7. Mimpi Berulang

Keraton Mataram. 1791

Sengaja kurapatkan tubuh Gayatri dalam pelukan ketika seorang pria hampir usia paruh baya mengacungkan kerisnya tak jauh dari tempat kami berdiri. Matanya melotot tajam, bisa saja saat itu matanya keluar dari cangkangnya. Tubuh Gayatri bergetar.

"Bapak," gumam Gayatri. Air matanya terasa basah menembus bajuku.

"Lepaskan anakku," geram Ki Gandring, ayah Gayatri sambil meninggikan acungan kerisnya.

"Tenang, Ki Gandring. Turunkan dulu keris panjenengan," kataku berusaha setenang mungkin.

"Kau telah meracuni pikiran anakku. Ketaatannya memudar seiring buaian-buaian palsu yang kau kirim padanya. Aku tahu kau kerabat Permaisuri Kencana, ibunda Susuhunan. Tapi tak berarti kau seenaknya mempermainkan anakku!"

Dahiku mengernyit. Ketaatannya memudar? Apa yang Ki Gandring bicarakan?

"Maaf, Ki. Sepertinya ada salah paham. Saya tulus tidak ada secuil niat mempermainkan putri panjenengan."

"Alah. Omong kosong! Kemarikan anakku atau kau akan kutaklukkan dengan keris ini."

"Bapak!" Jerit Gayatri.

Kulirik Gayatri yang bibirnya bergetar. Rengkuhanku kulepas. Gayatri membelalakkan matanya padaku tampak tidak rela. Melepas pelukanku padanya sama saja membiarkan dia kembali direngkuh Ki Gandring, ayahnya. Meskipun sudah seharusnya seorang anak perempuan tunduk di bawah titah sang ayah selama dia belum bersuami, namun hatiku mendidih bila Gayatri diperlakukan ayahnya dengan cara seperti ini.

Paksaan, terlalu menderita memang kaum perempuan di negeri Mataram. Meskipun di bawah kepemimpinan penguasa saat ini perlakuan terhadap kaum perempuan tidak semena-mena seperti penguasa Mataram sebelum-sebelumnya, tetap saja aku tidak merasa kagum dengan cara mereka.

Jadi teringat kisah yang pernah Kanjeng Ibu ceritakan padaku sambil lalu. Tentang gadis-gadis cantik yang bernasib malang saat Susuhunan Amangkurat berkuasa. Kecantikan bukanlah anugerah, tapi lebih pantas disebut malapetaka. Ah, tak penting pula membahas masa yang lewat. Persetan dengan penguasa, yang penting aku harus fokus pada satu titik. Gayatri.

"Sini, Ndhuk. Kau tidak pantas bersanding dengan pemuda itu. Rahimmu telah dipersiapkan untuk melahirkan penerus penguasa Mataram. Kemarilah," bentak Ki Gandring. Kedua tanganku terkepal mendengar kalimatnya.

"Dalem tidak mau, Bapak. Dalem mau Kumara hanya Kumara," isak Gayatri mencengkeram pergelangan tanganku.

"Kau keras kepala!"

Ki Gandrung menghempaskan cekalan tangan mungil itu. Menarik Gayatri yang sesenggukan membawanya pergi dari area pasar Sala.

Ada hawa misterius hinggap di pikiranku. Kemunculan ayah Gayatri, tuduhan aku mempermainkan putrinya, apa ini termasuk politik adu domba yang dilancarkan Kumpeni? Ayah Gayatri, apakah ada hubungan istimewa dengan kaum Kumpeni? Tidak, pikiranku terlalu jauh mengembara. Namun demikian tak ada salahnya aku mencari tahu.

"Jangan pernah ganggu anakku lagi. Kalau kudapati kau mengusiknya, tak segan aku sendiri yang akan menghabisimu dengan tanganku," ancam Ki Gandring.

Tiada tega kulihat kembang mekarku tersiksa. Ia sempat menoleh padaku. Dari jauh dapat kubaca bibirnya menggumamkan namaku. Aku hanya bisa menatap nanar.

Gelegar petir menyeruak tiba-tiba. Seakan alam ikut berduka, ia tumpahkan rintikan hujan sekadar penghapus luka. Luka tak terencana yang beranjak bersemayam menyesakkan rongga dada.

..........

Duhai perasaan tak bernama,

Jikalau engkau berani singgah menggemparkan pegangan keyakinan hatiku yang terlunta

Biasakanlah mengetuk terlebih dahulu sebelum kau renggut tiba-tiba

Setelah aku titipkan sepenuhnya pada seorang gadis dari negeri Mataram

Secercah hasrat bergelung seketika menguar tanpa rencana

Segalanya di luar kuasa, wahai engkau perasaan tak bernama

Kembalikan keindahan yang dulu kau janjikan ketika aku dan gadisku terbentang jarak tiada terukur

Pantaskah kusebut kau penghianat, wahai sang waktu

Segera, aku hendak mencari keadilan padamu sebab telah kau urai kaitan ambisi bersama gadisku yang kurangkai menguatkan mata batin kami

Akan kuraih kembali apapun yang telah kau rampas dariku meski meregang nyawa

Wahai perasaan tak bernama, andai engkau tak bersekongkol bersama sang waktu

Sebenarnya aku percaya engkau

Tenanglah gadisku, kau adalah milikku, rapalkanlah namaku dalam sanubarimu

Maka Gusti Pengeran senantiasa menenangkan setiap keraguan penghalang ikatan kita

--- Untuk Gayatri

***

Surakarta. 2017

Hamparan permadani rumput hijau menyegarkan pemandangan mata. Ribuan bunga kemuning merapati sisa tanah yang tidak ditumbuhi rumput hingga tak bercelah. Tiupan angin sepoi sesekali mempermainkan rambut panjang yang sengaja digerai gadis itu. Jemari lentiknya berkali-kali menyisipkan anakan rambut di belakang telinganya sebab ulah sang angin.

Gadis itu duduk di sampingku dengan menyelonjorkan kakinya. Matanya mengawang ke angkasa memperhatikan barisan burung yang terbang ke utara. Aku takjub pesona senyum gadis ini lebih memabukkan daripada guratan senja. Ikut menengadah, aku juga turut mengamati angkasa. Gemerisik dedaunan pohon gayam yang menjadi payung kami duduk berdempetan, membisikkan merdunya senandung alam.

"Kau belum menceritakan tentang dirimu," ujarku terpukau.

"Apa itu penting, Aksara?" dia mengerlingkan mata.

Aduhai, manisnya. Andai aku tidak ingat dari mana aku berasal, segera kubuat dia kewalahan di bawah naungan pohon gayam ini. Caranya mengucap namaku bikin hatiku bergejolak. Dia bisa tahu namaku, kenapa aku tidak bisa tahu namanya?

"Setidaknya beritahu aku nama kamu," ucapku sambil memainkan rambut panjangnya.

Dia terkikik geli. Tubuhnya makin merapat padaku.

"Coba kau ingat," bisiknya di telingaku. Hangat terpaan napasnya sedikit menggoyahkan pertahananku.

Aku menggeleng.

Bibirnya tercebik. Menggemaskan. Aku tidak tahan buat meraih tengkuknya mendekatkan wajahnya pada wajahku. Saat kening kami menyatu, dia lingkarkan lengan rampingnya di leherku.

"Diajeng Nirwasita. Mereka memanggilku Diajeng," bisiknya lalu dia mengecupkan bibirnya di pipiku.

Dadaku menderu. Rupanya kurasa debar saat kecupannya bergesekan dengan kulitku.

"Diajeng?" ulangku mendekap kepala gadis itu, mengarahkannya untuk bersandar di dadaku.

Diajeng, begitu nama menurut pengakuannya. Dia masih terkikik dalam dekapanku. Jarinya menyentuh dadaku menggelitikinya membuatku mengerang.

Tetesan air meluncur di keningku. Mulanya berupa rintik, namun lama-lama menderas. Hujan.

"Diajeng?" panggilku, kugenggam satu tangannya.

"Hm."

"Berteduh, yuk. Hujan. Nanti kamu sakit."

"Nggak usah. Kenapa hujan selalu disalahkan? Padahal hujan punya banyak pesan yang mau dia sampaikan. Bukankah hujan itu asyik? Kamu harus belajar mencintai hujan, karena tiap tetesan airnya hendak mengantarkan kamu kepada kenangan. Kenangan terindah tentang alasan kita diciptakan. Skenario Tuhan untuk apa kita dipertemukan," tutur Diajeng menengadahkan wajahnya, menatap mataku penuh teka-teki.

Aku selalu kalah. Tak pernah berkutik setiap kali mata beningnya beradu menghujam pupilku. Dia mengigit bibir bawahnya, ibu jarinya bersarang di daguku.

"Aku tidak akan sakit hanya perkara hujan, tapi aku akan sakit kalau kamu meninggalkan aku lagi," ucapnya menyurukkan wajahnya semakin dalam didadaku.

Hidung bangirnya ia gesekkan di sana membuat bulu romaku menegang. Kutangkup wajahnya memaksa dia supaya kami saling bersitatap.

"Tidak ada alasan untuk meninggalkan kamu, Diajeng Sayangku," bisikku membuat senyumnya terkembang.

Lagi, aku merasakan rasa manis itu. Semakin kuperdalam kecupan pada bibir merah jambu bersemu oranye milik Diajeng sampai dia terengah. Berlatar guyuran hujan nan menderas, merembesi tubuh kami memacu adrenalinku menyapukan kecupku di seluruh wajahnya.

"Aksara! Tangi, Le.*"

Kelopak mataku membuka. Membangun kesadaran sepenuhnya seketika aku terperanjat ibuku berdiri di samping dipan dengan berkacak pinggang. Bulu mataku terkepak-kepak.

"Sampai kapan kamu ngebo. Cepet siap-siap katanya mau beli tiket Prameks. Iki dino Minggu nek kowe ora ndang tuku ndisik, ngko kentekan tiket meneh. Iki wes jam siji, lho. Jare sesuk arep bimbingan skripsi. Ora bakal rampung nek kowe sante-sante terus,*" seru ibu.

"Bentar to, Bu. Gampang kalau kehabisan tiketnya ntar aku motoran aja ke Jogja. Ribet amat, sih," cetusku merentangkan kedua tangan sambil menguap lebar.

"Karepmu wae, lah.*"

Belum puas tidur siangku gara-gara ibu menginterupsi tiba-tiba. Selalu begitu padahal aku sedang menikmati mesra-mesraan sama Diajeng. Eh? Diajeng?

Mengingat nama itu diriku langsung bangkit, duduk di tepi dipan. Kusentuh bibirku, rasa manis bibir gadis itu masih melekat. Antara nyata dan fana memang terpisah sekat tipis. Sama saja. Napasku berhembus kasar. Gadis ini pintar sekali mengambil alih alam bawah sadarku. Terlepas dari sosoknya yang nyata atau fiktif, agaknya dia berhasil membuatku meluncur ke dalam kubang asmara.

***

Yogyakarta. 2017

"Apa artinya kalau kita bermimpi seorang yang sama secara berkelanjutan padahal berjumpa pun belum pernah?" tanyaku pada Sabil yang sedang mengaduk kopi hitamnya.

Tinggal menghitung hari teman sejawatku ini bakal melangkah anggun mengenakan toga. Meninggalkan kota pelajar, berencana membangun daerahnya melalui program Sarjana Membangun Desa yang dicetuskan pemerintah daerah tempat Sabil dilahirkan. Sebelum kesibukannya direnggut beragam aktivitas sosial, aku lebih dulu merenggut kebersamaan dengannya di sela persiapannya menjadi peserta prosesi wisuda.

Kebiasaan kami tidak bertahan lama, bisa jadi ini akhirku bersamanya bercengkerama di angkringan Mbah Diman langganan para mahasiswa tak jauh dari indekost tempatku bernaung.

Kuambil nasi kucing lauk ikan teri lantas menyantapnya saat Sabil memandangku setelah kulontarkan pertanyaan 'aneh' itu.

"Menurut artikel psikologi yang kubaca kalau mimpimu berulang bersama orang yang udah dikenal, bisa jadi salah satu dari kalian atau mungkin keduanya sedang mengingat satu sama lain. Bisa juga keduanya sedang dilanda rindu. Tapi kalau bermimpi tentang orang yang belum dikenal... Aku nggak yakin artinya, Sa."

"Gitu, ya? Mungkinkah aku ini ketempelan makhluk halus, ya? Manuskrip itu. Ya, mungin aku kena sihirnya," cetusku.

"Manuskrip?"

"Ya. Tapi aku tidak tahu manuskrip itu isinya tentang apa. Sepertinya aku harus ke museum itu lagi. Manuskrip itu udah bikin aku gila, Sab. Aku jatuh cinta sama gadis yang bahkan sama sekali belum pernah kutemui!"

Sabil melebarkan matanya. Aku mengangguk pada Sabil. Mantap. Tak peduli dia berdecak menertawakan kegilaanku. Ya, aku mungkin gila. Karena gadis itu.

Terdapat sekat tipis antara dunia nyata dan fana

Diantara keduanya manusia sering terperdaya

Hanya pilihan yang dapat menyelamatkannya

Pun perihal kehadiran gadis yang berdiri di antara kedua dunia, mengacaukan segala fungsi indera yang kupunya

Gadis tak terjangkau keberadaannya

Gadis tak tersentuh barang ujung jemarinya saja

Gadis tak berkesudahan merintangi kinerja akal sehat

Gadis tak berindentitas selain namanya yang kudapat secara paksa, Diajeng Nirwasita

Berbekal nama, aku bertekad menjadikanmu nyata

Ya, kau harus menjadi nyata sekalipun sebenarnya kau hanya pemanis mimpi belaka!

--Aksara Kaliandra

........


* Bangun, Nak
* Ini hari Minggu kalau kamu tidak bergegas beli, nanti kehabisan lagi. Katanya besok mau bimbingan skripsi. Ini udah jam 1, lho. Tidak akan selesai kalau kamu santai-santai terus.
* Terserah kamu saja.



Yogyakarta, 9 Juli 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top