8. Kereta Api
Keramaian suasana tidak menghalangi dua pasang mata yang saling bertatap.
Selalu ada celah yang meniadakan sekat.
Ketika Aksara bertemu Diajeng untuk pertama kali...
Dari situ lah kisah yang sebenarnya diawali...
Yogyakarta. 2017
Bilamana sinar surya mampu kupetik keberadaannya
Dapatkah silaunya berkenan menyinari pesona lelaki sketsa tiada tercela
Gerumulan awan menyebar ditiup udara
Menyamarkan bayangan yang kurasa tak lagi fana
Udara sekitarku berputar menyerupai pusaran membungkus ketiadaan mengantarkan bisikan berupa harapan
Di dalam kereta, manusia tak lagi bergerilya
Setiap diri mereka memagut kepentingan yang tersimpan rapi hanya di benak, bergulat dengan pendirian, barangkali memikirkan ketidakseimbangan kehidupan yang nyatanya singgah tak sudah-sudah
Intuisi bermain mencumbu realita tatkala sudut panca inderaku menangkap siluet yang kukenal bermedia sketsa
Terperangah, bahkan degub jantungku sesaat tak terasa
Aksara Kaliandra, namamu?
Tak berkutik, aku hanya bersembunyi dibalik punggung-punggung manusia yang menyekat di antara kami
Sayangnya, matanya menyorot sama, mengikuti gerakan yang aku cipta
Menggagalkan persembunyian diriku berada
Bisakah aku mencabik bayangnya saja kalau tatapan matanya beribu kali lipat membuat aku tersiksa?
===
"Kamu bawa gudeg, ayam bacem, tempe bacem, sama jaddah ini ya, Di. Simbah suka ngemil jaddah sama tempe bacemnya," ujar mama sembari menyiapkan berbagai makanan yang ia sebut tadi ke dalam rantang.
"Iya, Ma. Siapin aja yang perlu Dia bawain buat simbah," sahutku sambil menyisir rambut.
Liburan akhir pekan yang panjang ini aku manfaatkan menyambangi kediaman simbah dari pihak mama di Solo. Kebiasaanku menginap di rumah simbah sejak masa liburan sekolah terbawa hingga aku tidak termasuk kategori pelajar lagi. Bagaimana tidak, masa kecil kuhabiskan di rumah simbah sebelum akhirnya mama dan papa pindah secara permanen di Jogja. Itu sebabnya ikatan emosionalku dengan kota berjulukan 'The Spirit of Java' sangatlah kuat.
Kutitipkan motorku di tempat parkir berseberangan dengan stasiun Lempuyangan yang menyediakan fasilitas menginap. Tiket kereta Prameks yang akan mengantarkan diriku menuju kota Solo sudah di tangan. Menanti kereta tiba, aku memasang headset lantas menyambungkannya dengan ponsel mendengarkan kumpulan lagu kesayangan yang sudah aku setting di sana.
Decit rel terdengar di telinga saat kereta hampir berhenti di jalur yang tersedia. Diriku bersiap berdesakan menjejali celah yang tersisa antara kerumunan manusia. Konsekuensi telah aku terima mengingat keberangkatanku mengambil waktu ketika siang menjelang sore. Ini hari Sabtu, banyak orang mengambil waktu bepergian ketika matahari benar-benar menunjukkan keperkasaannya di puncak siang. Sudah pasti aku akan berdiri tanpa tempat duduk.
Benar, kan. Keretanya penuh. Berdesakan, aku mencoba menelusuri per gerbong barangkali ada tempat yang masih kosong. Nihil. Alhasil, aku berdiri menyenderkan punggung di tiang dekat pintu. Sabarlah, perjalanan hanya terhitung satu jam. Berdiri selama itu bagiku tak mengapa.
Mas Dhanu : Kamu jadi ke Solo, Di? Pasti asyik, ya. Kapan-kapan ajak aku tamasya ke sana, ya?
Aku : Jadi, Mas. Itu deket, loh. Mas Dhanu bisa ke sana sendiri tanpa aku dampingi.
Mas Dhanu : Tapi rasanya beda, Di. Tamasya sendiri nggak asyik kalau nggak ajak kamu. 😉
Senyumku menyungging membaca pesan dari Mas Dhanu. Lelaki ini, Kamandhanu Ariasatya, sejak mengutarakan perasaannya waktu itu berkali-kali aku abaikan. Tapi dia tak gentar malah semakin gencar mendamba. Bukannya aku tidak suka, ada perasaan tak kasat mata mengindikasikan keterkaitan teramat kuat kepada seorang lelaki yang masih menjadi misteri. Lelaki yang mendadak membuat aku mahir menggambar sketsa dirinya. Aneh, kan. Aku pun tidak tahu identitas lelaki itu, tapi jiwaku selalu mengarah kepadanya.
Seketika kereta berhenti. Kutengok ke luar melalui pintu kereta yang berkaca. 'Stasiun Brambanan'. Biasa terjadi, berhentinya kereta adalah menunggu giliran kereta lain yang akan lewat berpapasan. Ini bakalan lama dan kakiku mulai membeku ngilu karena berdiri.
Mataku mengedar sekeliling, mengamati tingkah para penumpang yang asyik dengan kesibukannya sendiri.
Deg! Mataku menangkap sosok lelaki yang juga berdiri menyender di samping pintu tak jauh dari tempatku berdiri. Lelaki itu mirip sekali dengan sketsaku. Hidungnya mancung, mengenakan jins lusuh dan kaos oblong warna hitam, rambutnya berantakan menjatuhi dahi, ada tindikan di telinga kirinya. Jauh dari rapi, tapi sayangnya aku malah tertarik dengan penampilannya itu. Tampan.
"Apakah dia lelaki sketsa yang sering aku gores wujudnya pada secarik kertas?" gumamku lantas menggigit bibir bawahku.
Ludahku terteguk tanpa sadar. Seluruh syaraf tubuhku mati rasa saat lelaki itu memergoki tatapanku. Dia terlihat sama terkejut seperti aku. Entah berapa lama kedua mata kami menumbuk. Ada banyak hal yang berkecamuk di pikiranku. Desiran ini tiada berhenti, semakin menguat seolah hendak mengupas memori tersembunyi.
Oh, tidak. Lelaki itu tersenyum kemudian melangkah menujuku. Duh, Gusti. Bagaimana ini?
***
Keraton Mataram. 1791
Bapak menyeret lenganku dengan paksa. Kenapa engkau diam saja, Kumara? Kau bilang akan mengikis jarak di antara kita tapi kenapa engkau tidak bergerak mencegahku. Bukankah sudah kubilang padamu, Kumara. Aku sudah mempercayakan diriku padamu kau harusnya paham itu.
"Bapak..." tangisku saat kami sudah tiba di rumah.
Bapak mendudukkan aku di amben. Mengunci pintu rumah kami rapat-rapat.
"Kau itu bakal dipersunting Sinuhun, Gayatri. Apa kau mau cari mati dengan berkasih-kasih sama pemuda itu?" bentak bapak.
"Tapi dalem tidak menghendakinya, Bapak. Dalem hanya mencintai Kumara."
"Kau mau menginjak-injak harga diri keluarga kita, hah?"
Aku mengaduh ketika tangan bapak menarik rambut panjangku. Sementara aliran air mata ini enggan berhenti. Ampuni hambamu, Gusti.
"Mulai hari ini kamu tidak boleh keluar keraton tanpa pengawalan. Tutup semua aksesmu untuk berhubungan dengan pemuda itu," seru bapak seraya melepaskan rambutku hingga badanku tersungkur di atas amben.
Aku sesenggukan mengetahui nasibku sudah digariskan. Menjadi selir sama sekali bukan impianku. Nantinya aku hanya menjadi wanita pelampiasan di saat raja sudah bosan dengan istrinya. Siapa yang mau dengan nasib wanita seperti itu.
Pintu dibanting bapak cukup keras saat beliau keluar rumah. Kumara, kalau engkau enggan bergerak maka aku yang akan bertindak. Tak peduli bagaimana cara mewujudkannya, namun aku akan mengembalikan tujuan kita semula yaitu bersama.
***
Yogyakarta. 2017
Di kursi tunggu yang tersedia di peron, aku menyesap rokok yang merupakan candu utamaku. Menanti kereta api lokal sebagai moda transportasi andalan kala menyambangi kampung kelahiranku. Ah, sebenarnya bukan itu tujuan utamaku. Aku mau mencari benang merah antara mimpi gadisku dengan manuskrip di museum itu. Naluriku berbisik mimpi itu berawal dari manuskrip kuno itu. Ya, gadisku. Sudah aku klaim dia menjadi gadisku.
Dulu aku pernah tergila-gila sama Pingkan. Perempuan terpaut lebih muda empat tahun usianya dariku itu sempat bikin diriku hampir kehilangan kendali. Warna mata hitam jelaganya benar-benar membutakan pandanganku. Pernah aku merasakan ranum bibir miliknya sebab aku lihai mencuri kesempatan sampai Pinkan mendiamkanku selama tiga hari, namun sama sekali tak menimbulkan kesan.
Tapi gadis bunga tidurku ini berbeda. Energinya sangat kuat menarik sisi magnetku sebagai seorang pria. Bahkan kebersamaan dengannya tadi malam masih jelas kuingat.
"Aksara, kamu janji nggak ninggalin aku, kan?" Diajeng bertanya dalam rengkuhanku sambil memainkan telunjuknya didadaku.
"Iya, Sayangku. Kenapa kamu mikir gitu terus, sih?" Aku menarik dagunya menengadahkan wajahnya untuk mempertemukan mata kami.
Diajeng mengerutkan dahi. Sekonyong-konyong tengkukku dia tarik sehingga aku tersentak. Kini tidak hanya mata kami yang saling bertemu, namun kening dan hidung kami turut bergesekan. Aroma kenanga milik tubuh Diajeng menyeruak sempurna menusuk indera penciumanku.
"Karena aku nggak mau kehilangan kamu," bisiknya kemudian menaruh bibirnya di pipiku.
Informasi yang tersiar dari pengeras suara membuyarkan anganku. Keretaku tiba. Ramainya penumpang saat libur panjang akhir pekan sangat mudah dibaca. Bertepatan panas matahari sedang ganas-ganasnya tak mempengaruhi para manusia meramaikan isi kereta.
Aku mendapat tempat strategis di dekat pintu. Memudahkan aku mengamati situasi di dalam kereta maupun pemandangan yang dilewati nanti. Kebiasaanku menikmati perjalanan adalah memasang headset di kedua telinga.
Oh, keretanya berhenti di Stasiun Brambanan. Sepertinya menunggu antrean kereta lain yang akan lewat. Ini cukup lama. Kujelajahi situasi sesaknya gerbong. Sepasang muda mudi yang asyik bercengkerama, seorang pria tua berkacamata tengah terkantuk-kantuk di kursinya, seorang ibu paruh baya mendadak gaul dengan smartphone edisi terbaru, dan seorang gadis yang berparas ayu rambutnya digerai terperangah melihatku. Tubuhnya yang semula menyender langsung menegak begitu mata kami beradu.
Gadis yang rajin menjumpaiku di alam mimpi sungguhan tertangkap sosoknya dari pelupuk mata ini. Dia terlihat terperanjat sama sepertiku. Aku yakin dia gadisku.
"Kamu nggak akan kehilangan aku, Diajeng. Percayalah," ucapku sambil membelai rambutnya.
Diajeng memperdalam bibirnya menyuruk di pipiku. Kurasakan dia tersenyum dalam kecupan itu.
Sekelebat cuplikan mimpiku tadi malam kembali menyapa. Aku semakin yakin gadis itu adalah gadis yang selama ini mengacaukan pikiranku. Mengatur irama detak jantungku yang bertalu tiada menentu. Rileks, senyumku mulai terukir. Memantapkan hati aku akan menjemput gadisku. Akan kubelah sesaknya penumpang ini untuk mengarah padamu.
=
Aku sudah mencintaimu sebelum aku bertemu denganmu
Meski terjadi sebab semesta mempermainkan ilusi
Menerjemahkan manuskrip bukan keahlianku
Sialnya, manuskrip itu malah lancang menerjemahkan diriku!
Niat menjadikanmu nyata telah terlaksana, Diajeng Nirwasita
Betapa rindu merajai kepala mengantarkan aku mencapai puncak asmara
Manis hangat rasa bibirmu masih melekat tak lekang waktu
Lihatlah bagaimana mata kita beradu
Kau rasa pula gemuruh dadaku, Diajeng?
Brambanan, tempat kereta berhenti menunggu langsiran
Siapkah engkau aku rengkuh dalam pelukan?
---------------------
Gimana kesan pertemuan Aksara dan Diajeng pertama kalinya?
Kurang manis kah? Kabarin aja yaa...
😊
Temukan manis-manis ala Aksara pada part selanjutnya...
😄
Yogyakarta, 19 Juli 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top