di pasar langganan keraton, hingga pujangga keraton tak luput dari penelusuran saya. Catatan Ki Gandrung bersih," ucap paman Jarot, kaki tangan kepercayaan keluarga kami.

Kepalaku manggut-manggut. Aku mencium sesuatu yang ganjil pada diri Ki Gandrung semenjak dia menyeret Gayatri dari jangkauanku di pasar Sala kala itu. Beragam konspirasi yang mengguncang keraton Mataram karena sikap Susuhunan berseberangan dengan pihak VOC, berakibat beberapa pejabat keraton lama dipecat dari posisinya. Kukira ayah Gayatri punya andil terselubung mengingat sikap yang ditunjukkan kepadaku sama sekali jauh dari kata hangat. Napasku terhela lega mendengar penuturan paman Jarot bahwa Ki Gandrung tidak terlibat permainan para Kumpeni.

"Tapi Den..." lanjut paman Jarot membuat pandanganku terpusat penuh menusuk netranya. "Ki Gandrung adalah bekas orang kepercayaan dari salah satu pejabat keraton yang telah dicopot dari jabatannya. Saya masih mencari kebenaran berita itu, Den. Menurut hemat saya, peran Ki Gandrung seandainya memang terbukti masih menjalin kabar dengan bekas pejabat keraton itu, bukan tidak mungkin dia memanfaatkan Gayatri untuk ikut andil mengorek informasi dari Susuhunan untuk diberikan pada Kumpeni."

Kedua tanganku terkepal seraya mengetatkan rahang. "Baiklah, Paman. Lanjutkan pengembaraanmu untuk mendapat kabar yang tepat. Gelisahku tak terbendung barang sehari saja tidak menjumpa dengan gadisku. Pasti ada cara, Paman.

"Aku bersikukuh meniadakan perjodohan tidak masuk akal itu. Katakan aku tak gentar menggugat keinginan Kanjeng Ratu Kidul sebab beliau merasuki tubuh Gayatri saat dia menari di depan raja Mataram. Aku percaya Gusti Pengeran sennatiasa bersamaku. Aku akan rengkuh kembali dirinya meskipun tidak ada persetujuan dari ayahnya."

Paman Jarot mengangguk, memandangku seolah ikut setuju dengan ucapanku.

"Apakah ada balasan surat yang aku kirim untuk Gayatri, Paman? Adakah jawaban?"

"Ampun, Den. Sudah saya sampaikan pesan Den Kumara, namun saya tidak mendapati tanda-tanda suratnya berbalas. Sepertinya pihak keraton menyeleksi betul perihal hal-hal dari luar pagar keraton yang berniat masuk ke wilayahnya."

"Begitu, ya. Terima kasih, Paman."

Paman Jarot setengah membungkuk kemudian membalik badan. Dia memapah kudanya lantas mengikatnya di pohon randu yang berdiri gagah di sudut pekarangan.

*

Oh, bulan yang tertutup separuh reranting pohon kelumpang tertinggi

Adakah tersampaikan pesan rindu yang berpintal di sudut-sudut rasa

Kau pasti dengar, Gayatri

Masing-masing kita sama merasa

Pasti suatu hari, waktu akan menyelamatkan belenggu yang memaku kalbu

***

Yogyakarta - Surakarta. 2017

Dia terlihat gugup saat aku berjalan ke arahnya. Wajahnya putih memucat sementara aku mengabaikan dentuman bergemuruh di dalam dada. Aku hanya memastikan benarkah gadis itu adalah Diajeng, sosok yang berulang kali mendominasi alam bawah sadarku.

Ah, aku saja yang terlalu berkhayal berharap bunga tidurku berubah nyata. Bila saja itu fana, untuk apa gadis di seberang sana bereaksi kebingungan. Wajar, sih. Jika kamu seorang perempuan, bagaimana ekspresimu saat seorang laki-laki tak dikenal berjalan mendekat ke arahmu? Pasti menimbulkan bermacam  prasangka, bukan.

"Hai," sapaku ketika kakiku berhenti satu jengkal dari tempat dia berdiri.

Suasana kereta yang sesak memungkinkan masing-masing manusia yang berdiri tanpa tempat duduk saling bersinggungan. Tak terkecuali diriku, seandainya kereta mengerem mendadak bisa jadi sedetik kemudian aku menubruk tubuh si gadis. Kecuali bila dia memiliki pertahanan keseimbangan diri yang kuat.

"Hai," balas gadis itu mengernyit bingung.

Pandanganku menyapu setiap inci dirinya. Rambut gadis itu, masih kurasa tangan ini pernah membelai hingga ujungnya. Aroma serupa kenanga pun tercium samar menggelitik bulu hidungku. Segera tatapanku jatuh mendalami manik cokelatnya, mengantarkan aku pada dimensi tak terdeteksi. Sengatan semula hanya berupa percikan mendadak bertransformasi menjadi arus listrik bertegangan tinggi.

"Wajahmu tidak asing," ucap gadis itu menyentak lamunanku.

Senyumku terbit. "Sungguh?"

Dia mengangguk seraya mengibaskan rambutnya yang selegam jelaga.

"Kamu mau ke mana?" tanyaku menggeser kaki supaya bisa lebih dekat. Dapat kulihat pancaran bermacam tanya dari bola mata dia yang bersinar terang.

"Mengunjungi nenekku," jawabnya berpaling muka ke arah petugas yang tengah melakukan pemeriksaan tiket.

Sesudah kuserahkan tiket pada petugas begitu pula dengan gadis ini, kembali mataku tertuju di wajah manisnya. Masih tak percaya dengan kehadirannya sampai tak terasa bila kereta sejak tadi sudah bergerak meninggalkan langsiran yang tertunda.

Kuulurkan tangan padanya. Dia mengerling sedikit nampak waspada. "Namaku Aksara Kaliandra. Kamu bebas memanggilku apa saja. Namamu?"

Bola mata cokelat terangnya membesar dengan mulut sedikit ternganga.

"Dia. Diajeng Nirwasita," ujarnya lirih sambil menyambut uluran tanganku, namun masih tertangkap oleh indera pendengaranku.

"Kamu nyata, Diajeng." Tanganku terulur mengarah pada pipi mulusnya. Punggung jariku bermain di sana tanpa penolakan darinya.

"Maksudnya?"

"Aku senang kamu beneran ada," bisikku di telinga kanannya.

Bunyi decitan rel kereta api menyadarkan aku bahwa kereta telah sampai di pemberhentian stasiun berikutnya. Suara operator stasiun menggema di tengah riuhnya suasana stasiun yang sibuk di akhir pekan.

Diajeng membetulkan letak satu tali tas ranselnya yang merangkak turun mencapai lengan. Biasanya kalau pulang ke Solo aku pun turun di stasiun yang sama dengan Diajeng, tapi berhubung ada sedikit urusan di daerah Sragen mengharuskan stasiun Balapan menjadi tempat pemberhentian akhirku.

Belum sempat diriku menyusun teka-teki yang selama ini tersimpan di pikiranku, rupanya keadaan kembali memelintir pertemuan singkatku dengan sang dewi mimpi.

"Bagaimana caranya aku menghubungi kamu?" tanyaku ketika dia akan menurunkan satu kakinya menuruni gerbong kereta.

Diajeng memutar badannya. Senyuman tipis timbul di bibir bersemu oranyenya, mengingatkan aku akan rasa manis yang pernah kucecap dalam mimpi.

"Catat saja nomor kontakku," jawabnya.

Setindak kemudian angin segar serupa udara pohon pinus menelusup perlahan menguasai rongga paru-paruku. Tanganku merogoh ponsel di saku, bergegas merekam deret angka yang dia sebutkan dengan cepat sebelum kereta beranjak melanjutkan perjalanannya.

*

Aku mengenal dirimu tidak sengaja

Ada kekuatan yang meniupkan namamu saat mataku terpejam

Siapakah engkau gerangan?

Pemantik rasa di sela gundah mengelilingi logika

*

part ini pendek.
maaf, ya 😃

*

Yogyakarta, 3 Agustus 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top