6. Selaksa Rindu
hepi reading yah
sorry dorry stroberi untuk cerita ini emang slow update banget
semoga terhibur...
masih suasana lebaran, kan
maaf lahir batin ya...
😊😊😊
hepi reading
😘
Keraton Mataram. 1791
Aku menarik jarik hingga memperlihatkan separuh betis mulusku untuk mempercepat langkah. Telapak kakiku berkali-kali menginjak kerikil membuatku mengaduh tertahan. Tak peduli bagaimana cara orang memandangku mungkin mereka berpikir aku sedang melarikan diri dari kejaran pasukan Kumpeni sebab kulihat beberapa pasukan Kumpeni tengah menyisir area pasar ini. Meski keadaan sudah berangsur pulih, namun benih-benih ketegangan terselubung masih melingkupi Keraton Mataram.
Aku hanya ingin cepat sampai di tempat yang telah disepakati. Pohon gayam, terletak di sudut pasar Sala seperti pesan kemarin yang Kumara kirimkan.
Gayatri,
Lapar dahaga masih bisa kutahan, tapi perihal rindu tiada penawar selain bertemu.
Aku kesakitan setiap hari, menarik ulur perasaan sendiri, ingin mengubur rasa justru terbawa mimpi.
Makin menyingkirkan pikiran tentangmu makin teringat saja. Engkau penyebab hatiku selalu disentak oleh perasaan yang belum pernah kurasa.
Merindu bayangmu saja membuatku kehilangan akal sehat. Elok paras wajahmu diterpa cahaya surya kian melekat. Apa kiranya bisa engkau persembahkan sebagai penghibur kalut hatiku, Gayatri?
Maka, bulan ketiga bertepatan purnama sidhi*, kunanti kehadiranmu di naungan pohon gayam di sudut pasar Sala. Sepanjang hari aku akan di sana, menanti kembang mekarku hingga tiba.
Kumara
Kumara, aku sampai menentang ibuku demi meracik pertemuan denganmu. Seharusnya aku membantu beliau mengurus Keputren hari ini. Bersikeras aku merayu ibu biar aku saja yang berbelanja sayuran untuk para cadhong. Kamu tahu bagaimana riangnya rasaku ketika ibu mengijinkanku belanja ke pasar. Sama, aku pun selama ini hanya bisa mengenyam rindu padamu.
Langkahku memelan, aku meneguk ludah, meremas jemariku karena gugup menangkap siluet seorang lelaki tengah duduk membelakangiku di bawah pohon gayam.
"Kumara?" panggilku lirih.
Lelaki itu sedikit menoleh ke samping kemudian berdiri. Tanganku merambat ke dada memastikan degub jantungnya normal. Dia berbalik, menghadiahkan senyuman di wajahnya yang bersih. Mendesah lega aku pun menampilkan senyuman yang sama girangnya. Kumara kini mendekatiku. Kakiku seolah menempel di tanah kering ini tak kuasa menggerakkannya.
"Gayatri." Kumara menunduk menyejajarkan pandangannya denganku.
"Kumara," ucapku.
Lelaki itu meraih kedua tanganku sambil memilinnya. Aku terlena sampai tubuhku tersentak karena dia buru-buru menarikku dalam dekapnya.
"Aku sangat merindukanmu, Sayang," bisiknya di puncak kepalaku.
"Aku lebih merindukanmu," balasku dengan mata terpejam menikmati belaian tangan kokoh Kumara di kepalaku.
"Benarkah?"
Aku mengangguk. "Aku takut, Kumara."
"Hapuskan rasa takutmu, Gayatri. Bukankah kita telah mewujudkan kikisan jalinan jarak terbentang? Aku sudah mendapatkanmu, Sayangku. Kau kini berada dalam naunganku. Tanggalkan saja ketakutanmu," ujar Kumara kini mendaratkan kecupan panjang di pucuk kepalaku.
Hatiku menghangat mendengarnya. Semakin aku tenggelamkan wajahku di dadanya menghirup aroma khas lelaki itu. Kumara mencabut pengait rambutku yang disanggul, membiarkannya terurai melampaui pinggulku. Lambat bibirnya merangkak turun singgah di leherku kemudian beralih cukup lama bermain di bahuku yang telanjang. Napasku turut memburu ketika tangan Kumara mengelus rambut panjangku hingga puncaknya ia lingkarkan pada pinggulku.
"Kumara," desahku sembari menarik kepalaku dari dadanya.
"Iya?"
Aku menunduk masih segan menatap wajah lelaki ini. Batinku bergejolak menyadari keterikatan hubungan kami terasa hina, tidak pantas. Ibarat aku hanyalah seorang kawula alit sementara Kumara dibesarkan dalam lingkungan priyayi. Hubungan lintas strata merupakan hal tabu bagi kami. Aku sangat terkejut mengetahui Ndara Prawoto dan Ndara Ranupatmi tidak mempermasalahkan keberadaanku di sekitar putranya. Kedua orang tua Kumara terlalu murah hati aku sampai segan hati sendiri.
Kecuali ibuku dan Jenar, tidak ada pihak yang mengetahui bagaimana aku menjalin ikatan emosional dengan Kumara. Sengaja aku bergerilya menyembunyikan buncahan rasa ini kepada siapapun terutama ayahku. Belum kudapat keberanian memberitahunya, aku khawatir beliau murka mengetahuinya.
"Ada apa gerangan?" Kumara menaikkan daguku supaya kedua pasang mata kami saling bertemu.
"Urusan apa yang membawamu kemari? Tidak mungkin kau hanya ingin menemuiku saja," tanyaku meletakkan telapak tangan kananku di dadanya.
Ia mengulum senyum. "Apakah harus ada alasan untuk bertemu denganmu?"
Lagi-lagi aku menggeleng. Tak ada kuasa memutarbalikkan ucapan lelaki ini. Yang ada aku malah tersungkur jauh bila menanggapinya. Dia sudah mengurungku ke dalam pesonanya.
"Apa kau meragukanku?" Kumara mengusap daguku dengan ibu jarinya.
"Tidak pernah. Curahan keyakinanku melimpah terhadapmu sama sekali tidak ada keraguan berkelebat. Lantas, apakah kau akan bermalam?"
"Penuturanmu membuatku bahagia, Gayatri. Tentu saja aku akan bermalam. Kupilih rumah seorang Pembesar desa Sana Sewu sebab beliau juga mengenal ayahanda," ujar Kumara seraya menempelkan keningnya di keningku.
Embusan hangat napasnya menenteramkanku. Kedua tanganku mencengkeram pundaknya. Begitu lama kami bergelung melepas kerinduan masing-masing. Menyetarakan rasa menggabungkannya menjadi kehangatan nan bersemayam memeluk sanubari. Kelopak mataku memanas aku enggan menyudahi kebersamaan ini. Aku terlalu takut menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi. Diam-diam aku terisak.
"Kamu menangis? Ada apa, Sayangku?" tanya Kumara. Ibu jarinya menyapu air mataku.
"Bawa aku ke Demak, Kumara. Atau kemana pun aku tidak mengapa asalkan selalu denganmu. Biarkan aku dianggap pembangkang, pemberontak, aku hanya ingin berakhir denganmu," isakku.
Kumara menghela napas pendek. "Apakah keraton tidak memberimu kenyamanan, Gayatri?"
"Bukan begitu! Hatiku terusik sejak beredar rumor aku bakal menjadi kandidat selir Susuhunan. Kenapa kerajaan Mataram mesti menjalin kesepatan dengan Kanjeng Ratu Kidul? Tidak mau aku memikul beban ini, Kumara."
Kumara mendekapku kembali membebaskan aku menumpahkan air mata di dadanya. Entahlah, belakangan ini pikiranku terusik akan hal tersebut. Meski tiada lagi tanda-tanda kebenarannya, bisa jadi terlupakan sebab Susuhunan tengah sibuk menyiapkan strategi melawan Kumpeni untuk mengatur pemerintahannya kini.
Gemerisik bunyi dedaunan pohon gayam tertiup angin menyenandungkan nyanyian alam. Kumara mempererat pelukannya di pinggulku, sesekali ia menyelipkan kecupan singkat pada bibirku.
"Hei, apa yang kalian lakukan!"
Seseorang berseru membuyarkan peraduan asmara kami. Aku menahan jeritan ketika mendapati orang itu telah berdiri sembari menghunuskan keris tak jauh dari kami.
***
Yogyakarta. 2017
Usai melakukan cash opname* terhadap pengelolaan keuangan di Fakultas Filsafat sebagai penutup kegiatan pemeriksaan hari ini, aku merebahkan badan sejenak di sofa yang tersedia. Semua data yang didapat dari lapangan akan diolah dulu sebelum mengeluarkan laporan evaluasi pengendalian dan pengawasan internal bidang pengelolaan keuangan berikut pemaparannya ketika exit meeting bersama pihak pejabat fakultas.
Sembari menunggu Mas Dhanu dari toilet, aku kembali mengintip data dokumentasi di dalam map plastik putih. Mataku asyik menelisik angka yang tercantum di tabel laporan pengeluaran kas sesekali kuberi tanda coretan pensil pada keterangan yang kiranya perlu diberikan perhatian lebih. Mendadak terkungkung dalam keautisan, tanganku bergerak bebas melukis sketsa tanpa disadari.
"Di?"
Makin lancar pula jariku menggores di atas kertasnya. Jiwaku seakan ikut tercurah bersama sketsaku bahkan tidak kusadari Mas Dhanu sudah duduk di sampingku.
"Diajeng?" ulang Mas Dhanu sambil menyentuh lenganku.
"Argh," seruku.
Terkejut bukan main diriku mengetahui Mas Dhanu sedang menatapku tajam. Dahiku mengerut.
Dia melirik ke arah kertas di pangkuanku.
"Aku tidak tahu kamu bisa nggambar. Itu bagus banget, lho," ujar Mas Dhanu menunjuk sketsaku dengan dagunya.
"Eum, ini hanya coretan tak masuk akal," sergahku sambil meremas kertas itu.
"Eits, jangan diremas! Itu termasuk data dokumentasi audit kita, bukan?"
Ops! Astaga, aku bisa disembur Mas Dhanu.
Mas Dhanu merampas kertas dari tanganku. Menundukkan kepala aku tidak berani bersitatap dengannya. Ia mengurai kertas itu.
"Ck, kita mesti minta data tambahan lagi. Gampang deh sementara dikirim via email aja. Cuma jadinya nggak ada tanda tangan otorisasinya ntar," decak Mas Dhanu.
"Maaf, Mas," kataku lirih hampir berupa bisikan.
"Siapa laki-laki yang kamu gambar ini?"
Ada perbedaan nada yang kontras berdasarkan tangkapan pendengaranku. Mulai dari mana bagaimana menjelaskannya aku bingung. Masa Mas Dhanu bakal percaya tiba-tiba aku memiliki kemampuan menggambar otodidak.
"Nggak tahu, Mas," jawabku mengedikkan bahu.
Mas Dhanu membagi pandangannya antara aku dan sketsa itu. Sorot matanya menunjukkan artian yang tak kumengerti.
"Kok bisa?" cecarnya.
"Aku nggak tahu tiba-tiba tanganku gerak sendiri nggambar itu. Aku nggak kenal pula siapa orang itu," sahutku kesal.
Seketika Mas Dhanu tertawa.
"Seperti orang yang bangun dari koma tiba-tiba lincah berkomunikasi bermacam bahasa ya, Di." Tangan Mas Dhanu mengacak pelan rambutku.
"Balik yuk, Mas. Udah sore," cetusku.
"Bentar, Di. Aku pengin ngobrol bentar sama kamu," ia menahan pergelangan tanganku.
"Masa ngobrol di sini, Mas. Tempat lain aja lah," sergahku.
"Bentar aja kok. Nggak papa nggak ada aturan nggak boleh ngobrol di sini, kok."
Bibirku memberenggut. "Cepetan deh, Mas. Aku udah pengin pulang."
Memang sofa yang terletak di lorong ruang dosen itu sepi apalagi jika sore sudah menguasai. Tangan Mas Dhanu masih hinggap di pergelangan tanganku. Dia menatapku intens.
"Aku...suka sama kamu, Diajeng Nirwasita."
Terbelalak mataku mendengar perkataannya. Pernyataan yang terencana atau tercetus begitu saja? Maksudnya suka bagaimana? Suka sebagai rekan kerja yang profesional, suka sebagai teman yang menyenangkan, atau...
"Mau jadi kekasihku, kan?"
Ya Tuhan, Mas Dhanu? Syok? Tentu saja. Kaget? Banget. Lidahku bagai terlilit tak tahu bagaimana meresponnya. Hendak membalas ucapannya sekonyong-konyong bayangan lelaki dalam sketsa tadi berlarian di benakku. Seakan hadirnya mengunci lidahku mengatakan sesuatu. Benar, kurasa lidahku sungguhan beku.
"Nggak usah buru-buru, Di. Aku rela nungguin kamu, kok." Mas Dhanu tersenyum.
Nyaris frustasi. Ah, sebenarnya dia siapa sih? Main datang dan pergi sesuka hati.
"Pulang, yuk," ajak Mas Dhanu sambil menggenggam tanganku.
"Yuk."
Aku menurut saja karena pikiranku sedang sibuk bercengkerama tentang lelaki asing berhidung mancung itu. Bisa gila diriku bila setiap saat bayangannya muncul tanpa permisi begini.
Kami berpisah di parkiran karena aku ingin langsung pulang. Sudah kutitip pesan pada Mas Dhanu yang hendak mampir kantor SAI bahwa aku ijin pulang duluan. Entahlah kepalaku pening mendadak.
Langsung berbaring terlentang begitu berjumpa dengan kasur di kamarku. Mataku menyapu dinding yang seperempatnya terisi sketsa otodidak karyaku belakangan ini. Lelaki yang sama, berpose menyandar pada punggung kursi rotan, sorot netranya sangat tajam meski menerawang.
Ganteng, sih. Kenapa aku sering kepikiran kamu akhir-akhir ini? Apakah kita memiliki kisah yang terurai?
"Siapapun kamu, walaupun aku belum pernah bersua denganmu, agaknya kamu berhasil merajai otakku atas kefanaannya dirimu. Tadinya aku akan mengiyakan pinta Mas Dhanu tadi kalau saja bayangan kamu tidak melintas. Apa kamu sengaja menggagalkan aku, hah?" gumamku sambil terus menghujani tatapan mengintimidasi pada gambar lelaki sketsaku.
segini dulu aja yah...
😀😀😀
* setiap tanggal 14 bulan Jawa dinamakan purnama sidhi, bulan penuh melambangkan dewasa yang telah bersuami istri.
* cash opname : pemeriksaan kas secara fisik
Kendal, 30 Juni 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top