Kalau ada pakar sejarah yang mau ngoreksi barangkali terdapat keanehan dari cerita aku, silakan....
hepi reading
😚😚😚
Demak, 1790
Kedua tanganku mengepal sempurna. Gemuruh energi saling bergejolak di dalam dada. Pikiranku hanya terpusat pada satu orang dan orang itu sedang berada pada kondisi yang riskan. Sejak mentari menyingkap gulita fajar hingga sinarnya menguasai cakrawala, diriku tak sanggup mengalihkan bayangan gadis pujaan hati. Aku terduduk di bangku kayu jati, memegangi kening, memejamkan mata guna mengurangi kegundahan.
"Ada gerangan apa, Anakku? Sedari tadi ibu perhatikan kamu nampak tidak menentu," tanya Kanjeng Ibu Ranu seraya mengusap bahuku.
Kugenggam tangan Kanjeng Ibu yang masih menyalurkan energi menenangkanku. Mataku terbuka, menatap Kanjeng Ibu yang kini duduk menghadapku. Betapa beruntung aku menjadi putranya, melihat keteduhan cahaya mata ibuku merupakan bagian nikmat Gusti Yang Maha Agung.
"Dalem hanya sedikit gelisah, Ibu. Maafkan dalem yang tidak sopan," jawabku.
Aku meletakkan kepala di paha Kanjeng Ibu. Telapak tangan Kanjeng Ibu yang lembut teratur mengusap kepalaku membuat mataku terpejam. Momen seperti ini paling aku sukai. Sentuhan tangannya adalah candu terindah bagiku.
"Keraton Mataram sedang kalut, Ibu. Kebijakan Susuhunan menarik perhatian pasukan Kumpeni untuk mengepung keraton. Pikiran dalem tidak bisa jauh dari Gayatri."
"Ah, jadi itu sebabnya. Memang ibu dengar sedang terjadi kericuhan tapi ibu yakin Gayatri baik-baik saja. Dia tak ada hubungannya dengan kebijakan politik Susuhunan."
Kutegakkan badanku, menatap Kanjeng Ibu Ranu yang mengeryitkan dahi.
"Bagaimana bila dalem menyusul Gayatri, Ibu? Mendadak dalem khawatir apalagi sejak pernyataan Gayatri tentang isu Susuhunan berminat menjadikannya selir, Ibu. Dalem tidak rela."
"Masih berupa dugaan, Anakku." Kanjeng Ibu Ranu kembali mengelus puncak kepalaku memberikan sensasi kenyamanan tersendiri. "Lagipula siapa kita menentang kebijakan raja adalah durhaka. Jangan meletakkan kepercayaan terhadap sesuatu yang tiada pasti kebenarannya."
Aku tersenyum. Iya, memang belum terdapat kepastian terhadap kekhawatiranku. Namun tetap saja aku linglung seandainya kembang mekarku benar diperistri oleh Susuhunan. Tidak, tidak boleh terjadi. Biar saja aku melawan takdir. Walaupun menggugat penguasa Mataram taruhannya bisa jadi lebih dari nyawa, pasti ada cara. Selalu.
Kedatangan Wira dan ayahanda membuyarkan percakapan kami. Wira dan ayahanda baru saja menilik perkebunan kayu jati. Wira menghambur lantas merangkul leherku. Aku merintih sebab rangkulannya terlampau kuat bisa saja dia mematahkan leherku dengan cepat.
"Siapa yang hendak menyusul Keraton Mataram? Kau, Kumara?" ejek Wira melepas rangkulannya dan beralih memukul lenganku.
"Mau ikut?" balasku mendorong tubuhnya hingga membentur punggung bangku kayu jati.
"Masih pula kau menjalin hubungan dengan penari itu, Kumara? Sungguh tak terbaca oleh mata batinku kau telah menempatkan penari itu dalam urutan teratas daftar keinginanmu. Ah, aku ingat betul cara dia meliukkan tubuhnya. Indah sekali, tidak heran bila Kanjeng Ratu Kidul berpihak kepadanya."
Kupukul lengan Wira lebih keras. "Tahu dari mana kau soal itu?"
Wira tertawa. "Ayahanda dan Kanjeng Ibu juga mengetahuinya, Kumara. Semenjak kedatangan surat cinta dari penari itu bukankah kau sering mengeluhksn dirimu? Keadaan Keraton Mataram yang memanas pasti memicu Susuhunan mengambil keputusan lebih cepat. Penari itu segera diklaim milik Susuhunan sepenuhnya."
Menggeram tertahan aku mendengar ocehan Wira. Kanjeng Ibu yang melihat rahangku mengeras segera menangkupkan telapak tangannya di atas tangan kananku.
"Sudahlah, Wira. Tidak berhak kamu turut campur perihal hati saudaramu." Ayahanda Arya memberikan pendapatnya untuk melerai kami.
Lantas beliau berucap lagi. "Kumara, sebaiknya kamu tidak menginjak kaki di Keraton Mataram untuk saat ini. Situasi sedang ruwet. Pasukan Kumpeni hingga pasukan Kesultanan Ngayogyakarta, pasukan Mangkunegaran, dan Pasisiran saat ini tengah mengepung keraton dari segala penjuru*. Tiada aman bagi siapapun hendak bertandang ke sana. Tunggulah dulu sampai keadaan stabil."
Kuhela napas panjang supaya bisa menguasai diri. Gayatri, rindu ini tiada terpangkas jua. Semakin hari berganti tiada dayaku sanggup menekan perasaan ini. Maafkan aku yang tak berdaya menuntaskan jarak yang begitu terperinci. Biarpun seorang Susuhunan Sang Nata Mataram, ketahuilah bahwa aku tak henti merapal namamu di dalam hati hingga menghapus jalinan jarak suatu hari nanti.
***
Surakarta, 2017
Suhu udara menyengat menguasai langit kota Solo. Berkali-kali air mineral kuteguk, namun tak cukup melegakan tenggorokanku yang kembali kering. Belum lagi aku harus menuntun motor butut bapakku dari kampung Laweyan sampai belakang stadion Sriwedari hanya untuk menemukan penyedia jasa tambal ban. Biasanya tak perlu sejauh ini pun jasa tambal ban itu berceceran sepanjang kalan. Entah kali ini tak nampak apakah mereka mogok kerja atau memang tak minat lagi bekerja.
Hanya ada satu yang kutemukan dan itu di belakang stadion Sriwedari. Ya sudah, sekalian aku mau mampir ke museum Radya Pustaka tinggal menghitung langkah juga akan sampai. Sembari menunggu, pikiranku mengembara akan percakapan yang tak disengaja kemarin.
"Aksara, kapan kamu bimbingan lagi?" suara Bu Anjana mengagetkanku saat mataku menyisir kalender akademik yang terpajang di mading depan TU.
"Eh, Ibu. Bikin kaget saya," sahutku setengah terlonjak.
"Jangan jadi mahasiswa lapuk nanti merambah jadi bujang lapuk. Pintu saya terbuka lebar buat kamu kapanpun kamu siap bimbingan. Jangan kelamaan," ucap Bu Anjana sembari membenarkan letak kacamata berframe tipisnya.
"Beres, Bu. Maksudnya ini bimbingan skripsi apa bimbingan hati?"
"Kalau keduanya bisa berjalan seiring kenapa tidak?"
Aku mengangkat kedua alisku. Sungguh tidak terduga sekali Bu Anjana berkata demikian. Samar terukir bibirnya melengkung tipis kemudian dia berlalu. Aku menggaruk tengkuk, tersenyum kecil mendengar pernyataan dosenku barusan.
"Mas, whoi," seru bapak penambal ban.
"Iya, Pak!" saking kagetnya aku berdiri tiba-tiba.
Ban motor butut bapakku selesai ditambal. Usai membayar, kulajukan motor itu menuju museum. Biar saja orang bilang apa. Mahasiswa komunikasi mencari bahan tugas akhir di museum? Kekuatan terselubung mengarahkan hatiku tertarik kuat menuju sana. Ada sesuatu lainnya lebih dari sekadar tugas akhir yang tersembunyi di museum tertua se Indonesia itu. Kuharap bisa menemukan jawabannya kali ini.
Auranya sangat kuat begitu kakiku menjejak ruang depan museum. Kepalaku sedikit pening, bahkan tubuhku nyaris bergelinjang. Untung saja aku berhasil menguasainya. Kumulai menyisir koleksi topeng yang terpasang di ruang depan, beralih ke ruang keramik lalu ruang tosan aji (senjata). Ruang perpustakaan di seberang riang perunggu itu menarik perhatianku. Nah, barangkali di sini bisa kutemukan sumber inspirasi skripsiku. Kulepas sandal, meraih gerendel pintu lalu melangkah masuk.
"Halo, ada yang bisa dibantu?" sapa seorang bapak petugas museum.
"Err, saya sedang mencari inspirasi buat skripsi, Pak. Bolehkan saya melihat koleksi perpustakaan ini?"
"Tentu saja. Ini adalah ruang manuskrip. Perpustakaan manuskrip kuno. Ribuan manuskrip alias kitab kuno tersimpan di sini."
Wajib mengenakan sarung tangan khusus bila ingin menyentuh manuskrip-manuskrip kuno itu. Kuperhatikan Pak Bagyo, sang petugas menunjukkan kitab-kitab kuno beserta penjelasannya padaku.
"Ini salah satu koleksi terkuno, kumpulan Primbon Mangkuprajan. Gaya tulisannya Jawa Kuno dan Pegon. Dikumpulkan pada masa Pakubuwana IV oleh KRA Mangkupraja, seorang Pepayih Dalem* Pakubuwana IV beliau juga bisa berpujangga. Isinya kumpulan naskah dan potongan doa, " dengan telaten Pak Bagyo meletakkan manuskrip itu di atas meja.
Terpaku mataku menatap manuskrip itu. Seolah batinku terikat dengannya. Ada aura magis menelusup pelan memasuki rongga dadaku membuat napasku tercekat, menghembuskannya pun susah.
Telunjukku menyentuh ujung kitab kuno yang terbuat dari kertas kulit kayu Panaraga itu. Semacam sengatan listrik bervoltase ribuan mega watt menjalar merasuki tubuhku. Keseimbanganku hampir terganggu kalau saja Pak Bagyo tidak memegang lenganku.
"Kenapa, Mas?" raut muka Pak Bagyo terbias cemas.
"Nggak apa-apa, Pak."
Mataku terasa berat. Bergegas aku undur diri pada Pak Bagyo. Langsung kurebahkan badanku di atas sofa ruang tamu sesampainya di rumah. Rasa kantukku tak tertahankan lagi. Sebenarnya di perpustakaan museum tadi aku sudah mengantuk. Pelampiasannya kubalas di sofa ruang tamu ini.
"Aksara Kaliandra, namamu?" tanya gadis itu sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
Aku mendongak. Seorang gadis berparas ayu tengah berdiri memperhatikanku. Alisnya nanggal sepisan tebal, aura wajahnya wajahnya bersinar cerah meski kulitnya sawo matang, senyumnya lebih mempesona dari lengkungan bulan sabit senja. Sejak kapan dia ada di sini?
"Kamu siapa?" jawabku seraya beranjak, kubuang serampangan puntung rokok di tanganku.
Dia berjalan mendekatiku menyisakan jarak beberapa centi saja wajahnya dari wajahku. Lagi-lagi dia tersenyum lebar.
"Aku..." telunjuknya bermain di pipiku. "Masa depan kamu."
Setara kecepatan cahaya bibirnya menumbuk bibirku. Terlonjak dengan perlakuannya bahkan aku tidak siap. Terasa hangat dan... Tetiba mataku terbuka. Punggungku kram seperti baru menikam benda baja. Aku mengurutnya pelan. Ternyata mimpi. Tidur di sofa memberikan efek sefatal ini.
Kuusap bibirku. Basah. Apa tadi itu nyata? Ketahuilah, setiap detail wajahnya aku masih ingat. Bagaimana struktur wajahnya, cara bicaranya, apalagi senyumnya, segalanya tercetak jelas dalam ingatan. Kurasa jiwa dan ragaku begitu mudahnya terikat padanya. Sebenarnya siapa dia?
· Peristiwa Pakepung : terjadi sekitar Oktober –Desember 1790
· Pepayih Dalem : jabatan yang berfungsi sebagai wakil Susuhunan dalam bidang pemerintahan. Bisa disejajarkan dengan posisi Perdana Menteri
· KRA: Kanjeng Raden Adipati (gelar bagi pepayih/pepatih dalem)
· Nanggal sepisan : peribahasa Jawa, artinya alisnya seperti bulan sabit pertama
Manuskrip kumpulan KRA Mangkupraja sampai detik ini masih tersimpan di museum Radya Pustaka, Solo, Jateng. Penasaran? Silakan berkunjung ke sana.
Nggak bisa sembarangan lho kalau mau pegang manuskripnya soalnya udah rapuh dimakan usia. Kudu pake sarung tangan khusus. Waktu itu aku nggak kebagian meriksa wilayah ruangan manuskrip, jadi cuma lihat dari jauh. Kata temanku yang kebagian tugas meriksa ruang manuskrip, hati-hati ada sebuah manuskrip yang bikin ngantuk saat kamu memegangnya.
Bila kondisi badan dan pikiranmu lagi nggak fit, bisa jadi kamu tertidur di ruangan itu. Petugas ruang manuskripnya saja sering mengantuk, kok. Yang penting niatnya yang baik-baik nggak aneh-aneh aja.
Cerita ini fiktif, ya. Nggak ada hubungannya sama kisah manuskrip tersebut. Hanya terinspirasi menggunakan manuskrip itu sebagai salah satu media saja.
Yogyakarta, 18 Juni 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top